
Samudrabiru – Jika kapitalisme adalah sebuah tim sepak bola, sudah pasti mal adalah strikernya. Para manajer klub akan berusaha keras mendapatkan tanda tangannya. Para striker lain pasti iri dengan torehan golnya. Dan para pundit sepak bola pasti berlomba-lomba mencari hiperbola untuk menyanjungnya.
Kapitalisme sendiri merupakan sistem dan paham perekonomian yang modalnya bersumber pada modal pribadi/perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasar bebas (KBBI). Namun, ide yang pertama kali dicetuskan oleh Adam Smith ini pada prakteknya digunakan oleh kaum pemilik modal (borjuis) untuk menindas dan menghisap para buruh dan konsumen (proletar). Dan salah satu metode yang digunakan yaitu: pusat perbelanjaan modern atau mal.
Sebelum mal, masyarakat sudah mengenal pasar tradisional. Meskipun sama-sama pusat perbelanjaan, namun dua tempat ini memiliki perbedaan. Di pasar tradisional, masyarakat tak hanya memenuhi kebutuhan ekonominya saja, tapi juga mengaktualisasikan diri sepenuhnya. Karena kegiatan ekonomi di sini masih merupakan bagian dari aktivitas sosial. Hal ini direpresentasikan dengan cukup baik oleh prosesi tawar-menawar.
Sedangkan di mal, aktivitas ekonomi sudah tercerabut dari aktivitas sosial. Sewaktu berbelanja, konsumen hanya peduli pada barang yang mereka inginkan. Begitu juga sebaliknya, pramuniaga hanya peduli apakah konsumen berminat dan mampu membeli.
Di awal, saya menyamakan hubungan mal terhadap kapitalisme dengan striker terhadap klub sepak bolanya. Ini semua bukan tanpa alasan. Ketika saya berkunjung ke Ambarrukmo Plaza Jogjakarta (yang selanjutnya akan ditulis Amplaz), setidaknya ada empat karakteristik seorang striker sejati yang juga dimiliki oleh mal, yaitu: produktif, representatif, estetis, dan oportunis.
Karakteristik
Karakteristik yang pertama yaitu produktif. Tentu, tugas utama seorang striker adalah mencetak gol. Sebagai ujung tombak tim, ia dituntut untuk bisa menceploskan bola ke gawang lawan dengan cara apapun dan bagian tubuh manapun (tentu saja yang dianggap sah dalam rules of the game milik FIFA).
Contoh striker tipe ini adalah Zlatan Ibrahimovic, Robert Lewandowski, dan Filippo Inzaghi. Mencetak gol dengan backheel, tendangan salto, bahkan dengan pinggang sudah pernah dilakukan oleh mereka.
Begitu pula dengan mal. Mal merupakan mesin pengeruk keuntungan garda terdepan kapitalisme. Pasar modern ini mempunyai berbagai cara untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya. Pertama, mal akan menyediakan segala kebutuhan masyarakat.
Semua yang dipamerkan di mal tampak begitu komplit. Sehingga sedikit banyak, masyarakat pasti tergiur untuk membeli. Namun kemudian mal memasang harga setinggi langit, yang pada kenyataannya mayoritas masyarakat kita kesusahan untuk menyanggupinya. Tetapi masih tetap ada yang membeli (karena terlanjur tergiur).
Kalaupun tidak ada yang membeli, mal masih memiliki cara yang lain, yaitu: memberi diskon! Yang kedua adalah representatif. Seorang striker, karena kehebatannya, seringkali menjadi ikon sebuah klub. Karena mereka dianggap bisa merepresentasikan nilai-nilai yang ada di dalam klub tersebut.
Misalnya ketika kita mendengar kata ‘Barcelona’, maka nama yang pertama kali terlintas di pikiran kita adalah Lionel Messi. Sedangkan contoh di masa lalu ada Kenny Dalglish milik Liverpool, bahkan pendukung Liverpool menjulukinya sebagai “King”. Kemudian di Indonesia ada Bambang Pamungkas yang identik dengan Persija Jakarta Kondisi tersebut tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di mal.
Sejauh saya berkeliling mengelilingi Amplaz, tulisan-tulisan yang ada di sana (merek, tagline, pemberitahuan, instruksi, dll) hampir semuanya menggunakan bahasa asing, dengan mayoritas bahasa inggris. Saya sangat jarang menemui bahasa Indonesia. Padahal terakhir kali saya cek, bangunan Amplaz ini masih berada dalam wilayah geografis NKRI, lebih tepatnya Provinsi DIY.
Ini merupakan salah satu bukti bahwa mal dengan begitu baik merepresentasikan penjajahan perekonomian bangsa asing terhadap bangsa kita, mencoba lebih spesifik: kapitalisme!
Karakteristik berikutnya adalah estetis atau nilai keindahan. Seorang striker tak
jarang menunjukkan skill-nya untuk mengelabuhi lawan. Dan atraksi ini biasanya ditunggu-tunggu oleh penggemar sepak bola karena indah dan menghibur.
Contohnya adalah Ronaldo da Lima dengan kegesitan stepover-nya, Johan Cruyff dengan Cruyff turn-nya yang termahsyur, dan Ronaldinho dengan kelincahan elastico-nya. Mal, dari bangunan hingga beserta isinya, memang sengaja didesain untuk tujuan keindahan dan hiburan.
Tak seperti pasar tradisional yang cenderung kotor, bau, dan semrawut, mal hadir dengan tampilan yang lebih bersih, wangi, dan rapi. Bahkan tak jarang masyarakat sengaja merencanakan rekreasinya ke mal. Karena memang mal memiliki banyak ‘wahana’ untuk ‘berlibur’. Seperti: bioskop, area permainan, wisata belanja, hingga berbagai macam kuliner.
Sedangkan karakteristik yang terakhir yaitu oportunis. Seorang striker sejati
benar-benar paham caranya memanfaatkan peluang untuk mendapatkan skor. Jika mereka tidak mendapatkan peluang, maka mereka akan mencari-cari peluang mereka sendiri.
Dan di titik ini, mereka akan cenderung terlihat culas. Misalnya adalah ketika Diego Maradona mencetak gol dengan tangan, Luis Suarez yang sampai-sampai ‘menyakiti’ bek lawan, atau Diego Costa yang berpura-pura kesakitan ketika ‘terlihat’ dilanggar (walaupun sebenarnya tak ada kontak fisik) di kotak penalti lawan untuk mendapatkan hadiah penalti. Terlepas dari itu, sebenarnya mereka semua adalah seorang jenius di lapangan hijau.
Hal yang cenderung sama juga dilakukan oleh mal. Mereka bisa memanfaatkan
hal kecil untuk mendapatkan keuntungan. Contohnya adalah mal memahami bahwa masyarakat cenderung ceroboh dan tidak memperhatikan karcis parkir. Maka ketika kalian kehilangan karcis parkir, kalian akan didenda sebesar sepuluh ribu rupiah, belum termasuk biaya parkir itu sendiri yaitu dua ribu rupiah, sehingga total menjadi dua belas ribu rupiah. Sungguh, para kapitalis rakus.
Kemudian ada lagi. Mal dengan begitu pandainya memanfaatkan momen untuk berpromosi. Di hari saya mengunjungi Amplaz, kebetulan hari tersebut merupakan Hari Kartini. Maka di salah satu lantai mal tersebut, sedang berlangsung acara yang bertajuk “Mom and Kids” yaitu para ibu menyaksikan anaknya sedang menampilkan bakatnya di sebuah panggung dengan menggunakan pakaian adat jawa, khas Hari Kartini.
Itu tentu saja hanyalah sebuah strategi pemasaran agar ibu-ibu lebih tertarik
untuk berkunjung ke Amplaz pada hari itu. Tak hanya berhenti di situ saja. Saya juga mengamati seorang pegawai makanan cepat saji juga turut merayakan Hari Kartini. Pegawai tersebut memakai kebaya bermotif bunga berwarna biru. Kemudian memakai bros bunga melati putih di pinggang bagian kiri depan. Rambutnya tidak berkonde, namun hanya pendek biasa menggunakan bando cokelat.
Jika kalian bertanya-tanya kenapa saya bisa tahu sedetail itu, jawabannya
adalah kemudian saya tersadar bahwa ternyata mengutuk perilaku para kapitalis rakus sembari berjalan-jalan mengelilingi Amplaz juga membutuhkan tenaga. Maka saya memutuskan untuk berperilaku sedikit oportunis dengan memesan sebuah Mocca Float di gerai makanan cepat saji tersebut dan bersantai di kursi yang telah disediakan.
Judul Buku : Mall: Ujung Tombak Kapitalisme
Penulis : Tim Penulis
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : I November 2016
Dimensi : vi + 136 hlm, 14.8 x 21 cm
Harga : Rp