Manifesto Gerakan Intelektual Profetik

Samudrabiru – Untuk memahami lebih jernih buku karya Muhammad Abdul Halim Sani berjudul Manifesto Gerakan Intelektual Profetis dengan latar belakang gerakan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) ini, kiranya perlu dikaji lebih dahulu dua hal atau dua permasalahan.

Pertama, persoalan yang berkaitan dengan pemaknaan kata dan istilah profetis yang seringkali dipandang seolah selalu identik dan paralel dengan kata dan istilah nabi atau kenabian. Kedua, persoalan pemaknaan gerakan Muhammadiyah yang lahir tahun 1912 dalam kandungan gagasan besar mujtahid Kiai Ahmad Dahlan. Ini penting agar selain memperoleh pijakan konsep-tual akademik, juga pijakan kultural dan historis, selain pijak-an teologis yang otentik. Apalagi judul bukunya mengguna-kan kata yang cukup gagah, yakni ”manifesto” yang saat mendengar saja banyak orang bisa jadi salah paham dengan maksudnya.

Kiai Dahlan lah yang mulai memobilisasi gerakan filantropi (kedermawanan melalui ”sekularisasi” praktik zakat, infak, sedekah (sodakoh), ibadah sosial seperti fitrah dan korban) secara terorganisasi yang peruntukannya bagi kepen-tingan sosial publik umat.[1] Gerakan guru keliling, kemudian lebih populer disebut tabligh dan berkembang menjadi peng-ajian di kampung-kampung hampir tiap jam sepanjang hari merupakan karya pembaruan sosial keagamaan lain dari Kiai Ahmad Dahlan.

Melalui program guru keliling itu tradisi belajar yang semula dengan pola murid mendatangi guru atau kiai menjadi guru atau kiai mendatangi murid di seluruh kawasan perkotaan dan atau pedesaan. Di kawasan-kawasan perkotaan atau pedesaan tersebut, beberapa umat dan masya-rakat kemudian membentuk kelompok-kelompok pengajian, diantaranya berkembang menjadi sekolah atau madrasah formal yang terlembaga secara moderen.

Prof. Dr. Kuntowijoyo menyatakan ”Tabligh yang se-karang tampak sebagai perbuatan yang biasa, pada waktu itu (tahun 1912-an/pen) adalah perbuatan luar biasa. Setidaknya tabligh mempunyai dua implikasi, yaitu perlawanan tak langsung terhadap idolatri (pemujaan tokoh) ulama dan per-lawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama (agama dibuat misterius). Seperti diketahui pada waktu itu keduduk-an ulama dalam masyarakat sangat tinggi.

Mereka adalah mediator antara manusia dengan Tuhan, elite agama dalam masyarakat, dan tuanku, guru, kiai, tuan guru (baca: guru) yang menyampaikan agama. Kalau kedudukan sebagai elite dan guru adalah konsekuensi sosial dari keulamaan mereka, maka kedudukan sebagai mediator itulah yang terancam oleh tabligh, menjadikan penyampai agama sebagai orang sehari-hari yang tidak keramat. Kegiatan menyiarkan agama telah dibuat kamanungsan, kekeramatan ulama badhar (batal) oleh tabligh. Monopoli ulama atas agama, yang dimungkinkan oleh budaya lisan, dihilangkan oleh tabligh.”[2]

Dalam kesempatan yang sama, Kuntowijoyo menyatakan: ”Selanjutnya tabligh juga merupakan perlawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama, yaitu pengaburan agama, agama dianggap misterius, tinggi, dan adiluhung yang hanya patut diajarkan oleh orang-orang terpilih (tuanku, guru, kiai, tuan guru). Dengan tabligh agama yang semula misterius menjadi agama yang sederhana, terbuka, dan accesible bagi setiap orang. Agama yang semula bersifat esoteris-mistis milik kaum virtuosi (spesialis) menjadi agama etis-rasional milik orang awam.”[3]

Gerakan keagamaan profetis dapat diartikan dalam dua makna. Makna pertama, ialah gerakan atau sikap kritis atas kecenderungan pelemahan pemihakan lembaga keagamaan pada kelas akar rumput atau kelompok yang menderita saat elite gerakan keagamaan mulai berkolaborasi dengan penguasa. Pengertian pertama ini muncul sebagai reaksi kecenderungan pemimpin agama di Eropa pada sekitar abad ke-19 yang lebih status-quo.[4]

Makna kedua, ialah basis kenabian bagi gerakan kemanusiaan sebagai wujud dari ajaran dan tradisi serta sunah nabi sebagai suara kenabian yang lebih otentik ketika memihak kaum dhuafa sebagai sebuah gerakan kemanusiaan (humanis). Faktanya acap kali gerakan keagama-an (Islam) di satu sisi lebih tertarik melakukan gerakan perlawan terhadap dominasi bangsa-bangsa maju tetapi di sisi lain melupakan nasib kaum tertindas.

Abdul Munir Mulkhan

Bincangan teori dan kata profetis barangkali lebih menarik dikaitkan dengan ide dan pemikiran Robert W. Firedrichs. Sosiolog ini mulai membedakan antara sosiologi ”profetis” dan sosiologi ”imam” (priestly), yang berbeda satu sama lain dalam sikap dan dukungan implisitnya terhadap status-quo. ”Model profetis mempunyai satu pendirian kritis terhadap status-quo; kelompok ini berpendapat bahwa peran-an sosiologi yang dapat diterima adalah mengidentifikasi kekurangan-kekurangan dan hal-hal yang tidak karuan dalam struktur sosial, dan memberikan suatu kecerahan yang mem-berikan peluang pada kemungkinan-kemungkinan yang lebih manusiawi.

Model imam cocok untuk kerangka struktur yang sudah mapan. Ahli sosilogi dalam kelompok imam ini tidak perlu sadar akan implikasi nilai dalam pekerjaan mereka. Tetapi kritikan-kritikan terhadap mereka, yang muncul dari ahli sosiologi ”baru” atau yang berhaluan radikal, akan mengemukakan bahwa karena para ahli sosiologi itu gagal memberikan kritik terhadap status-quo, maka mereka yang dari kelompok sosiologi imam atau yang sudah mantap ini memberikan dukungan diam-diam terhadap status-quo karena kelalaiannya.

Pengecam-pengecam dari kelompok profetis mengemukakan bahwa netralitas dan sikap tidak memihak (impartiality) benar-benar tidak mungkin dan bahkan seorang ahli sosiologi secara eksplisit tidak berjuang meningkatkan struktur sosial menjadi lebih manusiawi, pada dasarnya ia menerima legitimasi status-quo.”[5]

Satu hal yang mungkin sering dilupakan bagi mereka penganut ideologi jihad yang anti Eropa dan Amerika atau anti negara dan bangsa-bangsa Barat, bahwa apa pun ideologi yang dianut, praktik kehidupan seseorang, hubungan sosial orang yang bersangkutan dengan orang lain tergantung ada tidaknya empati kemanusiaan di dalam hati si penganut ideo-logi tersebut.

Keterpincutan dr. Soetomo ketika mengamati sepak-terjang Kiai Ahmad Dahlan justru lebih didasari oleh apa yang ia sebut sebagai Etika Welas Asih yang ia pahami dari aksi-aksi kemanusiaan Kiai Dahlan. Soetomo bahkan sampai pada kesimpulan bahwa Etika Welas Asih merupakan gagasan orisinal Kiai Ahmad Dahlan yang secara sengaja dikemas sebagai oposisi (perlawanan) ide Darwinian yang menguasai pikiran dunia Barat dan menjadi akar peradaban modern saat ini. Bukan yang kuat harus menang, tapi bagaimana yang lemah memperoleh ruang dan peluang mengembangkan diri. Itulah hakikat Etika Welas Asih Kiai Ahmad Dahlan.

Berdasar prinsip etis itulah mengapa Kiai Ahmad Dahlan dengan gampang dan begitu cair berdialog dengan peradaban Barat Nasrani-sekuler yang kapitalistik serta kolonial. Kiai ini tidak segan mengambil manfaat pengalaman orang-orang Eropa yang penjajah, kafir, dan kapitalis serta Nasrani.

Model komunikasi itu pula yang membuat Kiai Ahmad Dahlan tidak merasa terganggu memenuhi posisi sebagai pejabat Kerajaan Yogjakarta yang menjadi pusat orientasi kebudayaan Jawa yang kejawen tanpa kehilangan keluhuran kesalehan religius-nya. Hanya dalam periode pasca wafat Kiai, Muhammadiyah mulai anti tradisi Jawa dan Kejawen.[6]

Uraian di atas merupakan petunjuk tentang transformasi sosial ideologi profetik yang tampaknya lebih mementingkan segi atau empati kemanusiaan daripada legalitas ritual keagamaan. Dari sini pula pentingnya pendekatan kebudaya-an dalam merealisasi ideologi profetik atau pun ideologi jihad yang anti Barat.

Khusus bagi mahasiswa, perlu dipertimbang-kan untuk menyiapkan diri agar bisa mempelajari budaya, tradisi dan iptek di negara maju yang Barat itu tanpa biaya atau dengan biaya dari negara maju itu sendiri. Caranya ialah menguasai bahasa asing khususnya Inggris dengan nilai toefl 600, maka anda akan bebas memilih negara yang dituju dengan beasiswa sekitar 1500 dolar perbulan.

Di sisi lain bisa saja seseorang anti Barat yang sekuler, kafir atau dekaden, tapi bisa jadi orang tersebut lebih kafir, dekaden dan penindas sesamanya walaupun de jure beragama. Mari kita lihat praktik berpolitik dan berbangsa dan beragama di negeri seribu masjid ini. Tidak ada jaminan di negeri berpenduduk muslim dengan jamaah haji terbesar di dunia ini orang miskin hidup terjamin, dan para pemimpin memikirkan nasib rakyat dan umatnya. Kecenderungan demikian dengan gampang kita saksikan setiap hari di koran atau lapangan.

Di masa bencana gempa dahsyat melanda Yogyakarta tahun 2006 lalu, muncul pemandangan menarik. Korban gempa Jogja mulai kedinginan tidur di tenda yang mulai bocor di awal musim hujan. Warga Merapi mulai cemas oleh ancaman lahar dingin tumpahan material erupsi gunung itu sebelumnya. Banyak anak-anak gagal menatap masa depan tidak bisa sekolah akibat kemiskinan, banyak anak-anak menjadi pengamen jalanan akibat ditinggal orang-tua mereka. Di saat-saat seperti itu, ternyata anggota dewan Jogja begitu bersemangat menaikkan gaji menjadi 200%.

Di saat ribuan warga diberbagai kota digusur dan terusir dari tempat mencari nafkah oleh kebijakan politik dewan, alangkah bijak jika anggota dewan itu bercakap dengan rakyat yang memilihnya sebelum menyetujui APBN atau APBD. Pemerintah dan pejabat negara dengan tugas utama sebagai pelayan kehidupan warga, justru merasa benar menggusur atau membangun tanpa bertanya lebih dahulu kepada warga tentang apa yang mereka perlukan dan bagaimana pendapat warga itu.

Di negeri yang bertuhan ini, rakyat seolah tak perlu dihitung kecuali di masa pemilu, itupun sekedar melegitimasi apa kehendak sang penguasa dan wakil rakyat yang tak pernah mengerti kemauan rakyat.

Alangkah bijak jika separuh saja dari kenaikan gaji dewan itu dihibahkan kepada anak-anak jalanan, untuk SPP anak-anak miskin atau merekosntruksi rumah-rumah warga yang diwakilinya. Di saat ribuan atau jutaan orang menderita akibat luapan lumpur Lapindo, anggota dewan yang juga aktivis gerakan Islam dengan tertawa dan senyum penuh kemenangan merekam adegan mesum dengan wanita bukan istrinya. Apa yang tersisa di negeri ini untuk dapat dijadikan harapan bagi orang-orang tertindas, miskin dan terlantar?

Paradaban global dengan kacanggihan teknologi trans-portasi dan informasi telah membuka ruang rahasia kehidup-an privat manusia. Penganut agama yang paling saleh sangat terpukul oleh gaya hidup manusia global. Seolah syahwat menjadi ideologi baru yang mewarnai kehidupan politik, eko-nomi, bahkan juga praktik keagamaan ketika TV menjadikan simbol-simbol keagamaan sebagai komoditi yang ternyata ratingnya tinggi. Budaya artifisial (apus-apusan/Jw) seolah-olah enak dan bahagia menjadi lebih penting daripada memecahkan problem secara otentik.

KH Ahmad Dahlan

Dalam situasi demikian, manusia terperangkap pada budaya artifisial dan mimpi. Ironi dan celakanya budaya fatamorgana itu lebih mudah menarik minat dan partisipasi publik ketika dibungkus simbol religi dan surgawi. Fenomena ini juga melibatkan partai dan gerakan keagamaan, termasuk IMM dan partai-partai Islam. Pertanyaan yang lebih penting dijawab ialah adakah organisasi di mana kita aktif di dalamnya itu benar-benar mempunyai fungsi bagi kemanusiaan?

1. Gerakan Budaya yang Terlupakan[7]

Permasalahan utama yang dihadapi gerakan Muhammad-iyah dan gerakan Islam yang sudah mapan (seperti halnya IMM) ialah kegagalan membaca pesan sentral pendiri gerakan tersebut. Pada umumnya aktivis gerakan ini (Muhammadiyah dan IMM) lebih memahami gerakan tersebut sebagai gerakan pemberantasan TBC yang jauh dari minat membela kaum dhuafa hanya karena kecenderungan tradisi kehidupan kelas bawah itu diselimuti aura TBC.

Banyak orang kurang me-mahami dan bisa membedakan antara hasil (meninggalkan tradisi pemberoson) dengan bagaimana proses sosial-budaya yang mendorong tumbuhnya kesadaran rasional dan laku obyektif seseorang atau sekelompok orang (umat dan masyarakat).

Dalam hubungan itulah kiranya kritik Kuntowijoyo ter-hadap gerakan pembaruan Islam dan gerakan Islam pada umumnya patut dicerna. Kritik Kuntowijyo (Muslim Tanpa Masjid) bahwa Muhammadiyah adalah gerakan budaya tanpa kebudayaan, penting menjadi catatan abad keduanya. Ini terlihat ketika Muhammadiyah sekedar meniru Kiai Ahmad Dahlan tanpa memahami gagasan dan etos gerakannya.

Daya kreatif ijtihad (pembaharuan) bagi kemajuan dan kesejahtera-an umat membeku, terperangkap birokrasi organisasi, gurita pendidikan dan rumah sakit, sehingga terasing dari kehidupan rakyat. Hal serupa dihadapi bangsa ini ketika praktik pen-didikan nasional menjadi ritual dan kehilangan etos budaya kreatif.

Awalnya, gerakan ini sibuk memberdayakan fakir miskin melalui pendidikan, kesehatan, dan berbagai aksi sosial. Seperti tesis Max Weber tentang Etika Protestan dengan para-digma this worldly, aktivis gerakan ini memandang kesalehan surgawi bisa dicapai dengan memajukan dan menyejahterakan rakyat yang tertindas.

Tahun 1930-an lebih sebagai gerakan kelas menengah kota ketika purifikasi dipahami sebagai pembersihan Islam dari tradisi bermuatan virus TBC (tahyul, bid’ah, k(c)hurafat). Akibatnya, semakin kehilangan nuansa budaya dan terasing dari dinamika kehidupan mayoritas penduduk.

Citra anti tradisi yang secara keras memberantas TBC seperti Wahabi itu adalah episode generasi kedua sesudah Kiai Ahmad Dahlan wafat pada Februari 1923. Posisi Kiai sebagai abdi dalem kraton yang saat itu menjadi pusat tradisi dan ikon budaya rakyat tidak memungkinkannya melancarkan kritik dan memberantas tradisi secara terbuka.

Posisi Kiai tersebut lebih jelas dalam paparan GBPH Joyokusumo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Sidang Tanwir ’Aisyiyah 2002, tentang peran Hamengku Buwono VII dalam kelahiran Muhammadiyah. Rajalah yang memberangkatkan Kiai Ahmad Dahlan naik haji, mengganti nama Mohammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan, dan mendorong Kiai terlibat dalam Budi Utomo.

Problem yang dihadapi generasi pendiri bukanlah tradisi lokal, tetapi penolakan umat terhadap sistem pendidikan dan kesehatan moderen, penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu atau Jawa, pembagian zakat, fitrah, dan korban kepada fakir miskin.

Saat didirikan tujuan Muhammadiyah ialah: ”a. Memaju-kan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam, b. memajukan dan menggembirakan cara kehidupan sepanjang kemauan agama Islam.” Kegiatannya meliputi: ”a. mendirikan dan memeliharakan atau membantu sekolah-sekolah yang diberi pengajaran agama Islam juga, lain dari ilmu-ilmu yang biasa diajarkan di sekolah; b. mengadakan perkumpulan sekutu-sekutunya dan orang-orang yang suka datang; dibicarakan perkara-perkara agama Islam; c. mendirikan dan memeliharakan atau membantu tempat sem-bahyang, yang dipakai melakukan agama buat orang banyak; dan d. menerbitkan serta membantu terbitnya kitab-kitab, sebaran khotbah, surat kabar yang muat perkara ilmu agama Islam, ilmu ketertiban cara Islam dan i’tikad cara Islam, tetapi sekali-kali tiada boleh menyalahi undang-undang tanah di sini dan tiada boleh melanggar keamanan umum atau ketertiban.”

Masa itu anggotanya terbagi menjadi; anggota biasa, kehormatan, dan donatur. Anggota biasa ialah semua orang Islam, kehormatan ialah orang yang berjasa besar pada Muhammadiyah, donatur ialah siapa saja tanpa memandang agama dan kebangsaan yang bersedia memberi bantuan.

Sasaran kegiatan Muhammadiyah masa generasi pendiri ialah mengubah cara pandang umat tentang kehidupan duniawi melalui pendidikan, dakwah, penerbitan, pendirian tempat ibadah, penerjemahan Alquran, penerbitan buku, pelatihan dan pendidikan guru desa dan guru keliling, santunan kesehatan dan ekonomi bagi fakir-miskin.

Zakat mal dan fitrah, korban dan infak dikelola secara moderen bagi peningkatan taraf hidup rakyat kebanyakan sehingga berkemajuan dan sejahtera. Selanjutnya dengan sendirinya umat akan menanggalkan tradisi TBC diganti ilmu dan teknologi.

Pengelolaan rumah sakit melibatkan dokter-dokter Nasrani Belanda yang bekerja sukarela, sekolah dikelola secara moderen guna meningkatkan taraf hidup dan berperan dalam dunia moderen. Umat mulai menyadari manfaat bekerjasama dengan semua pihak tanpa melihat agama dan kebangsaannya, bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Citra gerakan berubah setelah Dahlan wafat ketika orientasi budaya digeser orientasi legal-formal. TBC diberantas secara keras dan terbuka bersamaan pembentukan lembaga tarjih tahun 1927.

Orientasi budaya bisa dibaca dari naskah ”Tali Pengikat Hidup Manusia”, Pidato Kiai Ahmad Dahlan dalam Kongres 1922 (Almanak Muhammadiyah 1923; lihat ”The Humanity of Human Life” dalam Charles Kurzman Modernist Islam: A Sourcebook).

Kiai Ahmad Dahlan menyatakan: “Kebanyakan pemimpin-pemimpin belum menuju kepada baik dan enaknya segala manusia, baru kaumnya (golongannya) sendiri. Marilah, lekas kita pemimpin-pemimpin berkumpul mem-bicarakan benar itu (hak) tak usah memilih-milih bangsa, Orang itu harus dan wajib mencari tambahnya pengetahuan, jangan sekali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apakah pula menolak pengetahuan orang lain.”

Bersediakah Muhammadiyah melakukan kritik budaya mengaktualkan kembali peran kreatif ijtihad membela dluafa? Saatnya menjawab “untuk siapa gerakan ini bekerja, untuk anggota atau bangsa dan kemanusiaan?” Dari sini Muham-madiyah bisa berperan bagi kemajuan bangsa dan pemelihara-an martabat kemanusiaan universal.

2. Nabinya Mustadl’afin[8]

Tuhan mengecam Nabi Muhammad Saw karena bermuka cemberut (menunjukkan rasa kurang suka) ketika datang kepadanya orang-orang yang buta, padahal mereka sedang berusaha membersihkan diri dan mencari pembelajaran dengan penuh ketundukan.

Hal yang sama terjadi saat Nabi tampak lebih berkenan menerima dan melayani orang-orang yang berkecukupan harta dan kekuasaan. Kritik keras Tuhan terhadap sikap Muhammad yang kurang berpihak pada kaum dhuafa dan lebih berpihak pada kelas lebih tinggi ini bisa dikaji dalam surat ‘Abasa ayat 1-11.

Dalam surat Kahfi ayat 28 Tuhan berfirman “sabarkanlah dirimu jika berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa berdoa pada Tuhan di waktu pagi atau sore semata mengharap keridhaan Tuhan, dan jangan memalingkan muka dari mereka hanya karena memandang kekayaan duniawi (karena miskin).

Tuhan berfirman dalam surat al Dluhaa ayat 9-10: Adapun terhadap anak yatim janganlah kaum paksakan dan kepada peminta-minta janganlah kau bentak. Dalam surat al Maa’un ayat 1-3 Allah berfirman: Tahukah engkau orang yang mendustakan hari pembalasan? Mereka itulah orang-orang yang menolak anak yatim dan tidak suka menganjurkan memberi makan pada orang msikin.

Sa’ad bin Abi Waqqash ra berkata, ketika kami berenam sedang duduk di sisi Nabi Saw, datanglah pemuka-pemuka kaum musyrikin dan berkata kepada nabi: “Usirlah orang-orang yang berada di sisimu agar mereka tidak berlaku kurang ajar kepada kami.” Keenam orang itu ialah saya sendiri, Abdullah bin Mas’ud, seorang suku Hudzail, Bilal, dan dua orang yang sengaja tidak saya sebutkan namanya.

Nabi tampak tergerak untuk memenuhi tuntutan pemuka kaum musyrikin tersebut. Tiba-tiba turunlah ayat wa laa tathrudi alladziina yad’uuna rabbahum bi alghadaati wa al’asyiyyi yuriiduuna wajhahu (dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang selalu berdoa kepada Tuhan di waktu pagi dan sore karena hanya mengharap keridhaan Allah (riwayat Muslim, Riadhus Shalihin, I, hlm 264).

‘An Haaritsata ibni Wahab r.a qaala: sami’tu rasulullaah Saw yaquulu: alaa uhbirukum bi ahli al jannati? Kullu dha’iifin mutadla’afin lau aqsama ‘alaa al llaahi laabarrahu, alaa uhbirukum bi ahli al naari? Kullu ‘utullin jawwaadlin mustakbirin. (muttafaq alaihi) Artinya: Dari Harits bin Wahb r.a berkata, saya telah mendengar Rassulullah Saw bersabda: “Sukakah saya beritahukan kepadamu tentang ahli surga?

Mereka seluruhnya adalah orang-orang dhaif dan di-dhaif-kan, tapi jika mereka meminta sesuatu kepada Allah pasti permintaan mereka itu akan dipenuhi. Sukakah engkau saya beritahu siapa ahli neraka? Mereka adalah orang-orang yang keras hati, tabi’atnya kaku dan berlaku sombong” (riwayat Bukhari, Riadhus Shalihin, I, hlm 254-255).

Abul Abbas Sahl bin Sa’ad Asaa’idy ra berkata, ketika Rasul sedang duduk lewatlah seseorang (di depannya). Rasul lalu bertanya kepada orang yang duduk di sebelahnya: “bagaimana pendapatmu tentang orang itu?” jawab orang di sebelah Rasul: “itulah seorang bangsawan yang demi Allah pinangannya layak diterima dan jika meminta seseorang mengerjakan sesuatu pasti dipenuhi”.

Rasul diam mendengar jawaban itu. Tak berapa lama lewat lagi seseorang di depannya. Rasul bertanya lagi pada orang yang sama: “bagaimana pendapatmu tentang orang ini?” Teman duduk Rasul itu pun menjawab: “Ya Rasul itulah orang miskin yang pinangannya jika ia meminang patut ditolak dan jika meminta melakukan sesuatu tidak akan dipenuhi”. Rasul lalu bersabda: “orang inilah yang lebih baik dari sepenuh bumi orang-orang bangsawan” (riwayat Bukhari, Riadhus Shalihin, I, hlm 255-256).

Abu Said Al Khudry ra berkata, bersabda Nabi Saw: “suatu ketika terjadi perdebatan antara surga dan neraka. Neraka berkata bahwa dirinya akan dipenuhi oleh orang-orang besar yang berkuasa dan sombong. Sementara surga tak kalah berkata bahwa dirinya akan dipenuhi kaum dlu’afaa dan miskin. Allah lalu memutuskan perdebatan neraka dan surga itu dengan menyatakan bahwa “Kau surga! Kau adalah tempat rakhmat-Ku. Aku merakhmati dengan surga kepada siapa yang Kukehendaki. Kau neraka! Kau adalah tempat siksa-Ku, Aku menyiksa dengan siapa yang Kukehendaki dan bagi kaum neraka dan surga pasti akan Aku penuhkan isimu” (riwayat Muslim, Riadhus Shalihin, I, hlm 256).

Abu Hurairah ra berkata, ada seorang tukang sapu Masjid yang selama beberapa hari belakangan tidak dilihat Rasulullah. Rasul lalu bertanya tentang si tukang sapu Masjid tersebut. Ketika Rasul mendapat jawaban bahwa si tukang sapu telah mati, Nabi bersabda: “mengapa engaku tidak mem-beritahukan kematiannya kepadaku? Tunjukanlah kepadaku di mana tempat kuburnya!”

Orang-orang pun segera menun-jukkan kepada Nabi Saw di mana kuburan si tukang sapu tersebut. Nabi  segera pergi ke kuburan si tukang sapu itu lalu melakukan shalat jenazah. Nabi pun bersabda: “sesungguhnya kuburan ini penuh kegelapan dan Allah telah menerangi dengan salatku pada mereka” (riwayat Bukhari-Muslim, Riadhus Shalihin, I, hlm 257).

Abu Hurairah ra berkata bersabda Rasulullah Saw: “kadangkala seseorang yang rambutnya kusam dan terurai, betolak dari satu pintu ke pintu rumah (meminta-minta) dan dipandang rendah oleh manusia, tapi jika ia meminta kepada Allah dengan penuh kesungguhan, pasti Allah akan meme-nuhinya” (riwayat Muslim, Riadhus Shalihin, I, hlm 257-258).

Usamah bin Zaid ra berkata, bersabda Rasulullah Saw: “saya berdiri di depan pintu surga, tiba-tiba masuklah ke dalamnya orang-orang yang pada umumnya miskin, ketika orang-orang yang kaya masih tertahan oleh perhitungan kekayannya. Dan, ketika saya berdiri di dekat pintu neraka yang telah dibuka, tiba-tiba kebanyakan orang yang masuk ke dalamnya kaum perempuan” (riwayat Bukhari-Muslim, Riadhus Shalihin, I, hlm 258).

Sayangnya dalam ajaran Islam formal, Tuhan tak mudah didekati bagaikan subyek pelaku yang tak dapat disentuh oleh makhluknya sendiri; manusia, yang diciptakan penuh kesem-purnaan. Wajah tuhan tercitrakan sebagai wajah penindas yang kejam tanpa welas asih yang hanya bisa dibujuk dengan ritus-ritus pengorbanan. Politik keagamaan dan negara-negara bangsa merupakan sebuah sistem pelestari wajah buruk Tuhan di abad peradaban moderen.

Ada semacam ghirah dan semangat pemihakan kemanusiaan dari buku Muhammad Abdul Halim Sani dalam uraian sepanjang bukunya ini. Demikian pula gagasan tentang kader IMM, juga kader gerakan Muhammadiyah yang ia beri simbol profetis atau juga kenabian. Persoalannya, seberapa pembaca dan penulis buku ini sendiri bisa menangkap pesan kenabian dalam bingkai gerakan profetis tersebut secara otentik? Tentu semuanya terpulang pada para pembaca, selain kritik kenabian kepada penulis buku ini. Selamat membaca. (Dikutip dalam kata pengantar bukunya)

Kotagede,  awal tahun 2011

[1].    Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, Buku Kompas, Jakarta, 2010.

[2].    Kuntowijoyo, “Menghias Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, Marhaenis Muhammadiyah, GalangPress, Yogjakarta, 2010, hlm 19.

[3].    Kuntowijoyo, “Menghias Islam” dalam Abdul Munir Mulkhan, Marhaenis Muhammadiyah, GalangPress, Yogjakarta, 2010, hlm 19-20.

[4].    Robert A. (W) Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology terbitan Free Press, New York, 1970 membedakan Sosiologi Imam (priestly) dengan Sosiologi Profetis. “Model profetis mempunyai satu pendirian kritis terhadap status-quo; kelompok ini berpendapat bahwa peranan sosiologi yang dapat diterima adalah mengidentifikasi kekurangan-kekuarangan dan hal-hal yang tidak karuan dalam struktur sosial, dan memberikan suatu kecerahan yang memberikan peluang pada kemungkinan-kemungkinan yang lebih menusiawi. Model imam cocok untuk kerangka struktur yang sudah mantap.” (Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jld I, 1988, Gramedia, Jakarta, hlm 51).

[5].    Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm 51-52. lihat juga Robert W. Fiedrichs, A Sociology of Sociology, The Free Press, New York, 1970, p. 67, 70, 72-73, 107-108, 111, 124, 127, 133, 136, 292-293, 310, 328.

[6].    Lihat laporan penelitian Tesis Ahmad Najib Burhani yang terbit dengan judul Muhammadiyah Jawa, Al-Wasat, Jakarta, 2010.

[7].    Abdul Munir Mulkhan, Gerakan Budaya yang Terlupakan, Harian Kompas, 4 Desember 2009, hlm 7

[8].    Lihat Abdul Munir Mulkhan, “Teologi Kiri dalam Kebertuhanan Siti Jenar” dalam Makrifat Siti Jenar; Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2004, hlm 279-290. Lihat juga Teologi Kiri; Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002.

Judul : Manifesto Gerakan Intelektual Profetik
Penulis: Abdul Halim Sani
Editor : Kasyadi
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : I, Maret 2011
Dimensi : 14 x 20 cm, xxx + 235 hlm
Harga: Rp