Samudrabiru – Meunasah di Aceh merupakan lembaga sosial yang memiliki fungsi strategis bagi masyarakatnya. Arti strategis itu terletak pada pemaknaan bahwa meunasah tidak hanya sebatas sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai media pemberdayaan bagi masyarakat gampong atau desa dalam kehidupan masayarakat Aceh.
Meunasah sebagai asset budaya bangsa Indonesia sangat berperan dalam membangun sebuah peradaban yang cukup megah, yang mampu mengantarkan Aceh mendapat predikat lima besar kerajaan Islam di dunia mewakili Asia Tenggara dengan kerajaan Islam Aceh Darussalam-nya.
Pada masa kesultanan Aceh, meunasah memiliki tempat yang strategis dalam mengawali sejarah kegemilangan Aceh dengan basic/dasar pendidikan yang dimulai dari tingkat meunasah untuk mengantarkan anak didik hingga mencapai pendidikan di tingkat yang lebih tinggi sampai ke perguruan tinggi/university.
Tentang bagaimana memahami meunasah secara lebih jauh lagi, alangkah baiknya untuk mengenali juga tentang Aceh dan lika-liku perjalanan sejarahnya. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang kemudian disingkat dengan NAD, telah dilanda konflik berkepanjangan semenjak tahun 1973 dan berakhir pada tahun 2005 yang ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman Memorandum of Understanding (MoU) di Kota Helsinki, Finlandia.
Selama konflik berlangsung di Aceh, banyak sendi kehidupan telah berubah, keamanan menjadi sangat mahal harganya, kemiskinan semakin merajalela, sehingga untuk memperoleh kehidupan yang aman, damai, tentram dan sejahtera, terasa tidak mungkin untuk diraih.
Gampong Rima Keneurum sebagai salah satu daerah yang mengalami kerusakan cukup parah akibat gempa yang disusul gelombang tsunami, telah menarik simpati banyak lembaga untuk terlibat dalam melaksanakan programnya di sana, terutama kaitannya dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami.
Mereka (Lembaga) telah berupaya untuk melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat dengan berbagai model dan fasilitas yang mereka tawarkan. Dengan usaha tersebut, idealnya masyarakat sudah sejahtera/berdaya.
Ternyata dalam waktu 4 tahun (2005-2009) sudah berlalu proses pemberdayaan, namun dalam kenyataannya tidak semua berjalan dengan baik (sesuai dengan yang diharapkan), dan masyarakat ‘masih belum berdaya’.
Bukti kongkrit masyarakat belum terberdayakan dengan baik diantaranya adalah masih adanya ketergantungan kepada lembaga donor/pemberi bantuan, selain itu juga lemahnya pengawasan masyarakat terhadap pendidikan anak dan gagalnya beberapa program pemberdayaan yang dilakukan oleh beberapa lembaga donor dan pendamping seperti program cash assistance yang dilakukan oleh Care.
Meunasah yang berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat dan juga sebagai titik sentral perubahan dalam masyarakat, kini sudah mengalami pergeseran.
Bahkan keberadaan meunasah juga dipertanyakan peran dan fungsinya dalam pemberdayaan masyarakat pascatsunami, sehingga buku ini hadir untuk memberikan informasi yang objektif tentang meunasah sebagai local wisdom yang menjadi basis dalam pemberdayaan masyarakat di Aceh pascatsunami.
Secara sederhana terdapat dua hal yang menjadi tujuan dalam penulisan buku ini yaitu: pertama adalah untuk memberikan gambaran tentang pemberdayaan masyarakat yang terjadi di gampong Rima Keneurum, secara lebih khusus ingin menggambarkan bagaimana pemanfaatan meunasah sebagai bentuk kearifan lokal yang menjadi pusat kegiatan masyarakat dan basis pemberdayaan masyarakat gampong, terutama pascatsunami.
Berdasarkan data empiris yang berhasil penulis kumpulkan, proses pemberdayaan masyarakat di gampong Rima Keneurum dengan berbagai fasilitas yang ada, belum mampu membuat masyarakat menjadi berdaya.
Idealnya, pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga sebagaimana telah disebutkan di atas dapat membuat masyarakat menjadi lebih berkembang dan mandiri, walaupun masyarakat tidak lagi didampingi.
Sehingga disaat lembaga melakukan pengakhiran program (finishing) dan melakukan pelimpahan (handover) ke masyarakat, kegiatan mereka dapat tetap berjalan sebagaimana yang diharapkan (dapat sustainable). Tujuan yang kedua adalah untuk dapat mengetahui efektivitas pemberdayaan masyarakat gampong, pascatsunami.
Judul Buku : Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal
Penulis : Sabirin
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : Kedua (Edisi Revisi), April 2015 (Edisi pertama buku ini (2012) diterbitkan oleh Arraniry Press dan Lembaga Naskah Aceh (NASA))
Dimensi : viii + 112 hlm, 16 x 24 cm
Harga : Rp