Program Bimbingan Konseling dan Implikasinya terhadap Resiliensi Lansia di Panti Jompo BPPLU Propinsi Bengkulu

Samudrabiru – Manusia dalam hidupnya mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lansia. Semua individu mengikuti pola perkembangan dengan pasti. Setiap masa yang dilalui merupakan tahap-tahap yang saling berkaitan dan tidak dapat diulang kembali. Hal-hal yang terjadi di masa awal perkembangan individu akan memberikan pengaruh terhadap tahap-tahap selanjutnya. Salah satu tahap yang akan dilalui oleh individu tersebut adalah masa lanjut usia atau sering disebut lansia.

Lanjut usia merupakan masa akhir dari sebuah rentangan kehidupan. Pada masa ini secara umum terjadi proses degeneratif pada segala aspek, fisik, psikis maupun aktivitas sosial. Proses ini sangat individualistik, individu yang mampu menyadarinya bisa merespon positif, namun individu yang tidak  mampu menyadari hal ini akan merespon negatif yang berimbas pada semakin cepatnya proses degeneratif tersebut. Cepatnya proses degenaritf ini banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama faktor proses perkembangan masa lalu. Jika masa lalunya dikembangkan dengan harapan positif, maka dia akan merasa puas. Namun, jika masa perkembangan sebelumnya dilalui dengan cara yang negatif, maka akan menampilkan keragu-raguan, kemurungan, dan keputusasaan atas seluruh nilai kehidupannya.

Tinjauan terkini dari WHO, seiring majunya informasi terkait kehidupan lansia, populasi lansia pun mulai meningkat. Menurut Mayasari (2012), berdasarkan data WHO, penduduk di 11 negara anggota WHO kawasan Asia Tenggara yang berusia lebih dari 60 tahun berjumlah 142 juta orang dan diperkirakan akan meningkat hingga tiga kali lipat pada tahun 2050. Kondisi ledakan lansia memberikan sinyal pada para praktisi kesehatan dalam pencegahan ledakan jumlah lansia terutama terkait kesehatan lansia, baik dari aspek fisik, psikis, dan sosial yang akan saling mempengaruhi satu sama lain. WHO, institusi kesehatan dunia, mencanangkan program peningkatan kesehatan agar individu memiliki usia yang lebih panjang dan tetap produktif.

Hal ini dikarenakan secara ideal lansia yang tetap produktif di usia lanjut mengindikasikan  bahwa  kehidupannya berkualitas dan sejahtera. Selain itu, berkaitan juga dengan adanya kepuasan hidup lansia. Kepuasan hidup secara luas digunakan sebagai tolok ukur kesejahteraan psikologis pada lansia. Salah satu indikasi individu yang sejahtera adalah individu dengan pribadi resilien dalam proses perkembangan hidupnya.

Pengertian lansia menurut Hadiwinoto dan Setiabudi seperti dikutip Wijayanti menyatakan bahwa kelompok lansia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas.  Di Indonesia, hal-hal yang terkait dengan usia lanjut diatur oleh suatu Undang-Undang Republik Indonesi No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia. Dalam pasal 1 ayat 2 bahwa lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas. Selanjutnya, pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa lansia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa, lansia mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari pasal tersebut jelas bahwa lansia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain.

Periode usia lanjut, seperti halnya periode lain dalam perkembangan, akan ditandai dengan adanya kondisi-kondisi khas yang menyertainya. Kondisi-kondisi khas yang menyebabkan perubahan pada usia lanjut diantaranya adalah tumbuhnya uban; kulit yang mulai keriput; penurunan berat badan; tanggalnya gigi geligi sehingga mengalami kesulitan makan. Selain itu muncul juga perubahan yang menyangkut kehidupan psikologis lanjut usia, seperti perasaan tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru, misalnya penyakit yang tidak kunjung sembuh atau kematian pasangan.

Hurlock juga menjelaskan dua perubahan lain yang harus dihadapi oleh individu lanjut usia, yaitu perubahan sosial dan perubahan ekonomi. Perubahan sosial meliputi perubahan peran meninggalnya pasangan atau teman-teman. Perubahan ekonomi menyangkut ketergantungan secara finansial pada uang pensiun dan penggunaan waktu luang sebagai seorang pensiunan. Sikap tidak senang terhadap kondisi penuaan itu dipengaruhi juga oleh adanya label-label yang berkembang dalam masyarakat terhadap diri individu lanjut usia.

Senada dengan hal itu, badan kependudukan keluarga berencana nasional seperti dikutip Wijayanti menyebutkan ada tiga aspek yang perlu dilihat pada lansia yaitu, aspek biologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial.  Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu, semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.

Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.

Secara sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial tinggi yang harus dihormati oleh warga muda.

Idealnya pada usia lansia, individu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan keagamaan, kegiatan sosial, tidak melakukan pekerjaan yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, berkumpul bersama dengan anak dan cucu, serta menemukan relasi dengan kelompok seusia, sehingga dapat berbagi cerita dan tidak merasa kesepian, namun tidak semua lansia mampu berada ditengah keluarga, hidup bersama dengan pasangan, mampu memenuhi kebutuhan sendiri dengan uang pensiunya, serta hidup bahagia bercengkraman dengan cucu.

Masalah lansia yang tinggal bersama keluarga maupun dengan pasanganya sangatlah kompleks, terlebih lagi jika lansia harus tinggal di Panti Jompo, kondisi jauh dari keluarga anak atau cucu, sehingga lansia merasa kesepian, ketidakcocokan dengan kondisi di Panti, mulai dari makanan, tempat tinggal dan dukungan sosial rekan sebaya. Berdasarkan studi awal terhadap beberapa lansia yang tinggal di panti jompo Provinsi Bengkulu kondisi ideal sebagai lansia tidak mereka dapatkan ketika mereka tinggal bersama keluarga dan anak, banyak ketidaksesuaian yang mereka sampaikan ketika tinggal bersama keluarga. Masalahnya adanya kebutuhan untuk berintraksi dengan teman seusia, namun karena keterbatasan tenaga dan perbedaan lingkungan tempat tinggal ditempat anak yang berbeda tidak ditemukan komunitas yang sama dengan kebutuhan lansia, kesibukan mengasuh cucu yang tidak semua lansia mampu untuk melakukanya lagi karena keterbatasan fisik, kesepian karena anak yang bekerja, dan hari-hari lansia hanya ditemani televisi. Tidak adanya keluarga atau anak yang menghidupi, hidup sebatang kara, dan ketidakcocokan dengan keluarga atau anak. Namun ketika berada di panti, kondisi lansia juga ada yang mengalami kenyamanan, namun banyak juga justru muncul permasalahan baru setelah tinggal di panti, karena lansia membutuhkan penyesuaian untuk bertahan dalam situasi-situasi yang sulit di panti jompo atau kemampuan resiliensi lansia dalam mengahadapi kondisi di  panti.

Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul  “Program Bimbingan Konseling dan Implikasinya Terhadap Resiliensi Lansia di Panti Jompo BPPLU Provinsi Bengkulu”.

Dari paparan yang sudah disampaikan di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam buku ini meliputi, resiliensi lansia di BBPLU Propinsi Bengkulu dan Implikasi Program  Bimbingan dan Konseling  berdasarkan kondisi  resiliensi lansia di panti jompo Provinsi Bengkulu.

Pada buku ini penulis memberi batasan yang akan di bahasa dalam bukku ini, yaitu resiliensi dalam penelitian ini akan dibatasi pada kondisi stressor bagi lansia berupa lansia yang jauh dari keluarga, kebutuhan hubungan sosial lansia, dan kesehatan fisik yang dimiliki lansia dan resiliensi akan digambarkan dari tujuh aspek resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, analisis kausal, empati, self efficacy, dan reaching out.

Buku yang berjudul   “Program Bimbingan Konseling dan Implikasinya terhadap Resiliensi Lansia di Panti Jompo (Studi di BPPLU Provinsi Bengkulu)” merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai bagian dari Tridarma Perguruan Tinggi di bidang penelitian.

Judul : Program Bimbingan Konseling dan Implikasinya terhadap Resiliensi Lansia di Panti Jompo BPPLU Propinsi Bengkulu

Penulis : Asniti Karni, Triyani Pujiastuti dan Hermi Pasmawati

Penerbit : Samudra Biru, Cetakan I, Oktober 2018

Dimensi : x + 128 hlm. ; 14 x 20 cm.

Harga : Rp