Statistik Pembiayaan Bermasalah pada Bank

Samudrabiru – Kesehatan suatu bank merupakan kondisi yang diinginkan oleh semua pihak yang berkepentingan, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank. Jika suatu bank sehat maka yang akan menikmati keuntungannya adalah pemilik bank dalam bentuk pembagian dividen yang besar, kemudian akan meningkatkan nilai dari sahamnya yang akan mendatangkan keuntungan lebih tinggi. Pengelola bank mendapat benefit lebih baik dalam bentuk kesejahteraan pegawainya. Nasabah deposan akan menikmati bagi hasil/return yang tinggi, begitu juga nasabah debitur akan dibebankan pricing yang lebih rendah, sehingga output yang dihasilkan dapat dijual dengan harga yang lebih kompetitif, dan pada akhirnya secara makro pihak otoritas dapat menjaga stabilitas sistem keuangan dengan baik. Sehingga pemerintah akan memperoleh realisasi pertumbuhan ekonomi sesuai yang diharapkan.

Tingkat kesehatan bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja bank, dengan melakukan penilaian terhadap variabel finansial dan variabel manajemen suatu bank. Penilaian seperti ini juga dilakukan di negara-negara lainnya, terutama negara-negara maju yang dilakukan oleh pihak otoritas perbankan kepada bank-bank yang ada di dalam wilayah negaranya.

Tingkat kesehatan suatu bank amat penting dalam menentukan suatu bank beroperasi dengan lancar dan menghasilkan keuntungan serta manfaat yang berkesinambungan bagi semua pihak yang terlibat. Kondisi kesehatan tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kualitas dari pembiayaan yang dikelola. Kondisi kualitas pembiayaan ini memiliki bobot sebesar 50% dari keseluruhan aspek penilaian terhadap tingkat kesehatan suatu bank. Hal ini dikarenakan risiko kredit masih tetap menjadi masalah utama dan bukan hanya untuk bank itu sendiri, tetapi juga menjadi perhatian bank sentral, lembaga pengawas, dan pemerintah.

Risiko kredit merupakan risiko pertama yang disadari sebagai risiko oleh dunia perbankan, sehingga menghasilkan ketentuan dalam Basell 1, yang keseluruhan isinya menjabarkan tentang pengendalian dari risiko kredit.

Tingginya Non Performing Loan (NPL) di industri perbankan dapat menimbulkan risiko kredit sistemik, karena jika semua bank memiliki masalah tersebut hal ini akan memberikan dampak yang serius pada perekonomian. Perekonomian akan merosot tajam karena perbankan tidak memiliki modal yang cukup (modal berkurang karena kerugian NPL yang terjadi). Akibatnya bank tidak dapat melakukan ekspansi kredit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Resesi perekonomian Amerika Serikat yang diawali pada penghujung tahun 2007 penyebabnya adalah terjadinya krisis di pasar finansial yang bersumber dari masalah kredit perumahan berkualitas rendah. Dampak krisis kredit perumahan di AS telah merembet ke berbagai sektor sehingga menimbulkan kepanikan dari para pelaku ekonomi. Kredit macet pada sektor perumahan di Amerika Serikat yang puncaknya terjadi pada akhir tahun 2008 telah menjelma menjadi krisis global yang maha dahsyat, dan merupakan krisis terburuk sejak great depression tahun 1930-an yang membawa dampak kerugian bukan hanya pada negara-negara kawasan Amerika, tetapi juga Eropa, Asia, Australia bahkan Afrika. Hal ini telah memaksa para pemimpin dunia untuk bersatu dan bekerjasama untuk menyelesaikan krisis ini, baik kerjasama secara bilateral maupun multilateral, di samping terobosan yang harus mereka siapkan untuk menyelesaikan krisis di negaranya masing-masing.

Perekonomian di AS telah memungkinkan orang-orang yang memiliki track record kurang baik meminjam uang di bank untuk membeli rumah sebagai investasi. Untuk menjamin kredit tersebut, diterbitkanlah surat sekuritisasi kredit dalam bentuk mortgage yang diperdagangkan di pasar utang AS. Begitu prospek rumah turun, harga mortgage hancur, dan banyak perusahaan investasi mengalami kebangkrutan. Sektor perumahan di Amerika telah mengutamakan pembeli dengan kemampuan yang rendah atau biasa di sebut subprime mortgage yang tida dapat dikendalikan dengan baik sehingga menimbulkan kredit macet. Debitur yang tidak memenuhi syarat (sub prime) didorong untuk mendapatkan mortgage.

Setiap orang memiliki rating tertentu untuk mendapat mortgage (rating harus mencapai skor 600) baru dapat dikategorikan layak menerima mortgage. Namun dengan adanya ketentuan yang baru, orang-orang dengan skor rating kurang dari 600 sudah dapat mengambil mortgage, akibatnya terjadi gagal bayar.

Akibat banyaknya rumah yang disita, harganya turun drastis. Di mana kreditur yang menerima anggunan rumah tersebut telah menjaminkannya ke kreditur lain, begitu juga seterusnya. Akibatnya seperti kartu domino, roboh satu roboh semuanya, nilai kerugian akibat turunnya harga properti ini memberi dampak kepada perekonomian AS mencapai 5 trilyun dollar (diolah dari berbagai sumber).

Krisis pasar finansial yang melanda perekonomian Amerika Serikat pada periode 2007-2008 memiliki pola yang sama dengan krisis finansial yang menimpa perekonomian di kawasan Asia pada 1997-19987. Di Amerika serikat, krisis disebabkan perilaku utang pada instrumen surat utang (mortgage), hal yang sama terhadap krisis yang terjadi di Asia, hanya saja krisis di Asia lebih dimotori oleh perilaku utang perusahaan swasta.

Dalam kasus krisis ekonomi di kawasan Asia, khususnya Indonesia, perilaku utang swasta yang terlalu eksesif terhadap utang jangka pendek dan dalam mata uang asing. Utang jangka pendek menimbulkan masalah, karena utang tersebut digunakan untuk investasi yang memberikan return dalam jangka panjang. Sehingga ada kesenjangan yang terkait dengan jangka waktu pengembalian utang (maturity mismatch). Sedangkan penggunaan utang dalam mata uang asing telah menimbulkan masalah kurs atau nilai tukar, mengingat pinjaman tersebut digunakan dalam investasi di dalam negeri, maka penghasilan dari investasi tersebut dalam mata uang lokal. Akibatnya ketika harus mengembalikan utang dalam mata uang asing terjadi masalah ketidakcocokan (currency mismatch). Kedua hal tersebut mengakibatkan perusahaan-perusahaan mengalami gagal bayar (default). Karena sektor korporasi tidak bisa mengembalikan utang, maka kredit macet pada bank-bank lokal meningkat. Hal ini menyebabkan perbankan mengalami kolaps. Pada akhirnya ada beberapa bank yang harus ditutup, dan menyebabkan perekonomian mengalami masalah serius.

Bank syariah sebagai bank yang dididirikan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan yang sesuai syariah Islam, memiliki kesamaan dengan bank konvensional pada umumnya dalam proses menyalurkan pembiayaan. Dengan demikian tingkat risiko yang dihadapi oleh bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan hampir sebanding dengan yang dihadapi oleh bank konvensional.

Kejadian-kejadian krisis ekonomi yang dipicu dari aktifitas penyaluran kredit dari bank konvensional sebagaimana yang terjadi di AS dan kawasan Asia di atas, sangat mungkin terjadi pada bank syariah. Namun demikian, pada bank syariah efek kerusakannya kepada perekonomian secara keseluruhan dapat diminimalisir, karena karakteristik bank syariah yang melarang transaksi ribawi dan kegiatan spekulatif dalam operasionalnya. Dengan karakteristik tersebut, diharapkan pengembangan perbankan syariah dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional di masa mendatang.

Sesuai pembahasan di atas, risiko yang dihadapi oleh bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan hampir sebanding dengan risiko yang dihadapi oleh bank konvensional dalam menyalurkan kredit. Salah satu kondisi yang membuktikan hal tersebut adalah perkembangan tingkat pembiayaan bermasalah yang terjadi di bank syariah dan bank konvensional sejak tahun 2007. Sebelum tahun 2007 perkembangan bank syariah masih belum agresif, diantaranya dari segi penambahan jumlah outlet. Sedangkan setelah tahun 2007, bank syariah tumbuh pesat mengimbangi perkembangan bank konvensional.

Dari tahun 2007–2016 menurut Bank Indonesia pergerakan tingkat pembiayaan bermasalah antara bank konvensional dan bank syariah. Keduanya memiliki tingkat pergerakan yang hampir sama, sehingga persentase tingkat pembiayaan bermasalah yang dihadapi juga hampir sama. Bahkan menurut catatan Bank Indonesia, tingkat pembiayaan bermasalah di bank syariah sejak tahun 2007 – 2016 di atas bank konvensional. Salah satu penyebabnya adalah karena tingkat penyaluran untuk pembiayaan (FDR) di bank syariah jauh lebih besar dari pada tingkat penyaluran kredit (LDR) di bank konvensional. LDR di bank konvensional rata-rata 60% sedangkan di bank syariah rata-rata di atas 80%, sehingga cukup bisa dipahami apabila tingkat NPF di bank syariah juga lebih besar.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, pengelolaan pembiayaan di bank syariah harus dilakukan dengan tepat agar NPF dapat diminimalisir.

Dengan pengelolaan NPF yang baik diharapkan bank syariah dapat dijaga kesehatannya, sehingga perekonomian negara dapat berputar dengan aman dan mampu meminimalisir peluang-peluang terjadinya krisis seperti yang terjadi di AS dan kawasan Asia dahulu.

Pembiayaan bermasalah yang belum dapat dikendalikan terjadi pada Bank Muamalat untuk posisi akhir Desember 2016, bank ini memiliki tingkat pembiayaan bermasalah yang lebih tinggi dari rata-rata industri perbankan syariah di Indonesia.

Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat diketahui bahwa tingkat NPF Bank Muamalat di akhir tahun 2016 adalah 7,11% lebih tinggi daripada tingkat NPF rata-rata industri perbankan syariah sebesar 3,03%. Dapat disimpulkan bahwa Bank Muamalat belum dapat mengendalikan tingkat pembiayaan bermasalah sesuai rata-rata industri perbankan syariah di Indonesia.

Dapat diinformasikan bahwa Bank Muamalat merupakan salah satu bank syariah terbesar dan pertama di Indonesia. Bank ini telah memiliki jaringan yang luas mencakup seluruh Kota/ Kabupaten di Indonesia. Produk yang dipasarkan cukup lengkap dan mampu memenuhi kebutuhan dunia usaha, bahkan mampu mengadaptasi penggunaan e-banking secara modern, seperti penggunaan pada internet dan mobile banking.

Bank Muamalat telah memiliki struktur Dewan Pengawas Syariah yang lengkap, berjumlah 3 (tiga) orang. Begitu juga dengan struktur organisasinya, dewan komisaris, direksi dan komite yang wajib dibentuk telah lengkap, yaitu komite audit, komite pemantau risiko, dan komite remunerasi dan nominasi.

Berdasarkan kondisi pembiayaan bermasalah di Bank Muamalat seperti disebutkan di atas, maka dalam buku ini ingin mengetahui lebih jauh kondisi pembiayaan bermasalah tersebut. Langkah awal dalam memperbaiki tingkat pembiayaan bermasalah dapat dilakukan dengan memetakan variabel-variabel yang mempengaruhi account nassabah pembiayaan bermasalah yang digolongkan dalam NPF. Dalam buku ini, difokuskan pembahasan pada 5 (lima) variabel yang mempengaruhi account nasabah pembiayaan bermasalah, diantaranya, Change in the business cycle, Fraud, Withdrawals, Poor management, dan Over trading. Pembiayaan bermasalah disebabkan oleh banyak variabel, di antaranya disebabkan oleh variabel Change in the business cycle, Fraud, Withdrawals, Poor management, dan Over trading.

Tingginya tingkat pembiayaan bermasalah merupakan permasalahan yang belum dapat dikendalikan oleh Bank Muamalat. Rasio NPF Bank Muamalat masih berada di atas rata-rata perbankan syariah.

Kemudian yang bisa dijadikan permasalahan disini adalah apakah variabel change in the business cycle, fraud, withdrawals, poor management dan over trading berpengaruh dengan variabel pembiayaan bermasalah. Pembahasannya permasalahan disini dibatasi oleh tiga hal.

Pertama, pengambilan sampel dilakukan pada debitur di Bank Muamalat Bengkulu. Kedua, penelitian ini dibatasi pada variable-variabel sebagai berikut Change in the business cycle, Fraud, Withdrawals, Poor management, dan Over trading. Variabel ini secara umum telah menjadi kerangka pemikiran, yang digunakan dunia perbankan untuk mengidentifikasi penyebab pembiayaan bermasalah. Kerangka pemikiran ini telah diimplementasikan perbankan konvensional untuk keperluan training pegawai dan kegiatan operasional lainnya. Ketiga, periode waktu yang diambil adalah posisi penggolongan NPF account nasabah pembiayaan bermasalah, pada Bank Muamalat Bengkulu per akhir Desember 2016.

Dalam penulisan buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak bank maupun pihak umum. Manfaatnya diantaranya adalah, pertama sebagai pembuktian teori bahwa Change in the business cycle, Fraud, Withdrawals, Poor management dan Over trading mempengaruhi pembiayaan bermasalah di Bank Muamalat Bengkulu. Kedua, sebagai masukan bagi pihak Bank Muamalat Bengkulu mengenai gambaran Change in the business cycle, Fraud, Withdrawals, Poor management, Over trading, dan pembiayaan bermasalah.

Judul : Statistik Pembiayaan Bermasalah pada Bank

Penulis : Andang Sunarto, dkk.

Penerbit : Samudra Biru, Cetakan I, November 2018

Dimensi : viii + 112 hlm. ; 14 x 20 cm.

Harga : Rp