Musibah Partai Kakbah Potret Perjalanan PPP 2014-2019

Sebuah buku yang berhasil mengupas secara gamblang potret PPP dari kalangan insider. Jujur dan konstruktif!

PPP dan Masa Depan Partai Islam

Untuk pertama kalinya dalam sejarah kehadiran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di panggung politik nasional, perolehan suara partai berlambang Kabah ini pada Pemilu 2019 merosot hingga 4,52 persen, dan hanya meraih 19 kursi DPR, atau merosot hampir separuh dari perolehan kursi DPR pada 2014 (39 kursi).

Seandainya PPP memperoleh kurang dari 4 persen suara secara nasional, maka partai Islam yang pernah menyatukan Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) ini tidak hanya akan tergusur dari DPR, tetapi juga potensial terlempar dari panggung politik nasional.

Seperti diketahui, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyaratkan perolehan suara partai politik minimum 4 persen untuk dapat mengirimkan wakilnya di DPR.

Merosot

Perolehan suara PPP yang merosot drastis dalam Pemilu 2019 dapat dikatakan sebagai prestasi terburuk partai Islam ini sepanjang kehadirannya, bahkan sejak pemilu-pemilu era rezim Orde Baru.

Betapa tidak, pada pemilu-pemilu Orde Baru–meskipun harus diakui kebebasan berserikat dibatasi, peserta pemilu hanya tiga partai dan pemilu berlangsung tidak demokratis—PPP meraih suara hampir selalu di atas 15 persen, yakni masing-masing 29,3 persen (Pemilu 1977), menurun menjadi 27,8 persen (1982), merosot drastis menjadi 16 persen (1987) dan 17 persen (1992), kemudian sedikit meningkat menjadi 22 persen pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir era Orde Baru.

Setelah Soeharto jatuh pada 1998 dan PPP lahir kembali di era reformasi, perolehan partai terus merosot dari 10,72 persen (Pemilu 1999), menurun menjadi 8,15 persen (2004), lebih turun lagi menjadi 5,32 persen (2009), sedikit naik menjadi 6,53 persen (2014), dan kembali merosot menjadi 4,52 persen pada Pemilu 2019.

Namun demikian sulit pula dibantah bahwa perolehan suara PPP yang merosot sebenarnya merupakan produk belaka dari kinerja partai yang merosot dan kepemimpinan partai yang terus-menerus dilanda konflik.

Terkait kinerja partai, sulit dipungkiri bahwa PPP tak kunjung berhasil merumuskan format kehadirannya sebagai partai Islam dalam era reformasi dan demokratisasi pasca-Orde Baru.

Branding Gagal

PPP di bawah kepemimpinan Suryadharma Ali misalnya, pernah mensosialisasikan identitas atau “branding” baru yakni sebagai “rumah besar umat Islam” Indonesia. Namun sayangnya hal itu cenderung hanya berhenti sekadar sebagai branding atau slogan dan jargon belaka.

Hal ini terjadi karena hampir tidak pernah ada upaya serius bagaimana menterjemahkan dan mengoperasionalkan identitas PPP sebagai “rumah besar umat Islam” itu dalam sikap dan perilaku partai dalam merespons kebijakan.

Selanjutnya, pada 2014, saat citra SDA merosot dan bahkan harus diberhentikan sebagai Ketua Umum DPP PPP karena menjadi tersangka dan akhirnya terpidana kasus korupsi di Kementerian Agama, branding PPP pun diubah menjadi “bergerak bersama rakyat”.

Akan tetapi, seperti terjadi sebelumnya, bagaimana identitas atau branding baru tersebut dirumuskan dan diimplementasikan ke dalam sikap, perilaku, dan keputusan partai, baik internal maupun eksternal, tidak begitu jelas.

Hampir tidak ada perubahan signifikan dalam kinerja elektoral PPP meskipun ada upaya menciptakan branding baru yang diharapkan dapat memperkuat motivasi, memperbarui semangat, dan pada akhirnya meningkatkan kinerja segenap jajaran partai di pusat dan daerah.

Akumulasi berbagai persoalan internal ini tampaknya sangat berpengaruh terhadap kinerja elektoral PPP sehingga memperoleh kedudukan nomor buncit dalam perolehan suara dan kursi DPR, suatu realitas politik yang dialami untuk pertama kalinya pula oleh partai berlambang Kakbah ini sepanjang sejarahnya.

Pada Pemilu 1999 dan 2004, PPP masih berada di kelompok partai menengah dalam perolehan suara dan kursi DPR. Tetapi pada Pemilu 2009 perolehan suara dan kursi partai Kakbah di DPR merosot drastis, walaupun kemudian naik sedikit pada 2014.

Meskipun demikian, secara ranking, pada Pemilu 2014 dan 2019, partai Islam yang dipimpin oleh Suharso Monoarfa ini harus puas dalam posisi sebagai partai kecil bahkan di urutan kedua dari bawah (2014) dan urutan terbawah (2019).

Perspektif Orang Dalam

Buku Musibah Partai Kakbah: Potret Perjalanan PPP 2014- 2019, karya Achmad Baidowi ini, menguraikan dengan lugas dan rinci problematik dan krisis kepemimpinan yang melanda PPP, paling kurang selama lima tahun terakhir.

Sang penulis yang tidak lain adalah “orang dalam” PPP yang juga menjabat sebagai salah seorang Wakil Sekjen DPP PPP periode 2016- 2021 ini, mencoba memetakan kondisi internal partai yang tidak sehat dan akhirnya menjadi faktor yang melatarbelakangi kinerja elektoral PPP yang semakin menurun dalam beberapa pemilu terakhir.

Menurut Achmad Baidowi, anggota DPR peraih suara terbanyak PPP dan 10 besar perolehan suara terbanyak caleg yang lolos ke DPR pada Pemilu 2019, krisis PPP yang akhirnya bermuara pada konflik internal dan dualisme kepemimpinan, terutama bersumber pada semakin melembaganya kecenderungan otoriter dalam kepemimpinan partai.

Kepemimpinan PPP yang seharusnya bersifat demokratis dan kolektif-kolegial, justru diputuskan secara personal oleh ketua umum, sehingga melahirkan kekecewaan yang luas di semua tingkat kepengurusan partai, mulai tingkat pusat hingga tingkat daerah.

Kepemimpinan cenderung otoriter ini terutama mulai melembaga ketika Suryadharma Ali kembali menjadi Ketua Umum PPP terpilih hasil Muktamar VII di Bandung (2011- 2016).

Konflik Bermula

Sebelumnya, pada periode 2007-2011, SDA sudah memimpin PPP selama lima tahun, menggantikan Hamzah Haz, ketua umum sebelumnya.

Namun kepemimpinan SDA periode pertama relatif belum ada masalah. Berbagai persoalan muncul saat SDA memimpin PPP pada periode kedua.

Keputusan-keputusan strategis partai seperti pilihan koalisi menjelang Pilpres 2014, juga perombakan pengurus DPP PPP, dilakukan sendiri tanpa melibatkan pengurus pusat lainnya.

Puncak pertikaian internal PPP terjadi saat kubu Sekjen PPP hasil Muktamar Bandung menggelar Muktamar PPP di Surabaya pada pertengahan Oktober 2014, dan kubu SDA juga menggelar Muktamar PPP di Jakarta beberapa hari kemudian, sehingga terjadi dualisme kepemimpinan PPP yang berlangsung hingga 2016.

Ketika partai belum sepenuhnya pulih dari suasana konflik, dan konsolidasi internal pun belum tuntas dilakukan, musibah lain tiba-tiba datang menerjang, ibarat tsunami politik yang tak pernah terduga sebelumnya.

Betapa tidak, Ketua Umum PPP hasil Muktamar Islah pada 2016 Muhammad Romahurmuziy (Rommy) tertangkap dalam suatu operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK di Surabaya, Jawa Timur.

Romi yang dalam beberapa waktu sebelumnya begitu akrab dengan Presiden Jokowi, ditetapkan sebagai tersangka kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama.

Kasus Rommy yang terungkap beberapa saat menjelang Pemilu 2019, benar-benar menjadi pukulan berat dan bahkan bencana bagi partai ini. Seperti dikonfirmasi oleh sejumlah survei publik menjelang Pemilu 2019, citra dan popularitas PPP merosot, sehingga diduga kuat sulit bagi partai ini lolos dari ambang batas DPR sebesar 4 persen.

Namun perkiraan lembaga-lembaga survei tersebut tampaknya meleset karena PPP masih mampu lolos dari syarat ambang batas parlemen dengan perolehan suara yang jauh merosot dibandingkan lima tahun sebelumnya.

Masa Depan PPP

Sejauh mana peluang dan masa depan PPP? Apakah partai Islam tertua ini masih mampu bertahan di panggung politik nasional? Bagaimana pula dengan parpol Islam dan berbasis massa Islam lainnya? Tentu banyak faktor yang menentukan masa depan PPP khususnya dan partai-partai Islam pada umumnya.

Dalam konteks PPP, seperti disinggung sebelumnya, daya tahan parpol yang sebelumnya merupakan hasil fusi partai-partai Islam turut ditentukan oleh kemampuan para elite partai membangun tata kelola partai yang tidak hanya demokratis, tetapi juga kepemimpinan kolektif-kolegial di dalam internal partai.

Akar Masalah

Bagaimana pun sebagian sumber konflik kepemimpinan di dalam tubuh PPP dipicu oleh melembaganya kepemimpinan otoriter yang mengabaikan watak dan karakter dasar partai sebagai partai umat yang egaliter.

Faktor penting lain saya kira adalah kegagalan PPP dalam merumuskan ulang esensi serta format kehadirannya sebagai partai Islam dalam pentas politik nasional pasca-Orde Baru.

Sementara itu dalam konteks kemerosotan yang umumnya dialami oleh partai-partai Islam dan berbasis massa Islam, ada banyak faktor yang melatarbelakangi, baik faktor internal maupun faktor eksternal.

Selain faktor konflik kepemimpinan seperti fenomena PPP, volatilitas elektoral partai-partai Islam dan berbasis massa Islam juga turut dipengaruhi oleh kegagalan merumuskan identitas diri, sehingga muncul kegamangan serta disorientasi ideologis di kalangan partai Islam dan berbasis massa Islam.

Dampak lebih jauh dari hal ini adalah, partai-partai Islam dan berbasis massa Islam bukan hanya acapkali tidak mampu merumuskan perbedaan mendasar di antara mereka dalam merespons realitas Indonesia kontemporer, tetapi juga kegagalan membedakan diri secara programatik dengan partai-partai nasionalis dan sekuler.

Sementara itu faktor eksternal di antaranya adalah faktor transformasi sosio-kultural yang dialami pemilih Muslim sejak era Orde Baru di satu pihak, dan semakin intensnya internalisasi nilai-nilai dan simbol Islam di kalangan partai-partai nasionalis di lain pihak.

Problematik partai-partai Islam dan berbasis massa Islam bertambah kompleks ketika sistem pemilu yang berlaku cenderung berorientasi pada popularitas figur ketimbang misalnya integritas dan moralitas calon pejabat publik.

Gabungan faktor-faktor tersebut, yang bisa saja berubah pada setiap pemilu, diduga menjadi sumber kemerosotan, atau sekurang-kurangnya stagnasi elektoral, partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu era reformasi.

Masa Depan Partai Islam

Kemerosotan dan stagnasi elektoral PPP dan partai-partai Islam serta berbasis massa Islam diduga kuat masih akan terus berlangsung pada pemilu-pemilu mendatang.

Dalam kaitan ini perlu kecerdasan para pemimpin politik Islam membaca arah perubahan sosial politik bangsa kita ke depan agar partai Islam dan berbasis massa Islam lebih responsif dan antisipatif menghadapinya.

Termasuk di dalamnya kebutuhan untuk merumuskan kembali format baru dan esensi kehadiran partai Islam dan berbasis massa Islam di dalam negara nasional yang berfondasikan Pancasila.

Oleh karena itu, tantangan dan peluang PPP dan partai-partai Islam serta berbasis massa Islam ke depan tidak harus dibaca semata-mata sebagai kemampuan memenangkan kompetisi elektoral atau meraih suara dan kursi terbanyak dalam pemilu.

Jauh lebih mendasar dari hal itu, tantangan yang dihadapi oleh para pemimpin politik Islam ke depan adalah bagaimana meningkatkan kualitas kehadiran dan kontribusi partai-partai Islam dan berbasis massa Islam dalam praktik demokrasi Indonesia agar tidak sekadar lebih etis dan beradab, melainkan juga lebih adil, berintegritas, dan berorientasi kepentingan rakyat.

Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana partai-partai Islam dan berbasis massa Islam bisa menjadi partner yang kritis, konstruktif, dan korektif bagi partai-partai nasionalis dan/ atau sekuler di dalam sebuah Indonesia yang religius dan berfondasikan keberagaman.

Karya yang Cemerlang

Kembali kepada buku ini, saya kira Saudara Achmad Baidowi tak hanya berhasil membuka mata kita tentang kisruh internal PPP yang berujung pada munculnya dualisme kepemimpinan, melainkan berbagai persoalan tata kelola partai lainnya yang akhirnya berdampak pada kinerja elektoral PPP yang semakin menurun.

Gaya penulisan yang lancar dengan bahasa yang lugas dan sederhana menjadikan buku ini bukan hanya menarik dan layak dibaca, melainkan juga perlu dimiliki oleh siapa pun yang ingin memahami seluk-beluk konflik dan krisis kepemimpinan PPP sehingga partai Islam tertua ini pada Pemilu 2019 yang lalu nyaris terlempar dari DPR Senayan.

Apresiasi juga patut diberikan kepada penulis buku yang mencatat dengan cukup rinci berbagai kasus dan peristiwa yang dialami PPP selama lima tahun periode krisis (2014-2019).

Catatan-catatan tersebut tidak hanya memberi gambaran yang utuh mengenai suatu kasus atau peristiwa, tetapi juga sangat bermanfaat untuk memahami anatomi kisruh dan konflik kepemimpinan, sehingga bisa menjadi bahan studi para peneliti dan peminat kajian tentang PPP pada khususnya dan kajian mengenai partai Islam pada umumnya.

Walaupun demikian, perlu segera dicatat, Saudara Achmad Baidowi adalah ”orang dalam” yang memiliki sikap dan posisi politik dalam konflik internal PPP.

Akibatnya, bagaimana pun tak terhindarkan acapkali ada nuansa subjektivitas di dalam penulisannya, meskipun saya percaya sang penulis telah berusaha menjaga jarak semaksimal mungkin.

Terlepas dari sedikit kelemahan itu, buku ini sangat berharga bagi pembelajaran partai-partai politik kita ke depan, agar demokrasi internal partai tidak sekadar menjadi slogan dan wacana, melainkan juga benar-benar dipraktikkan oleh segenap elite partai di dalam rutinitas kerja partai.

Oleh karena itu saya kira kita patut memberi apresiasi dan mengucapkan selamat kepada Saudara Achmad Baidowi, politisi muda dan cemerlang PPP, atas karya tulisnya yang sangat bermanfaat dan patut dibaca ini. 

(Prof. Dr. Syamsuddin Haris, Peneliti LIPI dalam pengantar bukunya)

Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!

Kata Mereka tentang Buku Ini

“Tulisan ini mengingatkan pada perjalanan PPP selama lima tahun yang cukup berat. Dokumen sejarah ini sangat penting untuk menjadi bahan renungan bagi kita semua. Di tulis oleh politisi muda PPP yang cukup berbakat, dan prestasinya di Pemilu 2019 cukup membanggakan dengan perolehan 227.170 suara berada di urutan 10 perolehan suara caleg secara nasional”.
Avatar Laki
Suharso Monoarfa
Plt Ketum DPP PPP
“Terbitnya buku ini patut diapresiasi, karena mengungkap sejarah perjalanan PPP dalam kurun waktu 2014-2019. Buku ini semakin menambah referensi tentang partai politik khususnya Partai Persatuan Pembangunan”
Avatar Laki
Zainut Tauhid S.
Wakil Menteri Agama RI
“Penulis buku ini merupakan salah satu saksi sejarah dinamika perjalanan PPP selama lima tahun terakhir. Fakta-fakta yang tulisanya secara rapi dan detail cukup membantu bagi siapapun yang ingin melihat perjalanan PPP 2014-2019 dari persepektif orang dalam”
Avatar Laki
Arsul Sani
Wakil Ketua MPR RI
“Ada banyak persoalan yang harus saya hadapi, dari persoalan lapas sampai mengurusi partai politik yang suka berkelahi. Waktu menghadapi permasalahan Golkar dan PPP saya agak pusing juga, tetapi saya yakin Tuhan tidak membiarkan saya berjalan sendirian. Jika saya berpegang teguh pada Tuhan, saya bisa menghadapi segala permasalahan yang ada,"
Avatar Laki
Yasonna H Laoly
Menkumham RI

DAFTAR ISI

Bab 1

Riak-Riak Konflik (Berdiri di panggung lain, Langkah emosional, Akar masalah berebut rekomendasi capres, pilih masuk pemerintahan, ada dua muktamar, Surabaya dan Jakarta)

Bab 2

Akhirnya Berseteru (Akar rumput tetap bersatu, para muallaf politik dadakan)

Bab 3

Upaya Menuju Ishlah (Para sesepuh inginkan ishlah, bara kembali berkobar, muktamar ishlah, belajar dari pengalaman, masalah selalu bisa diselesaikan)

Bab 4

Berujung di Pengadilan (Berbagai upaya mediasi ishlah, berseteru jalur pengadilan, PPP sah milik Romahurmuziy)

Bab 5

Menyusun Kembali Kejayaan PPP (Menyusun kembali kejayaan PPP, trilogi pemenangan PPP, harapan dari kantor Tebet, upaya membangun rekonsiliasi, membangun wajah muda PPP)

Bab 6

Menjawab Narasi Partai Penista Agama (PPP kembali ditimpa musibah, kompak mempertahankan PPP, bangkit kembali dan berhasil masuk parlemen, mukernas perkuat komitmen, PPP ditinggal Mbah Moen)

Spesifikasi Buku

Cetakan I November 2019; xx + 184 hlm, ukuran 13,5 x 20 cm, kertas isi Bookpaper 57,5 gram hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.

Harga Buku

Sistem penjualan buku ini adalah print on demand. Buku hanya akan dicetak ketika ada pemesanan. Butuh waktu +- 3 hari setelah pembayaran. Harga belum termasuk ongkos kirim

Rp120.000

Rp95.900

Tentang Penulis

Ach. Baidowi

Anggota DPR RI sejak 28 Juli 2016 menggantikan Fanny Safriansyah (Ivan Haz). Pada Pemilu 2014 memperoleh 82.052 suara dan menempati urutan 5 perolehan suara terbanyak caleg PPP secara nasional. Perolehan suaranya meningkat menjadi 227.170 suara pemilu 2019 dan menempati urutan 1 perolehan suara caleg PPP, serta masuk 10 besar perolehan suara terbanyak caleg yang lolos ke DPR.