Samudrabiru – SAYA tak mengenal Sewitri dengan dekat. Tapi saya teman baik ayahnya, seorang bupati di Tanah Tengku dan Raja Raja. Dari orangtuanyalah, saya tahu bahwa Sewitri sebe nar nya seorang pemikir yang suka menulis, meski terkadang agak manja.
Ketika saya pertamakali ketemu Sewitri, dia tak banyak bicara. Begitu juga bila bertemu dalam beberapa acara di Pekanbaru maupun di Kerinci, Pelalawan. Mungkin karena saya teman bapaknya. Tapi bukan sedikit bicara itu yang ingin saya sampaikan. Yang ingin saya katakan adalah, ternyata Sewitri memyimpan banyak kata kata yang indah. Dia begitu lembut dalam puisi puisinya. Jari tangannya seperti berfikir dengan kata kata yang bernas tentang cinta, rindu, benci, ketidakpedulian, ketidakinginan, dan tentu pula egoisme.
Membaca sajak sajak Sewitri dalam “catatan pribadinya” ini, saya jadi tahu bahwa dia tak hanya seorang anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat) Riau yang sehari hari mengurus masyarakat, negeri dan partai. Tapi juga, memiliki kepekaan tentang perasaan dan seni. Dia memiliki talenta lain, yang mungkin tak semua orang seperti Sewitri memilikinya. Dia memiliki intuisi menulis puisi dengan kata kata yang indah. Ternyata Sewitri seorang yang romantis, seorang yang memendam perasan dan seseorang yang suka akan kesunyian.
Seseorang yang suka seni, ketika dia menulis, pastilah dia tak bisa menyembunyikan dirinya dari tulisan tulisannya. Misalnya, saya jadi tahu bahwa Sewitri memilih mandiri dalam kerinduan hatinya. Lihatlah potongan puisi di bawah ini. Begitu perkasanya Sewitri, sehingga dia tak memerlukan siapa siapa. Dialah yang bisa menyelesaikan hatinya.
…….
Ketika mencari cari siapakah ksatria yang
bersedia menjagamu, merawatmu, mencintai dan menyayangimu
Ketika bertanya tanya siapakah pahlawan yang
bersedia menyelamatkanmu dari kejam nya kehidupan
Ketika mengira ngira siapakah yang akan
membelamu ketika semua orang memalingkan mukanya darimu
Apakah dia, dia, atau dia?
Engkau tak perlu mencari, bertanya atau mengira
Dan kau tak butuh itu
Orang yang kau cari itu ada dalam dirimu sendiri
Dalam ragamu
Dalam jiwamu
Dalam hatimu
Engkau tidak butuh orang lain untuk
membahagiakan dirimu
Engkau hanya butuh dirimu
Bahagialah dengan dirimu
(Kutipan; Berjalan di Jalur Pelangi)
…….
Sebenarnya, adalah hal yang biasa saja ketika seorang penyair menjadi egois dan penyendiri. Adalah juga hal yang biasa ketika orang yang suka menulis puisi menjadi pendiam dan melankolis. Karena biasanya seorang penyair adalah pengamat. Apapun yang terjadi di sekitarnya tak luput dari nalurinya. Tak lepas dari pengamatannya. Baik yang berkaitan dengan dirinya, maupun orang lain dan lingkungannya. Lalu dia menulis dengan caranya.
Namun Sewitri, menurut saya, bukanlah seorang yang benar benar ingin menjadi penyair atau pembuat puisi yang profesional –entah mungkin satu ketika nanti. Ia hanya seorang yang suka menulis puisi atau sajak saja. Puisi puisi yang berkaitan dengan diri dan pengalaman spritualnya. Ia menulis untuk dirinya. Dia menulis untuk ketenangan dan kesendirian jiwanya.
Saya mengamati, Sewitri adalah se orang penulis realita sosial yang ada dalam batin nya. Dia menulis berdasarkan apa yang dia rasakan. Apa yang dia fikirkan dan apa yang ingin dikatakan perasaannya.
Seorang penyuka realitas, memang menulis berdasarkan apa adanya. Ketika dia jatuh cinta atau kasmaran, maka lahirnya kata kata puitis tentang indahnya cinta. Ketika dia kecewa atau cemburu, lahirlah puisi yang menyerapah cinta. Ketika dia menghadapi persoalan tentang berbagai hal, lahir pula puisi tentang hati yang luka, galau, rumit dan sebagainya.
Lihatlah misalnya puisi “Dalam Diam” ini;
…….
Saat kau mengatakan untuk pergi
Dan akhirnya meninggalkanku
Aku diam…
Ketika perih
Ngilu
Akan luka yang kau beri
Aku hanya menangis
Dan diam…
Ketika sakit yang ku rasakan menembus
Seakan menghancurkan setiap partikel di
tubuhku
Seperti yang sedang berjuang untuk sembuh
dari adiksinya
Aku hanya bisa menikmati setiap prosesnya
Dengan diam…
Karena diam lebih baik
Orang lain tidak akan terlalu peduli dengan
Kisahku
Dan itu tidak akan membawamu kembali
padaku
…….
Diksi dalam tulisan Sewitri juga indah. Mengalir begitu saja, seperti air yang mencari ruang terbuka. Dia seperti seorang pendongeng yang bercerita kisah hidup di depan audiensnya. Dan saya jadi tahu pula jalan fikirannya. Coba perhatikan sajak “ Bintang” ini;
…….
Diantara awan tebal
Atau menemani sang rembulan
Atau di keheningan gelap malam sunyi
Aku ada… selalu ada…
Mungkin engkau tidak melihatku, tapi aku
melihatmu
Mungkin engkau tidak merasakanku, tapi aku
merasakanmu
Dan jika engkau merindukan kehadiranku
Tataplah langit
Disana pasti aku bersemayam
Tak peduli berapa cahaya yang memisahkan
kita
Tak peduli apapun yang menghalangi kita
Tataplah langit
Disana aku ada… selalu ada
…….
Sebagai seorang penulis puisi realita, Sewitri terkadang juga tak bisa menyem bu nyi kan pernak pernik kejadian sekitarnya. Misalnya ketika dia marah atau kecewa dengan seseorang. Atau ketika dia berada di satu tempat, atau pula sedang berdialog dan berjumpa seseorang. Lihatlah puisi “Tanya Gila” ini;
……
Engkau selalu menanyakan kabarku setiap kita
bertemu
Perhatianmu
Senyumanmu
Dan… selalu menanyakan kesukaanku
Yang paling membuatku gila…
engkau selalu menanyakan, paha atau dada?
…….
Atau pula saat dia terkenang seseorang di satu tempat;
…….
Di ketinggian 35.000 kaki…
Ketika langit biru mempersembahkan sifat
terbaiknya
Tenang…
Awan membentuk betapa gumpalannya
Putih…
Dan matahari memperlihatkan senyumnya
Cerah…
Diketinggian 35.000 kaki…
Ingatanku
Pikiranku
Jiwaku
Hatiku
Setuju untuk satu arah saat ini yaitu kamu
Diketinggian 35.000 kaki…
Ingatan memaksaku untuk kembali ke masa
kau dan aku pernah berjanji saling menjaga
Tertawa akan hal bodoh yang kadang tak lucu
sekalipun
Menangis karena hal kecil yang menyentil hati
……..
Banyak lagi puisi puisi Sewitri yang menurut saya nenarik, meski dari tata kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar, ada huruf atau tanda baca yang tidak perlu dan (menurut saya) tak ada gunanya. Misalnya, terlalu banyak memakai tanda titik sampai tiga kali. Saya kurang paham, kenapa Sewitri membuat tanda baca titik sampai tiga. Tapi ditinjau dari makna puisi, harus saya akui, Sewitri sudah memilih kata kata yang indah dan jujur. Dan modal besar bagi seorang penulis adalah kejujuran. Ada beberapa puisi yang menurut saya enak dibaca. Seperti; Unconditional Love, Engkau Terindahku, Hampa, Jangan Datang dan Pergi, Walking on The Air, Bintang dan lainnya.
Di sisi lain, saya juga melihat, Sewitri bisa saja menjadi seorang Emily Dickinson, penyair wanita asal Amerika Serikat. Emily adalah wanita biasa yang suka menulis puisi realita. Dia membuat puisi untuk hati dan perasaannnya. Dia menumpahkan rindu, marah, egoisme, cinta, bunga dan dendam dalam 1800 buah puisi yang sangat terkenal di dunia hingga hari ini.
Emily yang meninggal dunia 15 Mei 1886 di Massachusetts dalam usia 55 tahun, tidak pernah “mempublish” puisi puisinya untuk umum. Usai menulis puisi, dia hanya menyimpannya untuk dirinya sendiri. Tapi setelah meninggal, ahli warisnya, mencetak puisi Emily menjadi beberapa buah buku. Dan, puisi puisi itu menjadi buku “Best Seller”.
Barangkali, ini juga yang membuat rekan saya, Zainul Ikhwan, seorang wartawan dan pendaki gunung, menyarankan pada Sewitri untuk mencetak dan mempublish puisinya menjadi buku. Agar banyak orang bisa menikmatinya, mumpung Sewitri masih suka menulis dan berusia muda.
Saya pun setuju dengan Zainul Ikhwan. Karena saya menilai, puisi Sewitri memang menarik untuk disimak dan “berbau” Emily Diickinson. Duh… Puisi yang Indah Sewitri. Egomu, bercampur dengan rindu!.
Judul : Kumpulan Puisi: Berjalan di Jalur Pelangi
Penulis : Sewitri
Penerbit : Samudra Biru, Cetakan I, Desember 2018
Dimensi : xiv + 54 hlm. ; 14 x 20 cm.
Harga : Rp