Belajar dari Kasih Sayang Ibu

Samudrabiru – Penyerahan diri secara total kepada kehendak ilahi. Itulah syahadat.  Dalam bersyahadat kita boleh kehilangan harta, kita boleh kehilangan kedudukan. Untuk bersyahadat pun kita bisa kehilangan nama baik. kita bisa berada dalam posisi terhina.

Syahadat berasal dari kata bahasa Arab yaitu syahida, yang artinya ia telah menyaksikan. Siapa yang telah menyaksikan? manusia dengan keimanannyalah yang telah menyaksikan. Di dalam kesaksian itu manusia tidak sekadar berucap. Akan tetapi benar-benar menyaksikan. Dengan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan pula bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah adalah meyakini bahwasannya dari yang kita saksikan itu tidak ada satupun kekuasaan, kekayaan serta kekuatan di dunia ini yang dapat menandingi kekuasaan, kekayaan dan kekuatan Allah. Serta kita pula harus meyakini dan terus berijtihad untuk mengamalkan ajaran Nabi Muhammad yang merupakan seorang yang diutus Tuhan untuk membawa ilmuNya di muka bumi guna menyempurnakan akhlak manusia.

Tuhan bekerja dengan landasan sifat kasih dan sayang-Nya. Segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik dan buruk, kesedihan dan kegembiraan, kekayaan dan kemiskinan atau sehat dan sakit tujuannya hanya satu, Allah sedang menggiring kita pada suatu keadaan agar jiwa kita terus berevolusi mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Allah sangat paham dan tahu sekali sifat dan karakteristik jiwa setiap hamba-Nya.

Ketika kita berbicara hubungan yang di dasari keimanan spiritual berarti hubungan yang di lakukan semata-mata karena Allah. Menjaga persaudaraan karena Allah, bahkan setiap interaksi sosial kita pun karena Allah.

Ketika ‘silaturahmi” di lakukan semata-mata karena Allah, tentu maknanya akan berbeda dari apa yang selama ini kita sebut sebagai sikap “silaturahmi” yang padahal sesungguhnya bukan. Makna dan sikap “silaturahmi” itu akan semakin meluas ketika tidak hanya diartikan sebagai saling mengunjungi atau mempererat tali persaudaraan yang justru malah membuat keterikatan satu sama lainnya, terutama terhadap keluarga. Padahal seharusnya “silaturahmi” itu diartikan “mempererat tali kasih”. Karena kasih adalah kebenaran yang tertinggi, maka kasih pun akan memberikan kesadaran yang lebih luas. Dengan meluasnya kesadaran, definisi tentang “keluarga” pun menjadi meluas.

Bagi saya hubungan “silaturahmi” tidak hanya kontak fisik. Namun yang lebih penting adalah kontak batin. Dimana hati selalu dipenuhi dengan kasih. Sehingga tidak ada lagi ruang untuk rasa iri, sirik dan dendam terhadap saudara sendiri.

Ibu saya pernah mengeluh tentang “silaturahmi” kepada saya. “Ternyata memang nggak perlu sekolah tinggi dan banyak uang untuk bisa menerapkan “silaturahmi” kepada saudara ya Ra?. Yang dibutuhkan hanya ketulusan dan jiwa besar untuk membantu dan menerima sikap getir dari sodara kita. Ya, buktinya mamah dah ngerasain, bagaimana dulu mamah sangat menyayangi dan peduli sama……. Tapi mereka hanya akan menghargai dan menghormati kita ketika kita punya uang. Ketika kita tidak lagi punya uang, penghargaan dan penghormatan mereka pun hilang. Waktu itu saya menjawab keluhan beliau dengan mengatakan “ ya sudah, ga apa. Yang penting sekarang mamah harus belajar, perilaku baik, tidak selamanya menghasilkan kebaikan pula terhadap kita, terkadang perilaku yang buruk pun harus kita terima. Itulah hidup”.

Kita tidak pernah menyadari bahwa rasa kasih dan rasa kasihan memiliki makna yang bertolak belakang. Kasih memiliki kekuatan dan rasa kasihan mencerminkan kelemahan. Sikap yang dilandasi dengan rasa kasih akan menghasilkan kebaikan. Sebaliknya, sikap yang dilandasi karena rasa kasihan akan mencelakakan.

Perlu untuk diyakini, selain Maha Kasih Tuhan pun Maha Bijaksana, ia tahu persis tingkat kesadaran diri kita, tingkat kematangan jiwa kita. Bukankah dikatakan bahwa Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan tingkat kemampuannya (kesadarannya). Maka apapun yang Dia berikan, baik atau pun buruk, sehat atau sakit, serta kekayaan dan kemiskinan, itu berarti untuk kebaikan kita. Seseorang yang masih hidup dalam tingkat kesadaran yang rendah, ujian hidupnya mungkin tidak seberat orang yang telah hidup dalam tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Namun bukan berarti kemiskinan mencerminkan bahwa orang itu telah hidup dalam kesadaran dan orang kaya hidup dalam ketidaksadaran, sehingga kita selalu menganggap orang kaya tidak mampu menjalankan hidup dalam kesulitan dan kesengsaraan, tidak begitu. Kematangan jiwa semata tidak dapat dilihat dari kaya dan miskinnya seseorang. Akan tetapi dari sikap dia menghadapi segala tantangan-tantangan

Buku ini ditulis untuk memberikan bahan-bahan perenungan bagi pembaca. Mungkin akan ada kesulitan untuk memahaminya, karena untuk memahaminya anda harus menjadi tidak fanatik. Di sini penulis buku ini berpesan bahwasanya apa yang selama ini kita cari sudah ada di dalam diri kita, tinggal kita membalikkan arah pencarian kita, dari luar diri kembali ke dalam diri.

 

Judul Buku : Belajar dari Kasih Sayang Ibu

Penulis : Ohara Moza Prawira

Penerbit : Samudra Biru

Cetakan : I November 2018

Dimensi : viii + 327 hlm. ; 14 x 20 cm

Harga : Rp