Bulan Sabit di Kota Ventiane: Catatan Persinggahan di Negeri Orang

Samudrabiru – ANDA mungkin pernah mendengar pepatah bahasa Jawa: urip mung mampir ngombe (mohon maaf, saya menggunakan bahasa Jawa bukan bermaksud primordial, tetapi karena saya merasa istilah itu paling pas untuk menggambarkan isi buku ini).

Jika diartikan begitu saja, pepatah itu berarti kurang lebih: “hidup ini hanya singgah untuk minum.” Toh, boleh juga kita maknai pepatah itu dengan arti kiasan atau majazi. Jika itu yang kita pilih, maka ia kurang lebih membawa arti: a) hidup ini singkat; b) hidup ini dinamis; dan c) hidup ini adalah rentetan persinggahan satu ke persinggahan lainnya. Dalam arti ketiga inilah, buku ini bertutur.

Dalam kurun waktu kurang lebih satu dasawarsa ini, saya telah diberi kenikmatan oleh Allah menikmati rentetan beberapa persinggahan di negara orang. Antara tahun 2005-2014, saya telah mengunjungi tujuh negara dengan kepentingan yang berbeda-beda. Saya sadar betul, ini bukan apa-apa.

Karena ada sebagian besar orang yang lain, yang jangankan dalam kurun waktu satu dasawarsa, dalam masa dua belas bulan saja, kadang sudah melintasi belasan negara. Maka pengalaman persinggahan saya ini tentu bukan hal unik, mengingat banyak orang lain yang juga mengalami persinggahan itu. Lebih kerap, bahkan. Pun ini bukan hal istimewa, karena ada lebih banyak pengalaman persinggahan yang lebih istimewa, yang dialami oleh orang lain, tentu saja.

Lalu, bisa saja Anda bertanya: Jika saya meyakini hal yang demikian, lantas buat apa menuliskan buku yang berisikan catatan persinggahan ini? Saya akan menjawab dengan beberapa alasan.

Pertama, meskipun pengalaman persinggahan di negara orang adalah hal biasa dan tidak unik; saya yakin pengalaman yang saya miliki bersifat unik. Karena tidak semua orang yang menunjungi tempat yang sama akan memiliki kesan yang sama pula.

Sebut saja sebuah contoh. Sama-sama berkunjung ke Australia, misalnya, dua orang yang datang bersama-sama, pulang bersama-sama, menginap di hotel yang sama, dan bahkan makan makanan yang sama; begitu sampai kembali ke rumah, belum tentu (atau bahkan pasti) pengalaman yang mereka ceritakan juga sama. Lantaran hal seperti inilah, saya berani mengatakan beberapa pengalaman saya selama singgah di luar negeri itu unik. Meskipun, sekali lagi, mengalami persinggahan di negeri orang sama sekali bukan hal yang unik.

Lalu apa yang menyebabkan perbedaan itu? Tak sulit menjawabnya. Bisa saja perbedaan itu sebagai cermin dari perbedaan latar belakang seseorang. Entah itu latar belakang ilmu, wawasan dan pengetahuan; latar belakang profesi dan pekerjaan; latar belakang ekonomi dan status sosial; atau bisa juga latar belakang atau tujuan persinggahannya di sebuah negeri.

Hal lain yang tak juga kalah penting adalah menyangkut faktor lama tinggal di negara tertentu. Itu pula yang saya alami. Dari ketujuh negara yang saya singgahi, durasinya bermacam-macam. Dari yang hanya dua hari hingga yang empat tahun. Maka saya bukan pengecualian dalam hal ini, bahwa catatan-catatan saya ini akan memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan catatan-catatan penulis lain; oleh sebab faktor-faktor di atas.

Kedua, telah sangat lama saya memiliki hobi menulis. Karena dorongan hobi itu, sampai kini saya telah memiliki beberapa karya tulis dalam berbagai bentuk: dari buku, tulisan pendek di koran dan majalah, artikel-artikel serius di jurnal, buku refleksi hingga novel.

Namun demikian, kesan dari beberapa kawan tentang tulisan saya adalah bahwa nada akademiknya sangat kental. Kemudian ada yang menyarankan supaya saya menulis sesuatu yang ringan dan menghibur agar bisa menjangkau pembaca lebih luas.

Meski sempat berfikir lama tentang apakah hal-hal ringan itu, akhirnya keputusan saya jatuh pada pilihan menuliskan pengalaman persinggahan tadi. Karena hobi menulis ini pulalah, maka setiap kali menyinggahi negara asing, saya selalu menyempatkan menuliskan goresan pena.

Ketiga, saya adalah peminat sejarah. Meskipun secara akademis terdidik di bidang studi Islam, saya banyak membaca buku-buku sejarah. Dari bacaan-bacaan itu, lalu saya bisa mengenal nama-nama seperti Ibnu Battutah, Marco Polo, atau Ma Huan. Tiga orang ini adalah pelancong yang telah menghiasi sejarah dunia.

Ibnu Battutah adalah seorang pengelana berkebangsaan Maroko. Lahir di Tangier pada tahun 1304. Ia ternama sebagai penjelajah banyak negeri. Tak hanya negara-negara yang berdekatan dengan Maghrib, seperti negara-negara di kawasan Barat Tengah, tetapi bahkan hingga sejauh Asia Tenggara. Sebuah versi populer menyebut bahwa penulis buku Rihlah Ibn Battutah ini pernah singgah di Sumatera dan Melaka, yang saat itu dikuasai oleh para penguasa Muslim.

Tak kalah terkenal dari Ibn Battutah adalah Marco Polo. Petualang kelahiran Venice, Italia pada tahun 1254. Kurang lebih sama dengan Battutah, Marco Polo juga menjelajah banyak negeri di berbagai belahan dunia. Sebuah laporan menyebut, ia pernah mengunjungi Sumatera bagian Utara pada tahun 1291.

Selain Ibnu Battutah dan Marco Polo, dari belahan Timur, sejarah juga memperkenalkan kita kepada Ma Huan, seorang asisten pelayaran dan penerjemah Laksamana Cheng Ho atau Zheng He, seorang laksamana Cina Muslim yang turut memainkan peran dalam Islamisasi Nusantara. Ma Huan mendampingi tiga dari tujuh perjalanan Cheng Ho ke Nusantara dan menjadi penerjemahnya.

Catatan Perjalanan
Apa yang menyamakan ketiga petualangan berbeda bangsa ini adalah bahwa mereka menuliskan apa yang mereka saksikan dalam setiap persinggahan mereka, sehingga memberi manfaat bagi generasi sesudah mereka. Dalam sejarah Nusantara misalnya, catatan-catatan mereka ternyata sangat penting untuk mengidentifikasi tempat-tempat tertentu, atau lebih mendasar lagi perkembangan peradaban manusia pada masa dan situasi tertentu. 

Terus terang. Inilah yang menginspirasi saya menuliskan catatan-catatan persinggahan ini. Tentu, saya tak berpretensi menjadi seperti Ibnu Battutah, Marco Polo atau Ma Huan. Sama sekali bukan. Jauh dan terlalu jauh. Karena catatan ini hanya semata-mata goresan sejarah pribadi atas tempat-tempat yang pernah saya singgahi. 

Setidaknya saya punya catatan, bahwa saya seorang yang lahir di dusun terpencil di Lamongan, Jawa Timur, pernah menjejakkan kaki di Canberra, Australia atau sempat pula merasakan iklim hidup di Singapura. Sehingga ketika anak-anak saya kelak nanti dewasa, kemudian membaca catatan ini, mereka akan memperoleh inspirasi dari apa yang saya tulis ini. 

Pun buku ini tidak berpretensi menjadi petite histoire (sejarah kecil, sejarah tak resmi) seperti karya Rosihan Anwar. Bukan. Sama sekali bukan. Ini benar-benar sebuah catatan. Karena catatan, ya tidak lain, ia adalah catatan. Itu saja dan sesederhana itu.

Bagi sebagian orang yang telah sehari-hari bersama saya dalam berbagai aktivitas, catatan-catatan ini sama sekali tak istimewa. Lantaran inilah yang sering jadi bahan obrolan kami di sela-sela berbagai aktivitas. Maka saya perlu menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang sering mau atau terpaksa mau mendengar kisah-kisah yang kemudian tertulis di sini. 

Kolega-kolega saya di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan khususnya di Fakultas Agama Islam (FAI), Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF). Kepada Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P. (rektor Universitas Muhammadiyah Malang), yang telah memberikan izin pada saya untuk sejenak meninggalkan kewajiban di UMM, sehingga saya bisa singgah dan belajar di negeri orang.

Juga teman-teman di Center for Religious and Social Studies (RëSIST) Malang (Adam Muhammad, Akbar Saja, Denny Mizhar, Fiqih Tri Hidayatullah, Ichal Sulthon, Miftahus Sururi, Subhan Setowara). 

Kawan-kawan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) di Jakarta, Yogyakarta, Malang, Surabaya dan Gresik; Pemuda Muhammadiyah Kota Batu, Pemuda Muhammadiyah Kota Malang, Pemuda Muhamma-diyah Kabupaten Malang, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Malang, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Batu, Padepokan Baitul Hikmah Malang (Ali Muthohirin, Fauzan Syamil, Hilmy Arif, Jumhur), Mas Fahrur Rozi di Panti Asuhan Ulil Abshar, Mas Andik Roni di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Dau dan terminal-terminal intelektual lain di Malang yang tak bisa saya sebut satu per satu. Terima kasih telah menjadi kawan berbincang yang produktif. 

Kepada Muh. Kholid AS pemimpin redaksi Majalah Matan PWM Jawa Timur, saya ucapkan terima kasih, karena telah memuat sebagian catatan ini dalam majalah yang ia pimpin. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Mas Miftachul Huda dan Maryono Ahmad dari Penerbit Samudra Biru, Yogyakarta, yang telah mau bersusah-susah meramu penerbitan catatan-catatan ini.
Akhirnya, saya persembahkan catatan-catatan ini kepada orang-orang yang telah mewarnai kehidupan pribadi saya selama ini. 

Kepada kedua orangtuaku (Ali Fauzi dan Muli’at), kedua mertua M. Thohir Taqrib dan Ummu Syaroh. Juga kepada isteriku, Lailatul Fithriyah Azzakiyah dan ketiga “mata hati” Veeramiladya Bintan Failasufa (Bintan), Rahbar Zaravet Kavihilghafoor (Kavih) dan Izdad Efcharista Kautsar Omniyya (Izka). Kepada para pembaca saya persembahkan catatan ini. Selamat berkelana. (Singapura-Malang, Oktober 2013-September 2014, Pradana Boy ZTF)

Judul Buku : Bulan Sabit di Kota Ventiane: Catatan Persinggahan di Negeri Orang
Penulis : Pradana Boy ZTF
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : I November 2014
Dimensi : x + 194 hlm, 14 x 21 cm
Harga : Rp