The Power of Book

Samudrabiru – Buku punya kekuatan yang dahsyat. Jika ada pepatah mengatakan kata-kata lebih tajam daripada pedang, maka buku punya pengaruh dan dampak jauh lebih hebat daripada kata-kata. 

Orang bisa lupa dengan kata-kata, karena ucapan bisa hilang ditelan bumi. Tulisan (buku) tak pernah hilang kecuali lapuk dimakan zaman. Tapi masyarakat beradab tak akan membiarkan buku lapuk dimakan zaman. 

Revolusi berdarah lahir dari kekuatan buku. Indonesia, China, Kuba, dan negara-negara Eropa lainnya pernah merasakan hebatnya pengaruh buku-buku karya Karl Marx. 

Kemajuan ilmu pengetahuan yang berbuah kehidupan yang aman dan tentram juga termasuk pengaruh buku-buku hebat masa lampau. Namun dunia juga bisa ‘geger’ karena sebuah buku. 

Anda masih ingat Salman Rushdi, penulis buku Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan)? Buku yang terbit tahun 1988 itu sempat membuat murka banyak tokoh dari negara-negara Islam. Lembaran kertas yang tersusun rapi dalam buku, berdaya ledak tinggi melebihi bom nuklir. Itulah kekuatan buku, the power of book.

Anda masih ingat juga bukan, buku Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro? Ya, buku yang terbit beberapa waktu lalu itu sempat juga menggegerkan keluarga Cikeas. 

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan balatentaranya dibuat kerepotan menangkalnya dengan berbagai jurus. Jagat politik tanah air geger oleh rangkaian kata yang mungkin hanya diketik sambil nongkrong di warung kopi murahan. 

Seperti halnya buku ini, tahukah Anda kalau buku ini ditulis di kamar yang sempit. Dengan meja reyot, kursi butut, keyboard yang huruf-hurufnya telah aus oleh terjangan ujung jari, dan layar monitor yang sudah tidak berkaki. Tapi (mungkin) bagi orang-orang tertentu, buku ini bisa menjadikannya termotivasi dan membuat bisnis penerbitan sendiri. Ini bukan ge-er (gede rasa) lo ya, he he…

Bandingkan dengan kata-kata. Untuk diikuti dan dipedulikan orang, Anda harus berpakaian rapi, (mungkin) berdasi, bersepatu dan punya gaya bicara yang meyakinkan. Itupun belum tentu diikuti. Tapi dengan menulis (buku), Anda cukup berpakaian apa adanya. Seperti saya sekarang ini yang sedang memakai celana dan kaos usang.

Bahkan untuk orang-orang tertentu, pengaruh tulisannya sungguh kuat. Kalimat-kalimatnya yang ditulis, menggelegar dan mengundang decak kagum. Walaupun yang bersangkutan kalau ngomong (di depan publik) gak lancar. Meski punya kelemahan dari segi oral, tapi tulisannya yang hebat menutupi kekurangannya. Berkait orang dengan tipe semacam ini, saya punya cerita menarik.

Saat kuliah di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta—sekarang Universitas Islam Negeri/UIN, saya punya dosen namanya Prof. Simuh. Beliau juga mantan Rektor. Pertama kali mengenalnya, saya membaca buku-bukunya tentang Islam Jawa. 

Kalimat-kalimatnya sungguh menarik dan memikat. Walaupun materi pembahasan menjemukan, buku tersebut mudah dipahami. Sampai-sampai saya seperti tidak sabar untuk segera bisa mengambil mata kuliahnya.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Setelah waktu perkuliahan dengan Prof. Simuh tiba, bukannya terpukau tapi malah ngantuk, hehehe….. Tutur katanya (maaf) tidak jelas dan membosankan. Kata-katanya itu-itu saja dan diulang-ulang. Walhasil, saya dan teman-teman yang lain ngantuk setiap kali ikut perkuliahannya. 

Meskipun bahasa oralnya menjemukan, namun bahasa tulisnya justru berbanding terbalik. Untuk bahasa tulisnya ini saya tidak berani untuk meremehkan. Memang sungguh luar biasa kekuatan sebuah tulisan. 

Satu lagi tentang kisah buku yang punya pengaruh sangat kuat. Yakni tentang buku berjudul The Secret yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama. 

Buku ini ditulis oleh Rhonda Byrne. Buku ini menjadi salah satu buku best seller di dunia. Saya tidak hendak membincangkan larisnya buku itu, karena terakhir kali saya membeli (bulan Agustus 2010), edisi Indonesianya sudah mencapai cetakan kesebelas.

Selain dalam bentuk cetak, buku itu juga dibuat versi film dokumenter yang bertutur tentang The Secret. Buku ini berisi tentang rahasia kehidupan yang menurut penulisnya, telah disembunyikan selama beratus-ratus tahun oleh orang-orang tertentu. 

Mengapa 1 persen populasi menghasilkan sekitar 96 persen uang yang pernah dihasilkan? Ini karena 1 persen populasi tersebut mengetahui rahasia kehidupan. 

Rahasia kehidupan ini menurut buku tersebut adalah tentang hukum tarik menarik. Alam semesta menyediakan apa saja untuk semua orang, asalkan dia dengan kuat menginginkannya. 

Manusia bagaikan magnet terkuat di alam semesta ini. Kemiripan menarik kemiripan. Maka, apapun yang diinginkan oleh seseorang pada dasarnya akan datang dengan sendirinya berdasarkan hukum tarik menarik tersebut. Teori ini tentu sangat menarik perhatian. 

Maka dalam buku tersebut diceritakan banyak sekali orang yang telah mempraktikkannya. Ajaibnya, teori itu terbukti benar. Buku itu ternyata mampu merubah nasih banyak orang. Dan saya yakin bahwa masih banyak pembaca yang mengalami keajaiban-keajaiban tak terduga dengan membaca buku dengan bahasa yang sangat kuat dan menyihir itu. 

Kisah di atas, mungkin banyak pula dijumpai pada ratusan bahkan jutaan buku yang lain. Pesan dalam sebuah buku bagaikan mantra yang mampu menyihir seseorang menjadi apapun. Luar biasa, bukan?

Anda tentu mau juga untuk menggerakkan ribuan bahkan jutaan orang karena pengaruh buku Anda? Namun tentu bukan untuk tujuan negatif, tapi positif. Jika mau, ayo saya ajak Anda bisa membuat buku sendiri dengan menelusuri bagian demi bagian buku ini. 

Sekalipun sebuah buku punya kekuatan yang dahsyat, sayangnya tidak sedikit orang meremehkan keberadaan sebuah buku. Malah banyak yang lebih memilih mengumpat di tengah kegelapan daripada menyalakan lilin agar bisa menerangi alam sekitar. 

Benar. Menulis buku ibarat menyalakan lilin di tengah kegelapan. Ini seperti ungkapan H.A. Mukti Ali yang dinukil di muka bab. Artinya, buku ibarat lilin yang bisa menimbulkan cahaya. Dan dunia ini bagaikan ruangan yang gelap gulita. Orang yang tidak mau menulis dan bisanya hanya mengkritik ibarat mengumpat di tengah kegelapan. 

Apa iya buku punya kekuatan lebih hebat daripada bom nuklir? Apa iya buku punya kekuatan menggerakkan orang? Masak iya buku bisa melahirkan revolusi? Nah, jika Anda dalam hati hanya menggerutu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, maka sama saja Anda telah mengumpat, hehehe…. 

Ironisnya, banyak orang yang bisanya mengkritik tapi tidak mau menulis. Orang semacam ini sesuai ungkapan Mukti Ali di atas adalah ibarat mengumpat di tengah kegelapan. Jadi, ayo kita menulis. Walaupun jelek, itu tetap lebih baik dibandingkan kata-kata yang terbaik. Karena dia ibarat lilin yang mampu menerangi kegelapan. ***