TAFSIR DAN HAL-HAL YANG TAK SELESAI
buku ini berisi pemaparan-pemaparan sederhana di dalamnya sangat cocok bagi masyarakat yang ingin mengintip pembahasan dan dinamika yang terjadi dalam tafsir dan Al- Qur’an, khususnya berkaitan dengan hermeneutika, metode yang menjadi kontroversi di kalangan pemikir Islam.
Pentingnya Kontekstualisasi
Tantangan terbesar yang kita hadapi hari ini adalah kehadiran pihak-pihak yang begitu terobsesi
menyeragamkan pikiran dan pandangan. Padahal perbedaan dalam Islam adalah hal lumrah dan wajar. Hadirnya mazhab-mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, sebagaimana kita lihat di panggung sejarah, merupakan bukti nyata dari kelumrahan dan kewajaran itu. Sosok Nabi Muhammad telah menjadi contoh paling nyata dari kelegaan menerima perbedaan itu.
Alkisah, para sahabat suatu waktu pernah diberi perintah oleh Nabi agar tidak salat asar lebih dulu sebelum sampai di perkampungan Bani Quraizah. Namun kebingungan segera menghampiri mereka. Belum tiba di perkampungan Bani Quraizah, tapi waktu telah menunjukkan bahwa waktu magrib akan segera tiba. Di tengah kebingungan itu, para sahabat akhirnya terbagi menjadi dua faksi. Faksi pertama berpandangan harus segera salat asar karena waktunya tak lama lagi akan berakhir. Sementara faksi kedua berpandangan kita harus tetap berpegang pada perintah Nabi, yakni jangan salat asar
sebelum sampai di perkampungan Bani Quraizah. Setelah tak menemui kata sepakat, kemusykilan tersebut akhirnya diadukan ke Nabi. Mereka bertanya dan hendak memastikan manakah pandangan yang paling benar di antara mereka? Namun sikap yang ditunjukkan oleh Nabi tidak sesuai harapan mereka. Alih-alih menyalahkan dan membenarkan salah satu, Rasulullah justru menampilkan sikap yang tenang dan bıjaksana. Ia mengatakan bahwa keduanya sama-sama benar.
Sikap ini mestinya menjadi dasar umat Islam dalam menyikapi perbedaan pandangan dan pemikiran dalam wacana tafsir. Hadirnya perbedaan tidak mesti dipandang sebagai hal yang berbahaya. Sebaliknya, ia mesti dipandang sebagai hal yang memperkaya khazanah kita. Atas dasar itu, terhadap buku yang ditulis oleh mahasiswa pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta sekaligus Pendidikan
Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI) ini, saya setidaknya ingin memberi beberapa catatan penting.
Catatan pertama ialah tentang pentingnya mengedepankan sikap ilmiah. Sebagai agama, Islam sangat menjunjung tinggi sikap ilmiah. Dalam bentangan ayat-ayat Al-Qur’an kita dapat melihat petunjuk akan hal ini. Sebagai contoh QS. al-Isra ayat 35. Melalui ayat ini Allah memberikan satu tuntunan penting bahwa kita mesti selalu hati-hati dan mengukur diri. Terutama dalam ilmu. Kita harus jujur pada diri sendiri, apakah kita memiliki kapasitas untuk berbicara atas hal tertentu atau tidak.
Ini sebenarnya belakangan diurai cukup panjang oleh Tom Nichols dalam bukunya Matinya Kepakaran. Di sana Nichols menjelaskan bahwa lalu lintas pengetahuan akan kacau balau jika setiap orang merasa berhak dan mampu berbicara atas semua hal.
Al-Qur’an juga menyinggung hal serupa. QS. Al- Hujurat ayat 6 contohnya. Dalam penggalan ayat ini, Allah memerintahkan manusia agar tidak cepat-cepat memutuskan sesuatu ketika menerima informasi. Bahkan yang menerima informasi diminta untuk melakukan konfirmasi dan klarifikasi terlebih dahulu. Gunanya tidak lain untuk memastikan kebenaran informasi yang diterima.
Bukti lain yang menunjukkan Islam sangat menjunjung tinggi sikap ilmiah ialah QS. An-Nahl ayat 43. Di sini Allah ingin agar setiap perkara diserahkan dan ditanyakan kepada ahlinya. Karena hanya dengan begitulah iklim intelektual kita terjaga. Menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, sebagaimana disinggung dalam hadis, hanya akan membawa seseorang atau kelompok pada jurang kehancuran.
Selain itu, yang perlu ditekankan juga, bahwa yang paling dasar dari sikap ilmiah adalah berpijak pada ilmu, bukan pada perasaan. Dasar untuk memutuskan ialah benar atau salah, bukan suka atau tidak suka. Ini perlu ditekankan karena sering terjadi salah kaprah di masyarakat. Atas dasar kebencian pada
sosok dan kelompok tertentu, maka segala yang disampaikan oleh mereka dipandang salah. Ini jelas tidak dibenarkan. Karena tidak didasarkan pada sikap ilmiah. Sikap ilmiah selalu mengandaikan penghakiman berdasar ilmu. Apakah yang disampaikan benar secara logika? Apakah terdapat kecacatan berpikir pada pernyataan yang hendak dihakimi? Dalam artian, jika tidak sependapat dengan sesuatu, harus dibantah secara logis dan argumentatif, bukan emosional dan sentimentil. Ketika merespon diskursus yang berkembang dalam pemikiran Islam, sikap ini jarang ditampilkan. Yang terjadi malah sebaliknya. Karena tidak suka dengan pemikiran satu tokoh, maka berbagai tuduhan seperti “liberal”, “sesat” dan segala macamnya segera dilemparkan. Ini tentu sikap yang tidak sehat. Karena dianggap menyerang secara personal dan membunuh karakter seseorang. Tuduhan-tuduhan semacam itu cukup berbahaya dampaknya. Masyarakat bisa segera memboikot pemikiran yang bersangkutan dan menganggap seluruh pemikirannya salah. Padahal boleh jadi ada yang benar dari pandangannya di masalah lain.
Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!
DAFTAR ISI
Spesifikasi Buku
Cetakan I, Desember 2024; 220 hlm, ukuran 14 x 20 cm, kertas isi Bookpaper hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.
Harga Buku
Sebelum melakukan pembayaran, cek ketersediaan stock kepada admin. Jika buku out of stock pengiriman membutuhkan waktu – 3 hari setelah pembayaran.
Rp 120.000
Rp 98,200
Tentang Penulis
Muhamad Bukhari Muslim
Penulis asal Donggala-Sulawesi Tengah ini memiliki nama lengkap Muhamad Bukhari Muslim. Menyelesaikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada prodi ilmu Al-Qur’an dan tafsir dan kemudian melanjutkan S2 di Universitas PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) Jakarta dengan bantuan LPDP. Bukhari, sapaan akrabnya, telah menulis beberapa buku. Baik yang personal dan kolektif. Buku pertamanya berjudul Warna Warni Islam (2020), kemudian Memenangkan Islam Progresif (2023) dan buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan buku ketiganya. Selain menulis, ia juga aktif di dunia organisasi. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Komisariat Ushuluddin UIN Jakarta (2021- 2022), Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat (2022-2023) dan kini sebagai Bendahara Umum DPD IMM DKI Jakarta (2024-2026). Kemudian pernah diamanahkan sebagai Ketua Umum Forum Mahasiswa Tafsir Muhammadiyah (2020-2022), organisasi yang menjadi cikal bakal lahirnya kanal tafsir online: Tanwir.id. Kanal yang menjadi wadah bagi penulis-penulis muda yang konsen di tema tafsir.