PGONG PAKAE: Konflik dan Resolusinya pada Masyarakat Kerinci
Sebuah buku langka tentang budaya masyarakat Kerinci yang sangat sayang untuk dilewatkan bagi para pengkaji kebudayaan
PGONG PAKAE: Konflik dan Resolusinya pada Masyarakat Kerinci
Buku ini berangkat dari peristiwa Kenduri Sekao masyarakat adat Rencong Telang yang diselengarakan di desa Pulau Sangkar, Kerinci -Jambi pada 2017. Kenduri ini menjadi momentum titik balik dari penguatan adat yang sebelumnya mengalami stagnasi selama beberapa dekade pada masyarakat adat tersebut.
Kenduri ini berlangsung sangat meriah karena dihadiri oleh anak jantan anak betino (warga) Rencong Telang yang berdatangan dari segala penjuru, baik dari dalam negeri mereka maupun dari berbagai negeri tempat mereka merantau, di dalam maupun di luar Indonesia.
Menariknya kenduri ini juga diramaikan oleh kehadiran tamu yaitu para pemangku adat dari berbagai komunitas adat di Kabupaten Kerinci dan sekitarnya, Bupati Kabupaten Kerinci Dr. Adirozal, M.Si., dan Raja Alam Minangkabau Daulat Muhammad Taufik Thaib bersama rombongan besar yang datang langsung dari Istana Silinduang Bulan, Pagarruyung.
Masyarakat Adat
Menguatnya adat di Kerinci Hilir ini memang seiring dengan munculnya gejala menguatnya adat dalam kehidupan sosial politik di berbagai daerah di Indonesia pada era reformasi. Hal ini telah menjadi minat baru bagi para peneliti di Indonesia.
Untuk itu, misalnya, telah diselenggarakan lokakarya dengan tema kebangitan Adat pada masa transisi demokratis di indonesia (2004) di Batam yang kemudian menjadi embiro dari terbitnya buku penting tentang fenomena ini dengan judul ADAT DALAM POLITIK DI INDONESIA (Davidson, dkk. 2010).
Dalam buku ini antara lain ditulis bahwa gerakan protes di kalangan masyarakat pedesaan yang ditinggalkan di belakang oleh pembangunan dalam negera yang sedang mengalami urbanisasi dan industrialisasi masih dapat berpengaruh, khususnya dengan dukungan komunitas internasional.
Kebangkitan Adat
Kebangkitan adat juga menggarisbawahi bahwa devolusi kekuasaan di sebuah negara yang sebelumnya tersentralisasi dapat menggiring kepada pengucilan, konflik, dan bahkan otoritarianisme di tingkat lokal.
Penguatan adat di Kerinci, khususnya pada masyarakat adat Rencong Telang memiliki dinamikanya tersendiri. Ini agak berbeda dengan di banyak lokasi di tanah air dimana penguatan adat banyak terkait dengan kepentingan politik tertentu dari aktor-aktor politik lokal.
Menguatnya kembali adat di Kerinci Hilir lebih pada keinginan untuk lebih menguatkan kehidupan sosial setempat. Untuk itu bisa dilakukan dengan menggali adat lama dan menguatkan kehidupan ekonomi masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan tanah ulayat. Itu semua dalam dalam bingkai sistem politik NKRI.
Era reformasi nampaknya memunculkan kesadaran pada generasi baru bahwa stagnasi adat yang berlangsung selama tiga dekade sebelumnya menyebabkan perkembangan negeri mereka tidak optimal meski memiliki banyak sumberdaya.
Kenduri Sekao 2017 itu seakan menjadi katarsis dari kegelisahan mereka. Dengan begitu penguatan adat ini mendapat dukungan yang luar biasa dari berbagai eleman masyarakat setempat dan jauh dari kepentingan politik praktis dari aktor dalam kontestasi politik lokal setempat.
Dampak Positif
Pengauatan adat itu telah membawa banyak dampak positif yang bisa dirasakan masyarakat Rencong Telang. Norma-norma kehidupan sosial kembali tegak. Perjudian dan minuman keras sebagai penyakit masyarakat yang sebelumnya berlangsung terbuka kini senyap. Kalaupun masih berjalan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Semangat gotong royong yang lama melemah kembali menguat. Pemanafaatan tanah ulayat oleh para pendatang kembali ditata sedemikian rupa sehingga menguntungkan bagi masyarakat adat maupun bagi para pendatang penggarap lahan.
Semangat generasi muda untuk mempelajari adat juga kembali muncul. Kehidupan keagamaan di tengah masayarakat kembali bergairah.
Ini tentu saja sejalan dengan pondasi kehidupan bersama mereka yang tidak bisa dipisahkan dengan ajaran agama sebagaimana diktum tertinggi dalam adat di negeri Melayu ini yaitu “adat yang sebenar adat adalah adat bersandi syarak dan syarak sersandi kitabullah.”
Penguatan adat ini meniscayaan penguatan kapasitas. Ketika kelembagaan adat menguat seiring dengan pelaksanaan Kenduri Sekao salah satu hasilnya adalah terpilihnya pemangku adat yang baru. Sebagian besar dari pemangku yang disebut Depati nan Berenam dan Ninik mamak Nan Selapan ini adalah generasi baru yang tidak banyak tahu tentang berbagai aspek dari adat mereka yang sangat kaya itu.
Mereka menjadi pemangku adat lebih karena dipilih oleh anak jantan anak betino dalam luhak mereka. Tetapi sebagaimana pada umumnya warga Rencong Telang mereka ingin belajar lebih banyak tentang berbagai hal terkait dengan norma dan hukum adat mereka.
Penguatan Kapasitas
Sementara beberapa pemangku senior pun merasakan keterbatasan mereka dalam hal ini. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha penguatan kapasitas baik secara kelambagaan maupun kepemangkuan adat itu sendiri. Dengan latar belakang seperti itulah buku ini disiapkan.
Buku ini merupakan kelanjutan dari buku pertama penulis terkat masyarakat adat ini. Buku pertama dengan judul RENCONG TELANG KOMUNITAS Adat di Kerinci Sumatera Tengah (2017).
Pada buku ini penulis menarasikan hal yang terkait dengan asal usul penduduk, sejarah pemerintahan, wilayah kekuasaan, sistem kehidupan sosial, struktur masyarakat, kepamangkuan adat, dan pepatah-pepitih dalam masayrakat adat itu. Sebagian dari pembahasan dalam buku itu memerlukan pendalaman lebih lanjut, khususnya terkait dengan sistem kehidupan sosial setempat.
Untuk itulah buku kedua dengan judul PGONG PAKAE ini hadir. Dalam buku ini diuraikan lebih jauh dan lebih aplikatif berbagai norma sosial dan hukum adat yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan PGONG PAKAE (sesuatu yang dipegang dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari) itu.
Hasil Riset
Termasuk di dalamnya adalah sistem peradilan adat yang diselenggarakan secara bertingkat. Semua buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif.
Data dikumpulkan melalui studi dokumentasi, pengumpulan data sekunder, observasi, wawancara mendalam, dan FGD. Untuk itu peneliti terjun ke lokasi penelitian di Kerinci Hilir pada tiga periode yaitu April 2018, Juni 2018, dan Pebruari 2019.
Guna menyusun buku ini penulis telah dibantu oleh banyak pihak. LP3M-UMY adalah pihak pertama yang harus disebutkan. Skema program Penelitian Unggulan Prodi dari LP3M-UMY (2017-2018) memperlancar langkah penulis untuk beberapa kali terjun melakukan penelitian lapangan di Kerinci yang tentu saja tidak dekat dari Yogyakarta.
Dengan demikian terbitnya buku ini menjadi salah satu bentuk ucapan terima kasih sekaligus pertanggungjawaban lanjut penulis kepada LP3M-UMY. Kemudian penulis sangat berterima kasih kepada para informan yang telah bersedia bercerita secara terbuka dan panjang lebar dalam suasana hangat kepada penulis sebagai peneliti di lapangan.
Mereka adalah para cerdik pandai dan tunggol pamaraeh pada masyarakat adat Rencong Telang di Pulau Sangkar, tokoh masyarakat pada dua desa yang terlibat konflik di Kerinci Hilir.
Mereka yang tidak mungkin disebutkan satu persatu ini menjadi narasumber secara langsung maupun tidak langsung. Kepada mereka penulis berterima kasih dan berharap pengetahuan dari mereka yang penulis rumuskan menjadi buku ini bisa memberi manfaat untuk kehidupan yang makin harmonis di Kerinci Hilir pada khususnya dan kerinci pada umumnya pada masa-masa mendatang. Selamat membaca!
DAFTAR ISI
Bab 1
Pendahuluan
Bab 2
Api dalam Sekam di Kerinci Hilir
Bab 3
Asal-Usul dan Kepemangkuan
Bab 4
Pgong Pakae
Bab 5
Adat nan Tigo Takah Lembago nan Tigo Jinjing
Bab 46
Penutup
Spesifikasi Buku
x + 84 hlm, ukuran 16×24 cm, kertas isi HVS 70 gram hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.
Harga Buku
Sistem penjualan buku ini adalah print on demand. Buku hanya akan dicetak ketika ada pemesanan. Butuh waktu +- 3 hari setelah pembayaran. Harga belum termasuk ongkos kirim
Rp120.000
Rp81.600
Mahli Zainuddin Tago
Dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Meraih gelar doktor di Universitas Gadjah Mada (2006). Melakukan berbagai penelitian tentang adat dan kehidupan masyarakat di berbagai daerah. Juga aktif di Persyarikatan Muhammadiyah.