AGAMA DAN PROBLEM KEMISKINAN (Renungan renungan Agama dan Sosial)

Samudrabiru – Buku yang ada di hadapan pembaca ini sesungguhnya secuil kritik terhadap  perilaku  umat Islam.  Walaupun  tulisan-tulisan  yang  ada bukan merupakan tulisan yang utuh membahas satu tema tertentu, sebagaimana dapat dibaca dalam isi buku, tetapi terlihat jelas dalam kumpulan renungan-renungan  ini  nuansa  kegelisahan  penulisnya. 

Ada dua puluh lima lebih artikel sebagai refleksi dalam buku ini yang walaupun kecil sifatnya, tetapi dapat menjadikan kita sedikit merenung untuk melihat keber-Islaman kita. 

Apalagi penulisnya, sebagaimana saya ketahui, dalam sekala kecil juga beraktivitas dengan jamaah mushalla- mushalla di sekitarnya, sehingga dapat merasakan problematika umat Islam di akar rumput khususnya dalam aspek keagamaan.

Buku ini secara tersirat memberikan nasihat bahwa ber-Islam itu harus menyeluruh, tidak setengah-setengah. Islam yang universal dalam kandungan ajarannya harus dilaksanakan secara serius disertai dengan kesadaran ilmu yang baik pula. 

Artinya tidak boleh ada satupun aspek yang tertinggal dalam implementasinya bagi setiap umat Islam. Demikian setidaknya kalimat singkat yang dapat ditangkap dari kandungan pesan dalam renungan- renungan kader muda Muhammadiyah ini, yang sebagaimana saya kenal juga, berniat mengabdikan seluruh potensinya untuk berkhidmat pada persyarikatan di kota kelahirannya, kota bercahaya, Cilacap. 

Sebuah kota yang terletak paling selatan di Pulau Jawa dengan potensipersyarikatan, walaupun minoritas tetapi, sedang menggeliat menguat karena di topang oleh tokoh-tokoh yang sangat perhatian pada tumbuhnya kualitas kadernya.

Buku ini mengajak kita untuk mampu melihat problematika umat Islam  yang  terlihat  tidak begitu  utuh  dan  serius  dalam  beragama. Satu sisi terlihatbegitu taatnya seperti diketahuidari aktivitas seperti shalat, puasa dan bahkan berhaji,sebagaimana kita dapat menyaksikan penuhnya antrean umat Islam yang ingin beribadahhaji. 

Akan tetapi satu sisi yang lain, formalitas agama seperti itu tidak terejawantahkan dalam kehidupan sosialnya. Korupsi yang merajalela di mana-mana, kehidupan maksiat yang gamblangdipertontonkan dalam setiap lingkungan sekitar kita. 

Sikap umat Islam yang serba instan,seperti ingin kaya denganjalan yang cepat serta menerabas nilai-nilai syari’ah. Termasuk juga dalam karakter-karakter positif yang seharusnya merupakan implikasi langsung taatnya umat Islam terhadapagamanya, seperti etos kerja yang rendah serta sikap disiplin yang kurang. 

Padahal kalau mau melihat lebih jauh, bukankah shalat dengan jelas mengajarkan pemeluknyauntuk bersikap disiplin, sebab waktu-waktu shalat adalah pengajaran terbaik buat kita untuk mengatur kehidupankita dengan baik dan disiplinyang tinggi pula.

Allah  Subhanahu  Wata’ala  berfirman,  “Wahai  orang-orang  yang beriman! Masuklahke dalam Islam secara keseluruhan. Dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh,ia musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqarah (2): 208).

Ayat tersebut dengan jelas memerintahkan pada kita, bahwa alam menjalankan agama Islam harus mengamalkannya secara  sempurna. Kemampuan itu ada pada keharusan mengamalkan segala kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala danRasul-Nya, termasukjuga menjauhi segala larangannya. 

Di samping itu, yang termasuk dari gagasan terpenting dari ayat tersebutadalah, pekerjaan sejatisetan hanya menjerumuskan manusia dari jalan yang diridlai-Nya. Oleh karena ketetapan yang demikian, kita harus senantiasa menyematkan padanya sebagai musuh abadi, yang tidak boleh untuk sekalipun bersahabat dengannya.  Karena  bersahabat  dengan  setan  adalah  keterjerumusan yang sangat membahayakan.

Persoalan selanjutnya adalah, godaan setan itu juga bersifat menyeluruh. Artinya, ia tidak hanya soal menggoda manusia untuk meninggalkan shalat dangodaan-godaan yang semisalnya. Ia jugamemiliki kemampuan membisiki dada kita untuk tanpa sadar kita terjerumus ke dalam perangkapnya. Malas bekerja dan memenuhi perjanjian misalnya, sesungguhnya ia merupakan bisikan setan. 

Bekerja berorientasi materi juga perangkapnya. Atau misalkanmendengki terhadap sesama,itu juga merupakan bisikan setan. Apalagi perilaku seperti korupsi dan menipu, yang dapat kita baca dengan jelas sebagai bisikan setan. 

Maka jika misalkan diberikan pertanyaan pada kita, bagaimana hukumnya orang yang pergi berhaji dengan uang yang sebagiannya hasil korupsi, berpijak dari argumen ini tidak bisa dijawab dengan, pergi hajinya adalah sah dan korupsinya adalahdosa. Tetapi kita harus tegasbahwa hajinya tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala sedikitpun.

Sebagai penegasan, surat Al-Baqarah (2): ayat dua ratus delapan tersebut memberikan perintah tegas untuk melaksanakan Islam secara keseluruhan.  Maka,  di  dalam  mengamalkan  ajaran  Islam  tersebut tidak  boleh  menanggalkan  satu  aspekpun  dalam  implementasinya. Ia merentang dari yang sifatnya ta’abudi, yang sifatnya legal-formal sampai yang sifatnya ta’aquli yang lebih berada pada aspek mu’amalah duniyawiyah.

Dengan pemahaman seperti ini, maka keshalehan seseorang tidak dimaknai dalam aspekindividual saja. Di sana ada keharusan untukshaleh secara sosial dan kontekstual. Seseorang misalnya, tidak bisa disebut shaleh hanya karena telah berhaji berkali-kali, tetapi perilaku sosialnya tidak nyambung dengan ibadah hajinya tersebut karena, misalkan, ia tidak memiliki kepekaan terhadap orang marginal di sekitarnya.

Di sinilahurgensinya peningkatan potensidiri umat Islam dalamilmu. Sebab, secara umum dapat diyakinikecintaan seseorang pada ilmu akan meningkatkan daya pikirnya, untuk memahami bahwa melaksanakan agama bukan hanya soal ‘ubudiyah sajaseperti haji dan shalat.Karakter posistif seperti jujur, pemaaf, disiplin, dan sebagainya, sebagai misal, merupakan aspek juga yang dapat menjadi ukuran seseorang apakah ia disebut shaleh atau tidak.

Sebagai penutuppengantar ini, pentingkiranya kita berikanapresiasi terhadap buku ini. Walaupun hanya merupakan kumpulan karangan- karangan lepas yang tidak memiliki benang merah yang runtut dan tegas, sebagaimana diakuipenulisnya, Akan tetapiupaya sekecil apa pun yang berdimensi dakwah harus kita beri penghargaan sebaik-baiknya. 

Apalagi ide besar yang tersimpan dari kegelisahan penulisnya melihat realitas problematika umat Islam dapat kita rasakan. Yakni agar umat Islam lebih seriusdalam memaknai, menghayati, sekaligus mengamalkan agamanya. Hal ini, sebagaimana nasihat-nasihat di dalam tulisan, tidak akan mungkin terwujud tanpa adanya kesadaran dan kecintaan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan dan agamanya. (Dr. Abdul Mu’ti, dalam pengantar bukunya)

Judul : AGAMA DAN PROBLEM KEMISKINAN (Renungan renungan Agama dan Sosial)
Penulis : Muh. Azhar Syafrudin
Penerbit : Samudra Biru, Yogyakarta
Cetakan : I, November 2011
Dimensi : xxii + 150 hlm, 140 x 200 mm