Samudrabiru – “Buruk rupa, cermin dibelah”. Ini adalah peribahasa yang menggambarkan kekeliruan cara berpikir dalam memperbaiki diri atau suatu entitas. Peribahasa ini tampaknya tepat jika dikaitkan dengan eksistensi kesejahteraan sosial (social welfare) dan pekerjaan sosial (social work) di Indonesia. Alih-alih membangun eksistensi keilmuan dan pendidikan, tidak sedikit dari kita yang justru menyalahkan masyarakat karena kurang dapat menghargai profesi pekerjaan sosial.
Kegamangan profesi pekerjaan sosial di tengah masyarakat tampak jelas tatkala lulusan pendidikan pekerjaan sosial tidak mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan ilmunya. Masalah ini sepertinya disebabkan mulai dari masih kurang dipahaminya profesi pekerjaan sosial oleh masyarakat hingga keberadaan pendidikan pekerjaan sosial yang kurang jelas arahnya.
Namun demikian, menjamurnya pendidikan pekerjaan sosial di beberapa perguruan tinggi di Indonesia serta makin banyaknya seminar-seminar tentang pekerjaan sosial patut untuk dirayakan bersama-sama. Dan yang paling penting adalah bagaimana kita bisa meng-create pendidikan pekerjaan sosial itu sebagai “kawah candradimuka” terbentuknya pekerja-pekerja sosial yang profesional.
Makalah ini mengulas beberapa isu utama yang berkaitan dengan pendidikan pascasarjana pekerjaan sosial di Indonesia. Mengulas pendidikan pascasarjana pekerjaan sosial dirasa sangat penting dan strategis dalam rangka makin memantapkan eksistensi profesi pekerjaan sosial di tengah masyarakat Indonesia.
Terlebih, pendidikan pascasarjana pekerjaan sosial di Indonesia mengalami quo vadis. Misalnya terkait apakah pendidikan pasca-
sarjana pekerjaan sosial harus tetap generalis atau spesialis (memiliki kekhususan atau konsentrasi)? Apakah spesialisasi pekerjaan sosial harus berdasarkan metoda atau area praktik? Apakah proses penerimaan mahasiswanya harus ekslusif (hanya menerima mahasiswa yang memiliki pendidikan undergraduate linier) atau inklusif (menerima peserta didik dengan gelar undergraduate dari berbagai disiplin ilmu)?
Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial
Pembaca tidak perlu merasa bosan untuk kembali mengulas tentang kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial sebagai kerangka dasarnya. Sebab, pemahaman yang keliru akan mengantarkan kita pada konsep yang salah dan berujung pada praktik yang tidak benar. Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat tentang kedua entitas ini, kita perlu membedakan antara kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial. Kesejahteraan sosial adalah semua aktivitas intervensi sosial untuk meningkatkan keberfungsian sosial umat manusia. Sedangkan pekerjaan sosial adalah pekerjaan profesional yang menerima pelayanan kesejahteraan sosial.
Dolgoff dan Feldstein (2007:4) menulis bahwa “Social welfare is all social interventions intended to enhance or maintain the social functioning of human beings. Social work is a professional occupation that delivers social welfare services”. Jadi, pekerjaan sosial lebih berkaitan dengan profesi pekerjaan dan kesejahteraan sosial adalah ilmu yang membidanginya. Ini sama halnya dengan dokter dengan ilmu kedokteran, guru dengan pendidikan, psikolog dengan psikologi, dan seterusnya.
Kesejahteraan sosial dapat juga dipahami sebagai kondisi sejahtera (wellbeing) itu sendiri. Karena sebagai kondisi, maka kesejahteraan sosial menjadi tujuan pencapaian atas banyak aspek pembangunan. Misalnya dunia pendidikan dan kesehatan mempunyai tujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan sosial telah menjadi tujuan dan capaian umum daripada bidang-bidang kehidupan yang lainnya.
Dalam konteks bidang kesejahteraan sosial, maka profesi utama yang bekerja di dalamnya adalah pekerja sosial. Namun, sebagaimana profesi lain (dokter, guru, pengacara) yang bekerja di bidang kesejahteraan sosial, pekerja sosial juga banyak yang bekerja di bidang lain (industri, lembaga peradilan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain).
Pekerja sosial profesional mempunyai tugas pokok untuk memperbaiki (restore) atau meningkatkan (enhance) kapasitas keberfungsian sosial dari individu, kelompok, ataupun masyarakat
Payne (2007) menjelaskan bahwa, “Professional social workers assist individuals, groups, or communities to restore or enhance their capacity for social functioning, while creating societal conditions favorable to their goals”.
Kunci penekanan pekerja sosial profesional adalah pada bekal pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari pendidikan pekerjaan sosial. Di sinilah peran strategis pendidikan pekerjaan sosial dalam rangka menciptakan pekerja sosial profesional. Sekalipun, untuk konteks Indonesia sendiri, peran-peran yang semestinya dimainkan oleh pekerja sosial profesional tersebut kerap dilakukan oleh orang lain yang tidak berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial. Di satu sisi memang patut disayangkan, sebab ini makin mengaburkan profesi pekerja sosial. Namun di sisi lain kita patut bersyukur karena apa yang menjadi peran dan fungsi pekerja sosial telah dilakukan oleh pihak lain.
Secara yuridis, siapa sesungguhnya pekerja sosial profesional pada dasarnya telah dituangkan dalam Undang-Undang No 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa pekerja sosial profesional adalah “seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman prakte[i]k pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial” (UU No.11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial).
Kriteria pekerja sosial profesional yang dibangun dalam UU di atas memang menimbulkan sedikit kontroversi. Yakni, bahwa seseorang bisa disebut pekerja sosial profesional meskipun tidak berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial. Asalkan dia mempunyai pengalaman praktik yang cukup. Dengan demikian, pendidikan pekerjaan sosial bukan satu-satunya jalan untuk menjadi pekerja sosial profesional. Kondisi ini tentu saja makin memperpuruk eksistensi pendidikan pekerja sosial. Namun, terlepas dari itu semua pengakuan profesi pekerja sosial dalam UU tersebut adalah sebuah kemajuan besar yang patut untuk dirayakan bersama-sama.
Pekerja sosial profesional mempunyai kedudukan yang sama dengan profesi lain yang sudah mapan, misalnya dokter atau guru. Kedudukan yang sama ini perlu dipahami karena selama ini profesi pekerja sosial dianggap tidak memiliki kedudukan yang jelas.
Pekerjaan sosial adalah profesi setua umur manusia, karena permasalahan sosial juga muncul bersamaan dengan hadirnya manusia di muka bumi. Karena itu, tugas sebagai pekerja sosial sangat luhur, terkait dengan kehormatan dan martabat kemanusiaan. Segenap kendala yang membatasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak asasinya, maka hal itu menjadi perhatian pekerja sosial. Baik itu yang menyangkut hak anak, remaja, manusia dewasa, hingga kaum lanjut usia.
Sesuai Undang-undang Kesejahteraan Sosial nomor 11 tahun 2009, tugas Kementerian Sosial sangat luas, dapat diibaratkan mengurus manusia ‘mulai dari kandungan sampai dimakamkan di liang lahad’. Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program unggulan Kementerian Sosial yang ditujukan kepada ibu rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang memiliki bayi atau anak yang masih sekolah sampai tingkat SMP (sekolah menengah pertama). Selain itu, Kementerian Sosial bertanggung jawab memberi santunan kepada para perintis kemerdekaan dan janda pahlawan, bahkan memproses pemberian gelar dan tanda jasa kepada mereka yang berkontribusi besar bagi bangsa sampai akhir hayatnya.
Isu yang dibahas dalam studi pekerjaan sosial sangat beragam sebagaimana kompleksnya kehidupan manusia. Untuk keperluan metodologi ilmiah perlu kajian yang spesifik dan obyektif. Kerangka studi yang obyektif dirumuskan di negara-negara Barat yang lebih maju, meskipun praktik Pekerjaan Sosial sudah berkembang lama di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya.
Secara ontologis (substansi pengetahuan) dan epistemologis (metode pengkajian), studi pekerjaan sosial memang bersifat universal. Namun, dari sudut aksiologis (manfaat dan implementasi praktis), pekerjaan sosial harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang mengakar di masing-masing negara. Bahkan, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, landasan nilai tersebut dapat bersumber dari local wisdom yang sangat berbeda di tiap daerah.
Tuntutan indigenisasi (pribumisasi) studi dan praktik pekerjaan sosial sangat penting seperti dibahas dalam Bab XXVII di buku, di samping juga kesadaran untuk memperluas wawasan dan menguji kompetensi di ranah global. Buku ini, Pendidikan dan Praktik Pekerjaan Sosial di Indonesia dan Malaysia mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan pengaruh global dan kebutuhan nasional/lokal.
Buku ini sangat tepat sebagai pegangan bagi para pekerja sosial untuk meningkatkan kompetensinya yang bersifat dasariah, maupun spesialisasi di berbagai bidang. Buku ini juga sangat penting karena menyajikan perbandingan kurikulum pendidikan kesejahteraan sosial di dua negara untuk peringkat sarjana dan pasca sarjana. Kerjasama pendidikan antara Indonesia dan Malaysia sudah berlangsung lama, dan saat ini sedang dirintis rencana kerjasama antara Menteri Sosial kedua negara. Apalagi, pada Oktober 2011 Indonesia menggelar Social Welfare Conference yang mengundang para pakar, praktisi dan penentu kebijakan dari berbagai negara, terutama di kawasan Asia Tenggara. Forum ini menjadi wadah munculnya ide brilian dan pengalaman terobosan untuk memajukan pembangunan sosial di Indonesia.
Judul : Pendidikan Dan Praktik Pekerjaan Sosial Di Indonesia & Malaysia
Editor : Edi Suharto, Azlinda Azman, dan Ismail Baba
Penerbit : Samudra biru
Cetakan Pertama, Desember 2011.
Dimensi : xiv + 344 hlm, 15 x 23 cm
Harga : Rp