Relasi Kuasa, Politik Identitas, dan Modal Sosial
Sejarah penyusunan buku ini dilatari pengalaman penulis pada arena politik selama ini, yang memberi banyak insight sekaligus pelajaran berharga tentang bagaimana politik identitas bekerja berbasis modal simbolik yang ada.

DEMOKRASI DALAM DOMINASI OLIGARKI IDENTITAS
Kebebasan demokratis yang dihadirkan Orde Refor-masi tidak serta merta mampu membebaskan rakyat dari belenggu kesewenangan, ketimpangan, dan penderitaan. Setelah seperempat abad Reformasi berjalan, tanpa perbaikan demokrasi dan kualitas hidup yang berarti, mestinya terbit kesadaran bahwa tirani pemerintahan tidak bisa dihapus begitu saja dengan pesta kebebasan. Kebebasan tanpa keadilan dan kesetaraan hanya membuat tirani berganti wajah, dari wajah bengis militeristik menuju wajah lembut permainan prosedur.
Penjelmaan kebebasan eksklusif (elitis) yang melemahkan publik mengkhinati cita-cita kebebasan inklusif—dengan sebutan kemerdekaan–yang diperjuangkan para pendiri bangsa. Kita patut bersyukur, para pendiri bangsa Indonesia yang menyusun dan mengesahkan Konstitusi Proklamasi sudah mewakili berbagai unsur keragaman Indonesia—secara agama, ras, etnik, golongan dan jenis kelamin. Dengan representasi yang inklusif tersebut, moral Konsitusi kita (UUD 1945) sejak awal sudah menjamin kesetaraan politik, kesetaraan kesempatan dan persamaan warga di depan hukum, yang dalam pasal-pasalnya yang terbatas sudah meliputi jaminan kesetaraan atas hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan semangat egalitarianisme yang kuat, “tujuh kata” dari rancangan awal Piagam Jakarta—yang memberikan kekhususan bagi golongan mayoritas agama—dengan rela dihapuskan saat Konstitusi Proklamasi disahkan pada 18 Agustus 1945. Dengan demikian, Republik Indonesia berdiri sebagai negara semua buat semua.
Menyadari kemajemukan bangsa Indonesia dengan aneka bentuk relasi-representasi golongan maroritas-minoritas, demi menjaga keseimbangan dalam kesetaraan dan kebebasan itu para pendiri bangsa juga mengidealisasikan suatu bentuk pemerintahan yang bisa lebih kedap terhadap ancaman dari tirani mayoritas dan minoritas. Maka dirancanglah suatu bentuk representasi politik yang tidak hanya berbasis pada principle of equal liberty (kesetaraan individual) tetapi juga the principle of difference (afirmasi positif ). Terciptalah desain lembaga perwakilan inklusif yang menampung perwakilan individu, perwakilan golongan (utusan golongan), dan
perwakilan daerah (utusan daerah). Akan tetapi, perjuangan mewujudkan kebebasan inklusif itu tidaklah mudah. Salah satu alasannya karena kebebasan itu dalam praktiknya bisa bersifat paradoks. Seperti kata Terry Eagleton (2005), “kebebasan itu menyerupai dewa Dionysus dengan penampakan ganda: malaikat dan iblis, kecantikan dan teror.” Dalam mitologi Yunani, Dionysus adalah dewa anggur, susu dan madu, sekaligus juga dewa darah. Seperti ekses alkohol, ia menghangatkan darah dengan efek yang mengerikan. Apa yang bisa membawa spontanitas dan kegembiraan bisa juga menimbulkan kehilangakalan dan brutalitas.
Agar kebebasan itu terhindar dari sisi destruktifnya, ia harus terus diperjuangkan untuk tetap bersanding dengan
pasangannya, yakni tanggung jawab. Tak pernah ada kebebasan konstruktif tanpa disertai kesungguhan tanggung jawab. Semakin banyak kebebasan diberikan, makin besar tanggung jawab yang menyertainya. Tanpa kesungguhan mengemban tanggung jawab, kebebasan bisa menghunus belati yang menikan kehidupan.
Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!
DAFTAR ISI



Spesifikasi Buku

Cetakan I, Februari 2025; 218 hlm, ukuran 14 x 20 cm, kertas isi HVS hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.
Harga Buku
Sebelum melakukan pembayaran, cek ketersediaan stock kepada admin. Jika buku out of stock pengiriman membutuhkan waktu – 3 hari setelah pembayaran.
Rp 150.000
Rp 103,100
Tentang Penulis

M. RAHMI HUSEN,
Menyelesaikan S1 (Sosiologi) di Univdersitas Sam Ratulangi Manado, S2 di Universitas Sam Ratulangi Manado, dan S3 (Sosiologi) di Universitas Muhammadiyah
Malang (tahun 2023). Semasa mahasiswa S1, aktif sebagai Ketua Umum HMI Cabang Manado (1993/1995). Kembali ke Ternate, bersama beberapa senior dan aktivis HMI, mendirikan sebuah LSM, Yayasan Forum Studi Halmahera (FOSHAL) yang terlibat dalam gerakan pemberdayaan masyarakat marginal, pengembangan ekonomi kecil, dan lingkungan hidup. Memimpin Orang Indonesia (OI) Kota Ternate dan juga sebagai Dosen Tetap pada Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammdiyah Maluku Utara sejak 2001 sampai sekarang. Setelah itu, Naid aktif sebagai Ketua KPU Provinsi Maluku Utara (2003-2008), lalu terjun ke dunia politik, bergabung dengan Partai Demokrat Maluku Utara. Pada Pemilihan Legislatif 2009-2014, Naid terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, Naid terus bermetamorfosis sebagai politisi, aktivis, dan juga dosen.
Pemilihan Legislatif 2014-2019, Naid terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, juga dipercayakan memimpin DPD Partai Demokrat Maluku Utara. Pada Pemiliha Legislatif 2019-2024, Naid terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, dan juga terpilih sebagai salah satu Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara. Naid juga dipercayakan sebagai Ketua Pengprov Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI), Ketua Kerukunan Tani
Nelayan Andalan (KTNA) Maluku Utara, dan Anggota Presidium MPW KAHMI Maluku Utara (2022-2026). Karya tulis berupa buku yang telah dihasilkan Naid, di antaranya : Potret Gelisah Negeri Pinggiran, Catatan Kritis Atas Maluku Utara (Penyunting bersama Herman Oesman, 2005), dan Negeri Nita Malili (Penyunting bersama Herman Oesman, 2006).