MENGADAPTASI KEDISIPLINAN: Membaca Dulu, Menulis Kemudian, Sebelum Dibumihanguskan Cicilan
Karya ini merupakan refleksi personal mengenai tiga hal dalam dunia akademik; membaca, menulis, dan inspirasi berkarya. Ketiga hal tersebut merupakan aktivitas keras kepala yang saling terkait dan wajib untuk dipraktekkan terus-menerus bagi mereka yang ingin menekuni kerja-kerja intelektual/akademisi.

JALAN PANJANG DUNIA AKADEMIK
Sejak meyakinkan diri menjadi sarjana dalam bidang ilmu sosial dan humaniora, khususnya peneliti, harapan dan kekecewaan sering kali muncul dalam pikiran dan perasaan saya. Harus diakui, dibandingkan dengan penghidupan sebelumnya, baik menjadi guru dan bekerja di LSM, menjadi peneliti saat ini membuat ekonomi saya perlahan-lahan membaik.
Mengapa demikian? Karena saya bisa membeli barang-barang yang sebelumnya sulit saya dapatkan. Apalagi, ini yang terpenting, menjadi peneliti membuat saya bisa membeli properti rumah. Meskipun dengan cara mencicil selama 15 tahun melalui gaji bulanan yang rasanya tidak cukup.
Namun, saat merasa yakin dan harapan itu tumbuh, beragam kekecewaan saya temui. Kekecewaan ini sering kali membuat saya ingin menarik mundur dalam dunia kesarjanaan dengan meriset, membaca, menulis, dan kemudian menerbitkan karya.
Kekecewaan ini semakin bertambah setelah tahu betapa mengkhususkan diri untuk fokus pada karya publikasi internasional sering kali tidak mudah, baik dari segi emosi, pikiran, maupun uang.
Ada banyak rangkaian mengapa sebuah karya bisa layak terbit atau tidak. Sementara perlu menempuh proses jalan panjang berliku. Sebagaimana diketahui, menyelesaikan satu makalah saja itu merupakan perjuangan yang meletihkan.
Namun, ketika sudah selesai, saya harus mengirimkan draft tersebut ke jurnal internasional yang saya tuju. Ketika sudah dikirimkan, apabila dianggap layak, maka akan lanjut dalam proses tinjauan sejawat yang membutuhkan waktu 1—3 bulan.
Di tengah rasa letih dan jenuh tersebut, saya berhadapan dengan pragmatisme akademik yang melakukan perselingkuhan dengan politik. Akhir-akhir ini, hal tersebut sangat mudah dilakukan oleh institusi perguruan tinggi dengan memberikan gelar Guru Besar, Dr Honoris Causa, dan Profesor Kehormatan.
Jika dirunut ke belakang, tidak ada karier cemerlang dalam bidang akademik yang disematkan dengan gelar tersebut. Hanya karena mereka orang ternama sehingga dianggap layak mendapatkan gelar kehormatan tersebut.
Tentu saja, di balik itu, ada informalitas politik di balik meja yang kita tidak tahu apa permainan sebenarnya. Yang jelas, relasi kekuasaan sekaligus kehormatan dengan gelar ini memiliki irisan kuat yang saling menguntungkan.
Dari pihak akademik, saya berhadapan dengan upaya mengejar Scopus sebagai jalan satu-satunya tampuk kualitas karya seseorang. Satu sisi, mengejar industri Scopus sebagai bagian dari pasar akademik sah saja.
Di sisi lain, memanfaatkannya sebagai sumber penghasilan bisa mengancam etika dan komitmen akademik akademisi, termasuk peneliti. Lebih lengkapnya bisa dibaca dalam buku ini! (Dinukil dari Pengantar Penulis dalam Bukunya).
Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!
DAFTAR ISI


Spesifikasi Buku

Cetakan I, November 2023; 160 hlm, ukuran 14 x 20 cm, kertas isi Bookpaper hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.
Harga Buku
Sebelum melakukan pembayaran, cek ketersediaan stock kepada admin. Jika buku out of stock pengiriman membutuhkan waktu – 3 hari setelah pembayaran.
Rp100.000
Rp 84,200
Tentang Penulis

Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Pusat Penelitian Masyarakatan dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PMB-BRIN). Lulusan alumnus Madrasah Muallimin Muhammadiyah ini menempuh Pendidikan S1 di Jurusan Pendidikan Agama Islam, Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003). Ia kemudian meneruskan jenjang Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan mengambil tema tesis yang kemudian diterbitkan oleh Syarikat Indonesia, “Menggadaikan Ingatan: Politisasi Islah di Kalangan Korban Priok (1984)”. Untuk menguatkan Studi Politik Ingatan dan Kekerasan, ia mengambil S2 kembali dengan bidang studi International Peace Studies, University for Peace (2010), Costa Rica. Studi ini yang membawanya melakukan riset perbandingan Indonesia dan Filipina di bawah rezim otoriter melalui program Asian Public Intellectual (API), Nippon Foundation (2011-2012). Bekerja di BRIN sebagai Peneliti Senior, sejak tahun 2010 ia memfokuskan studi dan riset mengenai Islam, Kekerasan, Budaya Populer, Platform Digital, dan Sosiologi Pengetahuan. Saat ini, ia sedang menempuh jenjang S3 di Kajian Melayu, National University of Singapore (NUS). Selain buku dan bagian buku (book chapter), sejumlah hasil risetnya diterbitkan oleh jurnal terakreditasi nasional dan international.