
Samudrabiru – Masa reformasi yang dimulai dengan tumbangnya rezim orde baru menciptakan dua perubahan yang saling berlawanan. Di satu sisi, alam demokrasi tumbuh dengan pesat ditandai dengan kebebasan berpendapat di mana hal ini dikekang di masa orde baru.
Di sisi lain, kebebasan berpendapat ini justru melahirkan bumerang. Kelompok-kelompok agama (Islam) militan tumbuh dengan mengusung isu-isu normatif.
Peran negara yang mulai dikurangi dalam menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat justru kelompok keagamaan tersebut semakin bebas berekspresi. Hal ini menimbulkan berbagai macam konflik keagamaan, terutama konflik antar agama yang cukup memilukan.
Konflik di Poso, Sulawesi Selatan misalnya, meledak sejak masa reformasi 1998. Masa reformasi yang mestinya membawa angin perubahan yang positif justru memperoleh kado pahit konflik antar agama.
Konflik Poso yang melibatkan antar komunitas agama jelas sekali tidak mencerminkan Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika, negara yang majemuk dan menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama.
Adanya konflik umat beragama yang menelan korban jiwa yang tidak sedikit patut disesalkan oleh semua kalangan khususnya bagi pemerhati maupun pengkaji hubungan antar umat beragama.
Walaupun menjadi isu yang sangat sensitif, hubungan antar umat beragama harus terus dikaji karena konflik antar umat beragama sangat potensial di Indonesia.
Konflik lainnya adalah seperti yang terjadi di Ambon. Tercatat hingga awal tahun 2000, konflik yang telah berlangsung sejak 19 Januari 1999 tersebut mengakibatkan tewasnya ribuan jiwa serta ratusan ribu penduduk mengungsi.
Saat konflik berlangsung, meski telah diberlakukan keadaan darurat sipil, konflik antar umat beragama di Ambon pada khususnya maupun kepulauan Maluku pada umumnya sulit diakhiri.
Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya adalah tragedi kemanusiaan sekaligus tragedi bangsa yang memilukan. Konflik ini pada masa-masa sebelumnya tidak pernah dibayangkan bakal terjadi, namun karena disebabkan oleh banyak faktor maka konflik yang memilukan tersebut akhirnya meledak.
Konflik semacam ini tidak bisa dipungkiri juga disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan terhadap isu-isu sensitif yang bersifat normatif keagamaan.
Isu-isu normativitas keagamaan sangat sensitif disebabkan banyak sekali perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut persoalan teologis. Dua agama yang mempunyai perbedaan cukup mendasar dalam persoalan teologis misalnya antara Islam-Kristen sebagai dua agama yang cukup berpengaruh di Indonesia.
Dalam hal akidah misalnya, keduanya mempunyai konsep ketuhanan yang bertolak belakang.
Celakanya jika didekati dengan cara pandang normatif, perbedaan tersebut hingga mengabsahkan seseorang untuk memerangi kelompok agama yang lainnya. Hal inilah mungkin yang memicu konflik semakin meruncing dan sulit untuk diintegrasikan.
Di tengah hubungan keagamaan yang sangat memprihatinkan tersebut, tentu patut disyukuri jika di tengah-tengah masyarakat ada upaya untuk melakukan integrasi di antara komunitas agama.
Namun demikian, upaya integrasi antar komunitas agama tersebut kerapkali terhalang atau bahkan ternodai oleh konflik-konflik keagamaan yang kasuistik.
Di sinilah tampaknya kita patut untuk mengambil pelajaran adanya integrasi antar komunitas agama di suatu tempat, di mana hal tersebut sekaligus dapat dijadikan sebagai best practice hubungan antar umat beragama.
Buku yang berjudul Islam dan Kristen dalam Kajian Integrasi Sosial ini pada dasarnya adalah kajian berkaitan dengan hubungan antara komunitas agama Islam dan Kristen di suatu daerah di Yogyakarta.
Karya yang merupakan pengembangan tesis dari Mahli Zainuddin Tago mulanya berjudul Integrasi Antar Komunitas Agama: Islam dan Kristen di Kecamatan Ngampilan Yogyakarta. Tesis ini disusun oleh penulis saat menyelesaikan pendidikan program pasca sarjana Sosiologi Universitas Gadjah Mada.
Sebagaimana disinggung di atas, upaya integrasi antar komunitas agama sesungguhnya dapat dilakukan dengan mengambil pelajaran terhadap suatu komunitas masyarakat yang sudah mempraktikkan integrasi dengan baik.
Salah satu contohnya adalah seperti yang terjadi di masyarakat kecamatan Ngampilan, Yogyakarta sebagaimana yang dikaji dalam buku ini.
Diambilnya kecamatan Ngampilan sebagai lokasi penelitian disebabkan kecamatan ini adalah bagian dari daerah Yogyakarta yang sering disebut “Indonesia Mini” karena pluralitas penghuninya. Sehingga daerah dengan karakteristik semacam ini pantas dijadikan sebagai contoh yang sangat baik bagi suatu integrasi.
Bahkan pada masa reformasi, misalnya, di Yogyakarta walaupun terjadi ratusan demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya tidak terlihat adanya pengrusakan-pengrusakan maupun pembakaran yang bermuara pada anarki. Yogyakarta seakan menjadi anomali di tengah berbagai kerusuhan yang melanda berbagai kota dan desa Indonesia akhir-akhir ini.
Sedangkan Ngampilan adalah salah satu kecamatan di Kota Yogyakarta di mana sampai tesis ini ditulis, belum terjadi konflik antar komunitas beragama. Sebaliknya, yang terjalin adalah integrasi, khususnya antar komunitas dengan komunitas Kristen.
Padahal, sebagaimana masyarakat Yogyakarta pada umumnya, masyarakat Kecamatan Ngampilan adalah masyarakat yang plural. Pluralitas itu terlihat dari adanya variasi dalam hal pemelukan agama, kesukuan, taraf ekonomi, maupun afiliasi partai politik.
Adanya kenyataan integrasi antar umat beragama di kecamatan Ngampilan, Yogyakarta inilah sepertinya yang menjadikan buku ini menarik untuk dibaca.
Harapannya adalah bahwa buku ini dapat menjadi pelajaran atas upaya membangun integrasi antar komunitas agama yang sudah mulai rapuh di Indonesia belakangan ini. Semoga bermanfaat bagi para pembaca yang budiman!
Judul : Islam dan Kristen dalam Kajian Integrasi Sosial
Penulis : Mahli Zainudin Tago
Tebal : 96 halaman
Harga : Rp