Ilmu Kesejahteraan Sosial Paradigma dan Teori

Samudrabiru – Ketika penulis buku ini menghubungi saya agar memberikan kata pengantar, saya meresponnya dengan ragu. Bagaimana tidak ragu, bidang kajian saya selama ini lebih banyak berkaitan dengan salah satu ilmu-ilmu Islam tradisional, yaitu Ulumul Qur’an dan Tafsir. 

Sedangkan buku yang ada di hadapan pembaca ini berkaitan dengan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan atau Pekerjaan Sosial, ilmu yang baru buat saya dan mungkin untuk sebagian civitas akademika yang menuntut ilmu di PTAI.

Meskipun demikian, saya merasa beruntung, karena pernah menjadi ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial (periode 2009-2012), sehingga praktis saya terlibat dalam diskusi yang intens dengan teman-teman dosen yang memang ahli di bidang ini dan mendorong saya untuk membuka wawasan tentang keilmuan tersebut. 

Dari situlah saya sedikit memberanikan diri untuk mengiyakan kepada penulis buku ini untuk sekedar memberi pengantar. Karena itu, kalau di sana sini ada kekurangtepatan, mohon dimaklumi.

Memang, sebagaimana dikemukakan penulis buku ini (h. iv), ia terdorong untuk menulis buku dalam tema kesejahteraan dan atau pekerjaan social, karena masih langkanya buku tentang kesejahteraan atau pekerjaan social yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan ditujukkan untuk pembelajar warga Indonesia serta dalam konteks ke-Indonesiaan. 

Hal ini dapat dimaklumi, karena meskipun mungkin secara praktis-empirik, ilmu ini sudah menjadi bagian dari praktik hidup pegiat pengembang, pendamping, dan konsultan serta konselor bagi masyarakat, namun secara teoritis, ilmu ini berkembang terlebih dahulu di dunia Barat. 

Karena itu, buku-buku dalam bidang ini masih lebih banyak ditulis dalam bahasa Inggris dan karena itu pula konteksnya pun adalah Barat, sehingga boleh jadi kurang pas atau sesuai bila diterapkan begitu saja di lingkungan Indonesia, apatah lagi untuk komunitas Muslim, yang sebagiannya masih enggan bersentuhan dengan hal-hal yang berbau barat.

Namun ada yang lebih penting dari sekedar kurang tersedianya buku daras dimaksud yang sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan, kehadiran buku ini, seperti dinyatakan oleh penulis (h. 12-13) juga untuk meluruskan salah paham atas pekerjaan social yang selama ini dipahami sebagai sebuah aktivitas kemanusiaan biasa yang tidak membutuhkan keahlian khusus, karenanya tidak memerlukan bekal pendidikan ataupun pengalaman. 

Menurut penulis buku ini, pekerja sosial bukanlah sukarelawan yang bekerja asal ada kemauan, tapi sebuah aktivitas profesional untuk mangatasi masalah sosial dan karenanya pekerjaan sosial adalah disiplin ilmu, sebagaimana dokter, guru, psikolog, dan lain-lain. 

Sesuai dengan nama dan aktivitasnya, ilmu ini termasuk dalam ilmu sosial terapan2 yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti Sosiologi. Oleh karena itu, buku ini dapat ditempatkan sebagai karya yang melakukan kritik konstruktif atas praktek-praktek sosial yang mengklaim sebagai praktek pekerjaan sosial.

Karena itu saya sangat mengapreasiasi usaha penulis ini. Mudah-mudahan, usaha penulisan buku serupa terus tumbuh, seiring semakin meningkatnya peminat studi dalam bidang ini di PTAI, termasuk di UIN Sunan Kalijaga. 

Meningkatnya peminat dan problem sosial yang unik sekaligus kompleks, tentu harus disertai dengan penguatan kapasitas keilmuan, sehingga penanganan masalah sosial benar-benar untuk mengatasi masalah, bukan malah melahirkan masalah baru (h.6).

Manusia dan Permasalahannya
Sebagaimana ilmu-ilmu sosial pada umumnya, Ilmu Kesejahteraan Sosial merupakan ilmu yang fokusnya adalah manusia yang secara empiris-sosiologis lahir, tumbuh dan berkembang secara dinamis dan sering menampakkan “wajah” yang dikotomis dan berbeda secara diametral. 

Realitas menunjukkan bahwa ada individu atau kelompok masyarakat yang masuk dalam kategori masyarakat yang dalam ilmu sosial disebut masyarakat penyandang masalah sosial,3 baik karena faktor internal maupun karena faktor eksternal. 

Mereka seperti orang yang terkena bencana alam seperti gempa, korban gunung berapi, anak jalanan, anak terlantar, para manula, buruh migrant, narapidana, pecandu narkoba, dan lain-lain. 

Dalam bahasa al-Qur’an, mereka yang termasuk dalam kategori tersebut disebutkan dengan menggunakan beberapa istilah seperti faqir, miskin, sa’ilin (para peminta-minta), mu’allaf, riqab (budak atau orang yang terikat dengan paksa dengan orang lain), al-mahrum (orang yang terhalang aksesnya terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik), dan lain-lain.

Dalam bahasa agama, situasi tersebut bersifat kodrati, artinya selalu ada dan melekat pada manusia. Namun, adanya manusia yang memiliki problem sosial tersebut bukan dimaksudkan untuk “dipamerkan” dan didiamkan atau dibiarkan begitu saja. 

Problem sosial yang dialami dan dirasakan sebagian masyarakat tersebut perlu diatasi dan dicarikan jalan keluarnya, sehingga yang bersangkutan tidak terus-menerus dalam situasi yang tidak atau kurang menguntungkan, sebagai akibatnya ia kurang fungsional dan maksimal mengemban amanah sebagai khalifah.

Untuk dapat mengatasi problem sosial tersebut, tentu membutuhkan seperangkat modal pengetahuan yang memadai, agar masalah tersebut teratasi dengan baik. Pada tataran inilah dibutuhkan paradigma dan teori mengenai pekerjaan atau kesejahteraan sosial. 

Permasalahannya, sebagaimana dikemukakan penulis, paradigma dan teori yang tersedia masih produk Barat, yang meskipun belum tentu buruk, namun juga belum tentu relevan. Lantas pertanyaannya, apakah Islam menyediakan separangkat paradigma dan teori pekerjaan atau kesejahteraan sosial?

Islam, Pembebasan dan Pencerahan: Mencari Paradigma Kesejahteraan Sosial
Islam, sebagaimana agama-agama lain, merupakan agama yang mendasarkan pada kitab suci. Namun, mungkin agak berbeda dengan agama lain, meski al-Qur’an berisi banyak hal, seperti persoalan eskatologis, kosmologis, teologis, dan lain-lain, semuanya dimaksudkan sebagai “petunjuk bagi manusia”. Al-Qur’an, tegas Fazlur Rahman adalah sebuah dokumen untuk umat manusia.

Oleh karena itu untuk mendapatkan “potret” menganai manusia dan mencari solusi atas masalahnya, dapat ditemukan atau dicarikan dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an misalnya, manusia disebut dengan empat ungkapan; an-nas, al-ins, al-insan dan basyar. 

Empat ungkapan atau kalimat tersebut memiliki makna yang berbeda, meski dalam terjemahan sama. Keempatnya menggambarkan manusia sebagai makhluk tiga dimensi, yaitu dimensi jasadi-badani (fisik), ruhi dan nafsani. Ketiga dimensi inilah yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang utuh dan sempurna sehingga berbeda dengan makhluk mana pun. 

Ketika salah satu dimensi dari manusia itu terganggu atau bahkan hilang, maka manusia akan mengalami masalah. Dengan demikian, manusia yang bermasalah, bukan hanya ia yang kelaparan, tapi juga yang teralienasi atau mengalienasikan diri, tidak percaya diri, split personality, bodoh, dan penyakit mental, jiwa dan sosial lainnya.

Melalui al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.Islam hadir untuk mengubah tata nilai lama yang tidak manusiawi ke dalam tata nilai baru yang membebaskan dan mencerahkan. Al-Qur’an menawarkan cara dan strategi bagaimana masalah yang dihadapi manusia, akibat tidak terpenuhinya ketiga dimensi manusia tersebut. 

Hal ini ditandai dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang intinya menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kepedulian dan kesatuan. Orang-orang yang tidak peduli terhadap nasib orang lain yang memiliki problem social dan tidak mendorongnya berbuat sesuatu yang baik dan produktif, bahkan diskriminatif dicap oleh al-Qur’an sebagai pendusta agama. Orang seperti ini, beragama tapi palsu (QS. al-Ma’un [107]: 1- 7).

Lebih jauh al-Qur’an menjelaskan bahwa raison d’etre kehadiran wahyu dan para nabi, termasuk Nabi Muhammad adalah bukan semata-mata membawa pesan teologis, tapi justeru membawa misi sosial. Kehadirannya, menurut Ziaul Haque, secara umum memiliki tiga tujuan, pertama, untuk menyatakan kebenaran; kedua, untuk berperang melawan kepalsuan (batil) dan penindasan (zulm); dan ketiga, untuk membangun sebuah komunitas atau persaudaraan berdasarkan kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang.

Itulah mengapa seluruh narasi cerita para nabi adalah mengingatkan dan melakukan kritik terhadap semua kekuatan rulling class dan elit yang menindas pada satu sisi dan mendampingi, melakukan penguatan serta advokasi pada mereka yang miskin, lemah, para budak, difabel, para pekerja yang tertindas, janda-janda, anak-anak yatim dan manusia-manusia yang tidak berdaya lainnya, pada sisi lain.

Semua itu dilakukan dalam upaya membangun hayatan toyyibah (QS. an-Nahl [16]: 97), kehidupan yang baik dan tertata, sehingga tidak ada orang yang menderita dan tersiksa selama hidupnya. Dalam konteks inilah, betapa sangat mulianya pekerja sosial professional, karena ia mengemban dan melakukan misi profetik, sebagaimana dilakukan oleh para nabi. 

Para pekerja sosial professional adalah “nabi-nabi baru” yang berjuang untuk tegaknya keadilan, melawan kekuatan-kekuatan yang memecah belah manusia ke dalam faksi-faksi, kelas-kelas, dan kelompok-kelompok. Sebagaimana para nabi, pekerja sosial profesional bekerja membebaskan mereka yang menderita baik karena factor alam maupun sosial, by design atau pun tidak; perbudakan oleh orang-orang zalim, orang-orang yang mengeksploitasi orang lain dan berusaha mengangkat harkat manusia dari jurang kelemahan dan ketidakberdayaan yang boleh jadi diakibatkan oleh nafsu yang liar, egoism, dan nafsu kebendaan.

Bagaimana atau upaya apa yang dilakukan para nabi dalam kerangka tersebut? Secara paradigmatik, ada tiga upaya yang dilakukan para nabi, yaitu islah; melakukan reformasi dari dalam dengan menata kepercayaan atau ruang batin masyarakat. 

Hal ini karena boleh jadi masalah itu timbul bukan dari luar atau faktor ekternal, tapi karena faktor internal. Atau masalah itu dari luar, namun bila ada kesiapan internal, maka tidak akan menjadi masalah. 

Pada tataran inilah kita mengerti mengapa sejak awal al-Qur’an tidak berbicara mengenai hukum, tapi justru membenahi world view yang benar, terutama kepada Tuhan dan diri sendiri. 

Manusia diingatkan bahwa mereka ada, tumbuh, berkembang, dan pada akahirnya akan berakhir bukan karena dirinya, tapi karena Tuhan dan diingatkan pula bahwa ia adalah makhluk interdepedensi atau makhluk sosial. 

Kedua pandangan yang benar terhadap keduanya tersebut menjadi dasar untuk menata dan membangun relasi antar manusia, bahwa mereka harus saling menyayangi, mencintai, kerjasama dan berusaha untuk menjadi problem solver serta menjadi bagian masyarakat yang kontributif untuk reformasi eksternal.

Kedua, setelah reformasi kedalam benar dan kuat serta implementatif ke luar, upaya berikutnya adalah menghidupkan prinsip dan suasana tidak saling menyakiti dan taat pada kontrak social (salam), baik tertulis maupun tidak. 

Manusia itu berbeda dan beragam (heterogen), namun bukan untuk dibeda-bedakan dan dinafikan. Al-Qur’an mengajarkan kepada kita agar memandang secara positif dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyaataan tersebut (QS. al-Hujurat [49]: 13). 

Perbedaan dan keragaman harus dipandang sebagai anugerah. Karena itu, sikap yang tepat terhadap keragaman dan perbedaan kemanusiaan tersebut adalah sikap apresiatif, menghargai, dan membantu.

Ketiga, sebagai kelanjutan dari keduanya adalah menjamin ketersediaan sumber daya dan jaminan keamanan sosial, sehingga manusia, sesuai dengan kapasitasnya menjadi al-amin dan al-‘amid (sebagai yang terpercaya dan penyangga) keberlangsungan kehidupan yang berkeadaban, sehingga tercapai kebersamaan dalam kesetaraan. 

Demikian, sekedar pengantar, semoga manfaat. Tiada gading yang tak retak. Begitupun buku ini. Anggap saja, kekurangan yang ada, justru peluang bagi pembaca untuk berpartisipasi dan berkontribusi. (Waryono Abdul Ghafur, dalam pengantar bukunya)

Judul Buku : Ilmu Kesejahteraan Sosial Paradigma dan Teori
Penulis : Miftachul Huda
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : I September 2012
Dimensi : xx + 134 hlm, 14 x 22 cm
Harga : Rp