Pemilu 2019 di Mata Milenial: Catatan dari Bilik Suara 17 April 2019

Buku ini merupakan catatan kritis sekaligus harapan dari generasi milenial yang sepuluh atau duapuluh tahun mendatang mereka akan menjadi bagian penting dari perubahan negeri ini. Melalui buku ini, suara generasi milenial layak dan harus didengarkan oleh siapapun agar kita bersama-sama membangun negeri tercinta ini menjadi lebih baik lagi ke depannya. 

Pemilu 2019 di Mata Milenial: Catatan dari Bilik Suara 17 April 2019

Latar Belakang penulisan buku ini tidak terlepas dari momen jelang Pemilu 2019. Pada semester genap Tahun Ajaran 2018/2019, sebagai dosen Program Studi S1 Ilmu Pemerintahan UMY saya mengampu dua mata kuliah, yaitu Studi Partai Politik untuk semester dua dan Proses Legislasi untuk semester empat.

Perkuliahan semester genap dimulai sejak Februari 2019 dan berakhir hingga Juni 2019. Karena Pemilu Serentak jatuh pada 17 April 2019, saya pribadi sebagai akademisi mempunyai ide untuk melibatkan mahasiswa menjadi pemantau independen pada Pemilu 2019 di TPS di mana mereka akan mencoblos. Jadi, belajar tidak hanya sekadar teori tetapi juga praktik di lapangan. Ini akan memberikan kesan tersendiri bagi mahasiswa.

Selain itu juga, Pemilu 2019 bisa dikatakan sebagai the most spectacular election of the world (pemilu paling spektakuler di dunia) karena menggabungkan Pilpres dan Pileg dalam satu waktu yang bersamaan sehingga setiap pemilih harus mencoblos lima jenis kertas suara: Pilpres (surat suara warna abu-abu), Pileg DPR RI (surat suara warna kuning), pemilihan DPD RI (surat suara warna merah), DPRD Provinsi (surat suara warna biru), DPRD Kabupaten/Kota (surat suara warna hijau).

Pemilu Serentak jenis ini, sependek pengetahuan yang saya peroleh, belum pernah terjadi di negara demokrasi lainnya. Pemilu 2019 ini juga bisa disebut sebagai Pemilu serentak pertama kali dalam sejarah politik di Indonesia. Karena itu, generasi milenial tidak boleh melupakan momen bersejarah ini.

Dari situlah, saya menganggap penting mereka terlibat sekecil apapun dalam momen bersejarah ini. Apalagi hiruk-pikuk Pilpres dengan hanya dua kandidat, Paslon Jokowi-Ma’aruf dan Paslon Prabowo-Sandi, semakin membuat tahun 2019 adalah tahun politik sejati (the real political year).

Mengapa 17 April?

Cukup menarik juga sedikit membahas tentang tanggal pelaksanaan Pemilu 2019. Mengapa Pemilu jatuh pada tanggal 17 April 2019? Tanggal 17 mempunyai makna tersendiri terutama bagi kaum Muslim. Orang Muslim sehari semalam melakukan shalat sebanyak 17 rakaat. Kitab suci Al-Qur’an juga turun pada tanggal 17.

Menurut Soekarno, angka 17 merupakan angka mistis dan kesucian yang bukan dibuat oleh manusia. Pemikiran itu yang mendukung Soekarno setuju memproklamasikan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Begitu juga Pemilu 2019 ini jatuh pada tanggal 17 agar mendapatkan makna mistis dan kesucian sehingga hasilnya pun memang benar-benar bagian dari kebenaran karena melibatkan ratusan juta manusia dalam perhelatan akbar demokrasi yang bernama Pemilu Serentak ini. Adapun jumlah partai politik peserta Pemilu 2019 terdiri dari 16 partai politik di tingkat nasional dan empat partai lokal khusus di Aceh.

Langsung dari TPS

Pada hari H pencoblosan (17 April 2019), saya memantau pergerakan mahasiswa melalui Whatshap Group (WAG) yang sudah kami buat jauh hari sebelumnya. Melalui WAG tersebut, saya bisa memantau dan mendapatkan laporan perkembangan dari para pemantau tentang apa yang terjadi di lokasi TPS serta kendala-kendala yang mereka hadapi.

Sesekali ada mahasiswa yang mengirim chat pribadi untuk bertanya tentang hal yang mereka tidak paham. Saya pun langsung merespon chat mereka. Bagi pemantau yang ada di Yogyakarta terutama di sekitar Kecamatan Kasihan, Bantul, masalah mereka mayoritas terkait dengan sulitnya pemilih A5 (pindahan dari luar Yogyakarta) untuk mendapatkan hak pilih atau hak coblos.

Alasan para petugas KPPS adalah terbatasnya kertas suara sehingga para mahasiswa pemilih A5 tersebut banyak yang tidak mendapatkan haknya untuk mencoblos Capres-Cawapres lantaran surat suara sudah habis.

Namun demikian, para mahasiswa itu tetap tidak kecewa untuk terus memantau jalannya Pemilu. Di sinilah saya mengapresisasi semangat mereka untuk berdemokrasi meski hak mereka dirampas oleh para penyelenggara tersebut.

Pelibatan Mahasiswa

Mengapa pelibatan mahasiswa dalam pemantauan Pemilu 2019 sangat penting? Setidaknya ada beberapa asalan dapat diungkapkan di sini. Pertama, mereka adalah mahasiswa ilmu pemerintahan yang memiliki mata kuliah terkait dengan Pemilu, di antaranya yang sangat terkait adalah mata kuliah Tata Kelola Pemilu, Studi Demokrasi, dan Studi Partai Politik.

Dengan terlibat menjadi pemantau Pemilu, mereka memiliki pengalaman lapangan yang ini semakin memperkaya perspektif mereka dalam memahami perjalanan demokrasi Indonesia. Kedua, mereka adalah generasi milenial yang baru pertama kali menjadi pemilih untuk melakukan pencoblosan dalam skala Pemilu nasional, apalagi Pemilu 2019 ini adalah Pemilu Serentak pertama kali di Indonesia yang menggabungkan antara Pilpres dan Pileg.

Dengan melibatkan mahasiswa menjadi pemantau Pemilu, mereka akan memiliki pengalaman yang kaya tentang mana cara berdemokrasi yang baik dan mana yang tidak baik. Ketiga, menepis anggapan orang lain, bahwa kuliah ilmu-ilmu sosial tidak ada praktikum. Dengan adanya Pemilu Serentak 2019 ini, maka hal itu kita jadikan praktikum yang tepat untuk mahasiswa Ilmu Pemerintahan.

Gaya Milenial

Dengan ketiga alasan yang mendasar tersebut, tujuan penulisan buku ini adalah menghadirkan perspektif, cara pandang, atau gaya analisa generasi milenial terhadap pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Melalui tulisan-tulisan mereka, kita bisa mengetahui pandangan dan catatan dari generasi muda yang tentunya sepuluh atau duapuluh tahun lagi masa depan republik ini ada di pundak mereka.

Karena itulah, kita ingin mengetahui catatan-catatan kritis dari generasi milenial tersebut setelah mereka melihat langsung peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia pada hari Rabu tanggal 17 April 2019 termasuk evaluasi dan harapan mereka terhadap masa depan demokrasi Indonesia.

Dengan begitu, manfaat penulisan buku ini adalah memperkaya khazanah keilmuan tentang sudut pandang generasi milenial dalam memahami demokrasi dan Pemilu di Indonesia. Buku ini bermanfaat untuk menambah bahan bacaan tentang demokrasi, pemilu, dan generasi milenial.

Bagaimana buku ini ditulis?

Pada awalnya, ada sekitar 150-an mahasiswa yang terlibat dalam program ini. Mereka menulis pengalaman di lapangan menjadi pemantau Pemilu ke sebuah naskah cerita dengan jumlah minimal 1.500 kata dalam format word. Saya beserta tim seleksi menyaring naskah-naskah tersebut, lalu berdiskusi naskah mana saja yang menarik dan layak untuk dipublikasikan.

Setelah berkali-kali mengadakan pertemuan dan diskusi dengan tim seleksi, naskah yang lolos ditetapkan berjumlah 57 cerita seperti yang tersajikan dalam buku ini. Setelah naskah diseleksi, tugas saya sebagai editor tidak lantas selesai begitu saja.

Saya secara serius melakukan editing satu per satu terhadap 57 naskah tersebut, mulai dari editing kata/kalimat/paragraf, merubah hampir seluruh judul naskah, serta memotong kalimat-kalimat yang kurang relevan.

Tentu 57 naskah tersebut bukan berasal dari penulis handal karena cara mereka bertutur masih melompat-lompat, tidak sistematis serta seringkali mengalami pengulangan kalimat. Di situlah pekerjaan saya yang melelahkan sebagai editor dibantu dengan adik saya Indah Al-Fiani asisten editor dalam menuntaskan proses editing ini. (Ridho Al-Hamdi sebagaimana dikutip dari pendahuluan buku ini)

Buku ini sangat membantu Anda Memahami Demokrasi Indonesia

Generasi milenial hingga saat ini belum mendapatkan tempat yang strategis dalam kancah gedemokrasi di Indonesia. Buku ini setidaknya memberikan tempat yang layak bagi generasi milenial dalam menyuarakan demokrasi di Indonesia.

Kenapa Kamu Harus Membaca Buku Ini ?!

  • Pembahasan dalam buku ini masih sangat langka
  • Buku ini menyajikan informasi yang baru, di mana generasi milenial yang belum banyak bersuara tentang demokrasi, dapat Anda temukan dalam buku ini
  • Ditulis oleh kalangan yang sangat konsern di bidangnya
  • Cocok untuk mendalami dinamika pemilu 2019
  • Mudah dipahami karena ditulis secara mandiri per tulisan
  • Memiliki informasi yang sangat kaya, dengan berbagai perspektif penulis milenial

Harga Khusus untuk Pembelian Pre-Order!

DAFTAR ISI BUKU

Informasi Buku: Cetak I April 2020 | Ukuran 16×24 cm | xvi + 432 hlm | Kertas isi Bookpaper 57,5 gram | Finishing jilid lem panas dan shrink (bungkus plastik)

  • PENDAHULUAN: PEMILU 2019 DALAM SUDUT PANDANG MILENIAL ~ Ridho Al-Hamdi
  • BAB I CATATAN KRITIS MILENIAL DI SUMATERA DAN SULAWESI: Ada 8 Catatan Kritis di Bab Ini
  • BAB II CATATAN KRITIS MILENIAL DI JAWA BARAT DAN JAKARTA: Ada 7 Catatan Kritis di Bab Ini
  • BAB III CATATAN KRITIS MILENIAL DI JAWA TENGAH: Ada 20 Catatan Kritis di Bab Ini
  • BAB IV CATATAN KRITIS MILENIAL DI YOGYAKARTA: Ada 23 Catatan Kritis di Bab Ini
  • BAB V CATATAN KRITIS MILENIAL DI JAWA TIMUR: Ada 4 Catatan Kritis di Bab Ini
  • PENUTUP: NASIB DEMOKRASI INDONESIA DI MATA MILENIAL ~ Ridho Al-Hamdi

Harga Spesial Pre-Order!

Anda akan mendapatkan harga spesial dengan memesan secara pre order mulai 06 April – 30 April 2020

Rp213.100

Rp,170.800

  • Harga belum termasuk ongkos kirim
  • Harga naik saat waktu pre order berakhir

Editor Buku

Ridho Al-Hamdi, S.Fil.I., MA., Dr. phil

Dosen dan direktur International Program of Government Affairs and Administration (IGOV) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta