Samudrabiru –Istilah penilaian sampai saat ini masih banyak yang menganggap bersifat ambigu dan bergantung kepada orang atau lembaga yang mendefinisikan. Banyak pihak yang sampai saat ini mengartikan penilaian sebagai evaluasi, tetapi juga banyak pihak yang memaknai penilaian sebagai assessment, sedangkan evaluasi diberi makna tersendiri.
Penilaian adalah fitrah manusia yang dibekali oleh Tuhan dengan akal budi dan pikiran. Penilaian biasanya selalu terkait dengan pertimbangan bagi pengambilan keputusan (judgment for decision making) sebelum manusia melaksanakan sesuatu kegiatan yang direncanakannya. Hal ini akan muncul dan berproses begitu saja dalam benak manusia. Sejarah telah membuktikan bahwa melalui proses penilaianlah manusia satu-satunya makhluk lemah di bumi ini yang tidak dibekali oleh naluri dan alat untuk mempertahankan diri dapat terus hidup dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Akal sebagai kendali berpikir akan menilai apakah sesuatu keadaan itu aman, sebaliknya juga menilai apakah sesuatu keadaan itu berbahaya, dan sebagainya.
Penilaian juga memandu manusia dalam berkomunikasi antar-manusia. Apakah seseorang itu bermaksud baik atau bemaksud jahat, apakah seseorang itu dapat dipercaya atau tidak, dan lain-lain. Melalui penilaian baik dan buruk, etika dan keadaban diembangkan, melalui penilaian indah dan jelek, estetika berkembang, melalui pemikiran dan penilaian yang mendalam tentang segala sesuatu termasuk siapa diri manusia, apakah hakikatnya alam ini, filsafat ditumbuhkan. Ajaran agama tumbuh dari penilaian tentang baik dan buruk, tentang benar atau salah, tentang pantas atau tidak pantas, baik dalam hubungan antar manusia dengan Tuhan maupun dalam hubungan antar manusia.
Pendeknya melalui penilaianlah peradaban manusia dibangun, kearifan lokal manusia muncul, budaya manusia dibangun dan berkembang. Mari kita ambil sebagai contoh kearifan lokal yang dikembangkan oleh masyarakat Simeulue yang berdasarkan penilaian terhadap gejala alam yang pernah muncul. Masyarakat Simeulue hanya sedikit yang menjadi korban tsunami ketika pada tahun 2004 lalu terjadi gempa dan tsunami di Aceh. Berkat pemahaman yang berawal dari penilaian tentang smong (tsunami) yang kemudian dijadikan semacam pitutur (nasihat) kepada generasi berikutnya, mereka paham jika terjadi gempa dan permukaan laut mendadak menjadi surut, harus cepat-cepat lari ke arah bukit atau tempat yang lebih tinggi karena sebentar lagi tsunami berupa gelombang laut yang tinggi bergulung-gulung akan menyapu daratan.
Penilaian dalam konteks di atas tidaklah bersifat formal dan lebih dekat dengan istilah evaluasi. Penilaian yang bersifat formal muncul tatkala persekolahan timbul dalam peradaban dunia, dimulai pada zaman Sumeria di wilayah Mesopotamia (wilayah Irak sekarang) sekitar 3000-2000 SM. Waktu itu sistem persekolahan amat bias gender, hanya anak laki-lakilah yang boleh bersekolah. Mereka pergi ke sekolah Kuil (temple school) dan diberi pengajaran oleh para guru mereka. Di sekolah kuil semacam itu, di samping sudah ada kepala sekolah , juga ada para pemantau dan pengawas sekolah. Para siswa belajar di atas sabak (clay tablet) dengan menggunakan huruf cuneiform, huruf berbentuk baji. Bentuk tablet inilah yang sebenarnya mengilhami computer tablet saat ini.
Pada masa Sumeria, di sekolah-sekolah ada perpus-takaan yang mengumpulkan dan memajang koleksi dari tablet lempung (cay tablet) yang bertuliskan berbagai macam bidang ilmu. Saat itu matematika dan ilmu perbintangan telah berkembang di Sumaria. Topik inilah yang memenuhi tulisan-tulisan dalam clay tablet. Dalam hubungan ini, para siswa belajar pada tablet lempung di sisi sebela kanan. Mereka mencontoh tulisan gurunya yang telah ditulis di sisi sebelah kiri. Walaupun tinggal mencontoh, bagi para siswa hal semacam itu bukan main sulitnya. Jika mampu mencontoh tulisan gurunya dengan baik, akan menjadi semacam kebanggaan tersendiri.
Mungkin sebagian pembaca masih ingat tatkala di sekolah Rakyat (SR) dahulu (sekarang SD) saat kelas 1 dan 2 SR membawa sabak, dibuat dari semacam batu tipis berwarna hitam yang kemudian ditulisi dengan grip, semacam alat tulis dari karbon yang keras dan mampu menggores sabak. Untuk menghapus tulisan di atasnya tinggal memakai lap yang basah. Setelah kering, sabak bisa ditulisi lagi. Jika para siswa mengerjakan sesuatu tugas di sekolah, sabak-sabak yang sudah ada tulisan hasil kerja siswa dikumpulkan dan dinilai oleh guru, di beri angka nilai, kemudian langsung dikembalikan kepada para siswa pada hari itu juga. Kemudian para siswa pulang. Jika angkanya baik, dipamerkan kepada orang tua di rumah. Namun jika angka hasil penilaian guru jelek, di hapus terlebih dahulu baru pulang. Nah, penilaian semacam ini lebih dekat dengan istilah assessment.
Dalam khazanah penilaian, ada istilah pengukuran (measurument), taksiran (assessment), pengujian (testing), dan evaluasi (evaluation). Kita akan membahasnya satu demi satu. Perbincangan satu tarikan napas. Artinya keduanya saling berkaitan. Sementara itu, istilah pengukuran dan evaluasi memiliki wacana tersendiri.
Istilah pengukuran terkait dengan ilmu Psikometri. Lahoylahoy (2012) mendefinisikan pengukuran sebagai suatu proses untuk membuat kuantifikasi prestasi individu, kepribadiannya, sikapnya, kebiasaannya, dan kecakapannya.
Buku daras ini merupakan pengejawantahan dari kumpulan-kumpulan artikel dan buku-buku yang sesuai dengan tema sehingga menghasilkan sebuah buku yang bisa kita baca bersamasama, buku ini sebagai bahan untuk melakukan penilaian kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Dalam buku ini pula kita bisa melakukan berbagai cara untuk mengukur serta mengatur penilaian pada peserta didik dengan pendekatan kognitif dan pendekatan kontekstual. Pola perubahan cara berpikir sudah sangat gambling dijelaskan dalam buku ini bagaimana cara menilainya.
Judul : Assessment Higher Order Thinking Skill
Penulis : Ahmad Walid
Penerbit : Samudra Biru,Cetakan I, Oktober 2018
Dimensi : viii + 257 hlm. ; 14 x 20 cm.
Harga : Rp