Memperalat Agama: Pergeseran Rasionalitas Tindakan Sosial

Samudrabiru – Agama semestinya menjadi obor kehidupan. Sebagai obor ia menjadi subjek yang berfungsi memberi petunjuk sekaligus penerang manusia dalam menjalani berbagai aspek kehidupan. Tetapi berbagai perkembangan dalam masyarakat dengan berbagai kadarnya mempengaruhi keberagamaan pemeluk suatu agama.

Maka pada suatu situasi agama berubah fungsi. Ia lebih banyak menjadi objek daripada sebagai subjek. Sebagai obor kehidupan ia meredup sehingga tidak lagi bisa berfungsi menerangi dan memberi petunjuk. Obor itu masih ada memang. Tetapi ia lebih banyak digunakan sebagai instrumen untuk memenuhi kepentingan-kepentingan material para pemeluknya. Dengan kata lain telah terjadi proses instrumentalisasi agama.

Nilai-nilai Islam sebenarnya sejak lama telah merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Kerinci Hilir. Nilai-nilai itu tercermin pada berbagai peran yang dimainkan oleh Islam dalam berbagai institusi sosial setempat. Hal ini sudah berlangsung sejak awal kedatangan Islam sampai saat ini. Namun demikian peran tersebut mengalami dinamika yang sangat menarik seiring dengan perkembangan masyarakat setempat.

Islam yang masuk pertama kali ke kawasan ini adalah Islam Mistik/tasawuf. Ragam Islam ini mengakomodasi berbagai keyakinan dan praktek keagamaan lokal yang kemudian melahirkan Islam Sinkretis di mana di dalamnya para dukun memegang peran dominan. Maka berkembanglah berbagai kepercayaan keagamaan yang bersifat animistik-dinamistik. 

Ada yang berkaitan dengan makhluk halus dan arwah nenek moyang, berkaitan dengan totem, bersifat panteistik, dan beberapa kepercayaan lokal lainnya. Lalu ada pula berbagai pratek-teknik yang digunakan oleh para praktisi Islam Sinkretis itu dalam menangani para pasien/klien mereka.

Pada era 1930-an dilatarbelakangi kemakmuran ekonomi, Islam Syariat masuk ke Kerinci Hilir. Ragam ini lalu mengambil alih dominasi Islam Sinkretis dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari ia muncul dalam tiga varian: Islam Orang Siak (santri), Islam Orang Adat, dan Islam Orang Politik. 

Dalam varian pertama para buya menggairahkan kehidupan keagamaan dengan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan masjid dan pengajian. Dalam varian kedua para pemangku adat mewarnai adat yang menjadi pondasi kehidupan bersama setempat dengan syariat Islam. Sedangkan dalam varian ketiga para tokoh Islam Politik menjadikan syariat Islam sebagai sumber ideologi dalam praktek politik kepartaian mereka.

Tetapi sejak era 1990-an nilai-nilai Islam dalam kehidupan bersama masyarakat Kerinci Hilir mulai memudar. Itu terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pada ranah struktural itu ditandai dengan melemahnya adat. Bahkan bisa dikatakan adat itu sudah roboh. Pada ranah kultural itu ditandai dengan mengendurnya berbagai kegiatan keagamaan dan merosotnya akhlak masyarakat. 

Tembok kaku yang sebelumnya lama memisahkan Islam Syariat dengan Islam Sinkretis kini roboh. Dalam politik kepartaian idealisme keagamaan tidak ada lagi. Prinsip mumpung berkuasa digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan partai. Rakyat juga makin pragmatis. 

Pertimbangan idealisme kalah oleh kalkulasi ekonomi. Ada uang ada suara. Caleg non muslim didukung dengan argumen,”agama mereka memang haram tapi uang mereka halal.”

Belakangan, pada era 2.000-an fenomena memudarnya nilai-nilai Islam itu disambut oleh merosotnya perekonomian masyarakat. Dua hal itu melatarbelakangi munculnya fenomena keagamaan baru di Kerinci Hilir yaitu instrumentalisasi agama. Agama yang sudah mendarah daging memang tetap hadir dalam kehidupan sosial setempat. 

Hanya saja pada era 1980-an dan sebelumnya agama lebih banyak menjadi sumber nilai-nilai dan berfungsi aktif dalam mengatur kehidupan bersama. Kini pada era 2.000-an agama lebih banyak menjadi instrumen ekonomi. Fenomena ini meliputi Islam Sinkretis maupun Islam Syariat. 

Perdukunan kini lebih banyak menjadi jalan pintas ekonomi. Adat lebih banyak menjadi alat untuk pemenuhan kepentingan ekonomi para pemangkunya. Politik Islam tidak lebih dari sebagai lokak (mata pencaharian), dan orang siak (santri) lebih mengutamakan nalar bisnis pragmatis daripada pemahaman teologis keagamaan.

Dengan kata lain, menggunakan klasifikasi tindakan sosial Max Weber, telah terjadi pergeseran dalam rasionalitas tindakan sosial keberagamaan di Kerinci Hilir. Pada era 1980-an dan sebelumnya keberagamaan masyarakat setempat berlangsung dalam nuansa rasionalitas nilai (wertrationalitat). 

Dalam rasionalitas ini nilai/tujuan sudah ada sebelumnya. Nilai-nilai keagamaan yang diyakini baik oleh kelompok Islam Syariat maupun kelompok Islam Sinkretis bersifat absolut sehingga tidak diperhitungkan bandingannya dengan nilai-nilai lain, bersifat non rasional, dan merupakan nilai akhir bagi individu. 

Komitmen terhadap nilai yang begitu tinggi membuat pertimbangan rasional mengenai kegunaan dan efisiensi menjadi tidak relevan. Sedangkan sejak era 1990-an sampai kini keberagamaan masyarakat Kerinci Hilir berjalan dalam nuansa rasionalitas instrumen. Rasionalitas instrumen adalah rasionalitas mean and end (alat dan tujuan). 

Alat apa saja bisa dipakai agar tujuan bisa tercapai. Ketika tuntutan ekonomi semakin gencar, kemajuan diukur dari seberapa banyak kekayaan ekonomi yang diraih, maka yang berjalan adalah rasionalitas instrumen. Ekspresi dari rasionalitas instrumen itu adalah fenomena instrumentalisasi agama atau memperalat agama.

Buku ini tidak lain membahas tentang fenomena memperalat agama yang menjadi salah satu kajian sosiologi agama. Maka selain ditujukan bagi mahasiswa sosiologi agama, buku ini diharapkan dapat menjadi bahan pengayaan bagi mata kuliah perbandingan agama dan sejarah dakwah. 

Adapun memperalat agama dalam buku ini dimaksudkan sebagai proses di mana agama menjadi alat tawar-menawar untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Dalam hal ini agama tidak difahami dalam tingkat etik yang diturunkan menjadi etos untuk kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi. Simbol-simbol agama lebih dipakai sebagai alat untuk transaksi ekonomi. 

Sehingga tindakan-tindakan keberagamaan berlangsung dalam nuansa yang sangat pragmatis. Keseluruhan tindakan sosial keberagamaan lebih banyak berlangsung dalam konteks tujuan akhir berupa pemenuhan kepentingan material-ekonomi. Simbol-simbol keagamaan, baik Islam Syariat maupun Islam Sinkretis, lebih banyak dijadikan sebagai alat untuk pemenuhan tujuan-tujuan ekonomi (religion as a tool of economic goal).

Judul Buku : Memperalat Agama: Pergeseran Rasionalitas Tindakan Sosial
Penulis : Mahli Zainuddin Tago
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : I, Juli 2014
Dimensi : XXVI + 354 hlm, 14 x 20 cm
Harga : Rp