Asian Para Games Menuju Peradaban Inklusif

Samudrabiru – ASEAN Para Games adalah ajang olahraga yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali dan pasca penyelenggaraan Asian Games. Pesta olahraga itu diselenggarakan untuk para atlet difabel. Kendati tidak sepopuler Asian Games, namun berhasil memenangkan Asian Para Games tetap menarik untuk disaksikan. Gengsi meraih medali emas di ajang Asian Para Games sama dengan medali emas di Asian Games.

Asian Para Games berbeda dengan turnamen olahraga lainnya. Ini bukan sekadar turnamen tempat para atlet mendulang prestasi dan nama besar. Ia lebih dari sekadar ajang perebutan medali dan juara umum. Asian Para Games adalah corong bagi para difabel untuk bersuara. Menyampaikan nilai-nilai yang selama ini tak dilihat orang, memperdengarkan suara yang selama ini terbendung oleh stigma warga kelas dua atau kelas ke sekian.

Asian Para Games memang baru dihelat tiga kali. Namun, bukan berarti ia tak menempuh jalan panjang. Berbicara tentang kelahirannya, mau tak mau kita harus menarik mundur jauh ke belakang, ke masa-masa saat dunia mengaduh dahsyat akibat Perang Dunia II.

Bila sudah sampai ke masa kelam itu, maka kita akan bertemu dengan Dr. Ludwig Guttmann, neurologis Yahudi kelahiran Jerman yang pada akhirnya mendapat suaka untuk tinggal di Inggris dan berkarya di Rumah Sakit Stoke Mandeville. Tugasnya berat minta ampun. Ia diminta untuk mendirikan dan membangun National Spinal Injuries Centre. Di unit itu, kebanyakan pasiennya merupakan tentara-tentara Inggris yang menjadi korban Perang Dunia II.

Perjumpaan kita dengan Guttmann pada akhirnya akan mengakrabkan kita pada ide-ide gilanya. Ide yang dipandang sebagai ambisi tak masuk akal di mata para petinggi rumah sakit. Guttmann berbeda dengan mereka yang kukuh untuk merehabilitasi pasien difabel dengan berdiam diri, membatasi gerak mereka sedapat-dapatnya, dan menyembunyikan mereka dalam kehidupan sosial.

Yang menggelinjang dalam benak Guttmann, rehabilitasi bukan mengasingkan para pasien dari dunia luar. Yang berkecamuk dalam alam pikirnya, rehabilitasi tak sama dengan mengistirahatkan tubuh para pasien itu secara permanen. Apalah artinya selamat dari kematian dan kekejaman perang, bila mereka hidup terasing dan tak dapat menikmati kehidupan itu sendiri?

Lantas, sampailah Guttmann pada gelaran paralimpik pertama. Bukan turnamen megah, karena hanya digelar di Stoke Mandeville, sebuah desa di Aylesbury, Inggris. Bukan kompetisi sarat prestise karena hanya mempertandingkan panahan dan diikuti oleh 14 pria dan dua wanita yang merupakan pasien di unit rumah sakit yang ditanganinya itu.

Namun, tak semuanya perlu menjadi besar sejak awal untuk dapat berdiri kokoh dan kuat. Dari gelaran sederhana itu, dunia berkenalan dengan Paralimpiade, FESPIC Games, dan pada akhirnya Asian Para Games.

Ke-135 medali yang dikumpulkan Indonesia itu hanya akan menjadi logam-logam yang bercerita soal keberhasilan masa lampau jika orang-orang memperlakukan Asian Para Games sebagai turnamen olahraga bagi para penyandang disabilitas belaka. Asian Para Games, Paralimpiade, dan turnamen-turnamen sejenis seharusnya tak menjadi klimaks apalagi epilog. Multiajang seperti ini seharusnya menjadi prolog untuk melahirkan aksesibilitas tinggi bagi para difabel.

Cikal Bakal Asian Para Games

Far East and South Pacific Games for the Disables (FESPIC Games) adalah cikal bakal terbentuknya Asian Para Games (APG) yang merupakan ajang olahraga multicabang khusus untuk difabel.

FESPIC Games kali pertama digelar pada 1975 di Oita, Jepang, untuk memberi kesempatan para penyandang disabilitas di Asia dan Pasifik menunjukkan kemampuan di bidang olahraga.

FESPIC Games diperkenalkan untuk memberikan kesejahteraan terhadap penyandang disabilitas di beberapa negara dan memperkenalkan pemahaman terkait disabilitas di ranah olahraga dan kegiatan lain. Tujuan lainnya adalah memperdalam rasa saling memahami dan persahabatan.

Sejak kali pertama digelar daftar negara peserta FESPIC Games terus bertambah seiring berjalannya waktu. Negara Asia Tengah seperti Kazakhstan, Uzbekistan, Kirgistan, Turkmenistan, Tajikistan, Armenia dan Azerbaijan menjalani debut di gelaran FESPIC ketujuh pada 1999. Di edisi 2006, negara Timur Tengah dan Timor Leste mulai ikut ambil bagian.

Indonesia pernah menjadi tuan rumah FESPIC Games kempat pada 1986 yang diikuti 19 negara peserta. Kala itu, Solo menjadi kota yang dipilih untuk menjadi tuan rumah.

FESPIC Games terakhir digelar di Kuala Lumpur, Malaysia 2006 lalu. Khusus untuk negara-negara Asia, gelaran FESPIC Games kemudian digantikan dengan nama Asian Para Games (APG) yang untuk kali pertama digelar di Guangzhou, China, pada 2010 setelah gelaran Asian Games ke-16 selesai. Sedangkan untuk negara-negara di kawasan Pasifik, FESPIC digantikan Pacific Games Programme.

Buku Asian Para Games Menuju Peradaban Inklusif ini menyoroti gelaran pesta olahraga empat tahunan sekali di negara-negara Asia, yaitu Asian Para Games. Sebuah pesta olahraga di mana para atletnya merupakan penyandang disabilitas. Asian Para Games sebagai sebuah ajang keikutsertaan kaum difabel dalam menunjukkan prestasinya di bidang olahraga ini patut diapresiasi dan terus dilestarikan sebagai upaya untuk membangun peradaban inklusif—sebuah peradaban yang diwarnai dengan cara pandang bahwa penyandang disabilitas hanyalah berbeda dari segi kemampuan (differently able people) saja, namun memiliki partisipasi yang sama dengan mereka yang non-difabel.

Makna inklusif itu sendiri dapat dipahami dari asal katanya, yakni “Inklusi” yang diserap dari kata inclusion yang berarti mengajak masuk atau mengikutsertakan. Sedangkan lawan katanya adalah “Eksklusi”, yang diserap dari kata exclusion yang berarti mengeluarkan atau memisahkan.

Sehingga harapannya, jika ajang ini terus didukung sebagai bagian dari pendekatan menuju peradaban inklusif, maka bisa jadi untuk beberapa tahun ke depan tidak ada lagi Asian Para Games sebab perhelatan ini sudah tergabung ke dalam Asian Games sebagai sebuah kesatuan.

Judul : Asian Para Games Menuju Peradaban Inklusif

Penulis : Prof. Dr. dr. James Tangkudung, Sportmed, M.Pd.,CPA,CPI,CPD., Ferdinand Kamariki Tangkudung, S.H., dan Frisly Fhoster Ferby Palenewen.

Penerbit : Samudra Biru, Cetakan I, Februari 2019

Dimensi : viii + 138 hlm. ; 16 x 24 cm.

Harga : Rp