KENAPA HARUS MONDOK?
Buku ini menjadi sumbangsih dalam khazanah pemikiran Islam dan bernilai dakwah mensyiarkan kalimat Allah subhanahu wata’ala.

Literasi Santri
Membincang santri, fokus pikiran kita akan berhalusinasi membayangkan sosok anak-anak muda berbusana muslim di lingkungan religius, lepas dari hingar bingar kemolekan kebebasan dan keprihatinan hidup yang sarat. Pandangan lumrah semacam ini tidak serta merta menutup kemungkinan kaum santri untuk tetap berbahagia. Dengan segala kesederhaan hidup yang dimilikinya, mereka tetap berusaha eksis tersenyum dan tertawa-tawa dengan keseruan dunianya. Lingkungan hidup pesantren di mana mereka menjalani hidup menawarkan banyak hal seru di mana mereka bertemu kelompok sosial pertemanan ‘bersih’ yang perlahan mampu menumbuhkan kedewasaannya.
Pembelajaran mendetail terkait subtansi agama yang mendalam mengkarakterkan sikap sosialisasi yang agamis dalam perjalanan kehidupan santri. Dalam hal ini sistem pergaulan hidup yang istimewa baiknya terpatri dalam menjalin hubungan sosial antar santri dengan lingkungan sekitarnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya beberapa oknum santri yang ‘ugal-ugalan’ ketika tampil di masyarakat, sebagai implementasi atas keterkurungannya ketika menjalani hidup di sel-sel pesantren. Namun, dalam lubuk hati mereka tentu membenarkan bahwa perilaku kurang lurus yang dilakukannya adalah menyimpang. Anggaplah bahwa hal tersebut dilakukan sebagai wujud ingin mencari perhatian, sebagai efek samping atas kelabilan usianya.
Terlebih bagi kaum santri muda. Padahal tidak semua santri berusia muda. Sejak dilegalkannya oleh pemerintah sebagai bagian dari pendidikan fakultatif akumulatif berbasis tradisionalis yang sebenarnya telah jauh bereksistensi sebelum munculnya sistem pendidikan modern dan dibuktikan diadakannya hari santri nasional, muncul pulalah banyak kelompok masyarakat yang turut ingin keberadaannya diakui sebagai santri tanpa perlu terlebih dahulu mondok di pesantren.
Salah seorang tokoh masyhur mengeluarkan pernyataan yang mencoba mendinginkan aspirasi masyarakat melalui perkataannya “Setiap yang bersifat dan bersikap ‘ala santri adalah santri”, dan kemudian dipersempit oleh keterangan KBBI yang mendefinisikan santri sebagai orang saleh dan bersungguh-sungguh dalam beribadat. Perlu ada revisi atas informasi yang disampaikan oleh KBBI karena harus diakui memang bahwa tidak semua santri adalah saleh. Titik.
Muda milenial sendiri banyak dita’rif sebagai kaum generasi now yang lahir pada era 2000-an. Secara bahasa, milenium diartikan sebagai durasi waktu seribu tahun dan kita sudah memasuki paruh kedua sejak digunakannya sistem penanggalan masehi.
Istilah milenium sendiri jauh sebelum booming dan viralnya di media masa, sebenarnya telah diperkenalkan oleh salah satu grup kasidah Nasida Ria asal Semarang dalam bait lantunan lagunya yang menyatakan bahwa tahun dua ribu adalah tahun harapan.
Generasi milenial diharapkan mampu membawa banyak perubahan seiring dengan berkembangnya media teknologi yang super cepat dan kini memasuki era revolusi industri 4.0. mereka memiliki peluang yang besar dalam berkreatif dan inovatif menciptakan hal-hal baru yang mampu memberikan banyak kemanfaatan bagi lebih banyak manusia di dunia. Tak terkecuali santri. Keberfokusannya terhadap dunia pendidikan membuka peluang yang besar bagi kemaslahatan umat pada zamannya. Mereka berkesempatan besar dalam menuangkan segala pengetahuan yang telah didapatkannya selama menjalani studi di pesantren dan peran media menawarkan banyak kemudahan dalam merealisasikannya.
Bidang yang sangat mungkin ditekuni santri adalah dunia literasi, tradisi membaca dan menulis, sebagaimana yang telah ditauladankan oleh guru-guru santri sejak tempo dulu kala. Jadi, sebenarnya harus diakui bahwa tradisi berliterasi telah diamalkan oleh orang-orang saleh zaman baheula dan tugas santri hanyalah kembali menggiatkannya.
Tak terkira betapa perjuangan para ulama tempo dulu sehingga kemanfaatannya dapat dirasakan oleh generasi selanjutnya, hingga kini masanya. Sebutlah Imam Suyuthi, pengarang buku dalam beberapa fan ilmu sekaligus. Ada sumber yang mengatakan bahwa beliau telah mampu menghasilkan sejumlah 561 judul buku dalam kurun waktu 62 tahun hidupnya. Di samping kesibukan aktifitas ibadahnya, beliau juga turut menjadikan menulis sebagai ritual yang dilakukannya sebagai ibadah mengajarkan petikan-petikan ajaran Islam. Jika bukan dalam rangka menghimpun keuntungan untuk diri pribadinya, maka niatkanlah sebagai wadah wujud realisasi untuk saling memberi nasihat dan motivasi kepada diri sendiri dan sesama.
Tak terhitung saksi sejarah berupa tulisan yang masih apik dijumpai hingga saat ini. Berjilid-jilid buku berisikan banyak informasi mengenai banyak hal terkait seluruh problematika kehidupan dapat kita didapatkan berkat ketekunan para penulis buku. Sepandai apapun seseorang, selagi dia tidak memenakan pemikirannya, maka pengetahuannya hanyalah angin lalu, karena eksistensi seseorang dapat dikenal melalui catatan tinta-tinta sejarah.
Santri, terlebih yang telah menyandang gelar maha dengan berbagai keluasan akses penggunaan media informasi yang sedemikian luasnya tentu memiliki potensi yang lebih mudah dalam meniru para pendahulunya terkait upaya penyebaran informasi yang menyehatkan, berguna dan tidak memperkeruh kondisi lingkungannya, lebih-lebih yang mampu memperjernih keadaan di sekitarnya. Untuk mewujudkan maksud dan tujuan yang mulia ini, PDF Ulya Al Fithrah memfasilitasi para santri untuk turut berliterasi.
Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!
DAFTAR ISI


Spesifikasi Buku

Cetakan I, Januari 2025; 148 hlm, ukuran 14 x 20 cm, kertas isi HVS hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.
Harga Buku
Sebelum melakukan pembayaran, cek ketersediaan stock kepada admin. Jika buku out of stock pengiriman membutuhkan waktu – 3 hari setelah pembayaran.
Rp 100.000
Rp 81,400
Tentang Penulis

Arif Muhammad Afandi

M. Riandri

Muhammad Fayruz Zam Zamy
