Keberlanjutan Fiskal dan Tingkat Bunga: Dampak Terhadap Inflasi dan Ekonomi Riil
Buku referensi ini disusun guna mengatasi dan menjawab kesulitan terutama yang berkaitan hasil penelitian tentang fiskal, tingkat bunga dan inflasi serta ekonomi riil.
Keberlanjutan Fiskal dan Tingkat Bunga: Dampak Terhadap Inflasi dan Ekonomi Riil
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter adalah kebijakan ekonomi makro terutama menyangkut stabilitas harga atau inflasi dan pertumbuhan ekonomi sektor riil sebagai contoh investasi dan konsumsi. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang efektif sangat penting untuk mencapai tujuan ekonomi makro.
Oleh karena itu para ekonom yang mendukung gagasan Keynes tentang kebijakan fiskal (melalui pengeluaran pemerintah dan pajak) dan kebijakan moneter (melalui suku bunga) adalah kebijakan stabilisasi makro ekonomi yang penting untuk mempengaruhi permintaan agregat dan aktivitas ekonomi.
Namun, kebijakan fiskal ekspansi juga memiliki dampak negatif terutama yang berkaitan dengan defisit anggaran yang terus-menerus. Dampak negatif ini termasuk kenaikan suku bunga dan inflasi domestik, yang akhirnya menyebabkan crowding out effect baik pada sektor investasi maupun defisit transaksi berjalan.
Kestabilan perekonomian suatu negara ditentukan oleh kebijakan fiskal dan moneter yang diambil dalam mengantisipasi shock yang terjadi dalam perekonomian. Interaksi kebijakan fiskal dan moneter terjadi sangat dinamis di dalam perekonomian di mana kebijakan moneter dapat mempengaruhi inflasi, dan mempunyai dampak terhadap hutang secara riil, dan selanjutnya fiskal dapat mempengaruhi sektor moneter.
Kebijakan Fiskal
Di sisi lain, kebijakan fiskal dan fluktuasi inflasi juga mempengaruhi tingkat konsumsi, permintaan agregat dan tingkat pengangguran Cazacu (2015). Kebijakan fiskal yang merupakan salah satu kebijakan dalam perekonomian yang dilakukan oleh pemerintah melalui instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Manajemen fiskal di bidang perencanaan anggaran menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan anggaran.
Ini karena strategi anggaran yang efisien merupakan prasyarat untuk keberlanjutan fiskal agar tidak terjebak pada defisit anggaran yang berkelanjutan, apalagi defisit fiskal yang sedang berlangsung akan berdampak negatif pada fluktuasi tingkat bunga nominal jangka pendek dan tingkat inflasi umum.
Hal ini karena fluktuasi tingkat suku bunga dan tingkat harga tidak dapat dicegah karena merupakan penghambat sistem ekonomi optimal, sementara ini juga akan menyebabkan ketidakpastian di sektor investasi dan konsumsi.
Moneter
Selain itu kebijakan moneter perlu menjadi perhatian, karena kebijakan ini merupakan alat stabilisasi kebijakan yang penting bagi negara. Implementasi kebijakan moneter khususnya melalui target agregat moneter atau suku bunga sering menjadi perdebatan baik kelompok Keynesian maupun Monetarist. Banyak perdebatan tersebut fokus pada apakah bank sentral di suatu negara harus menggunakan kebijakan moneter terutaman menerapkan tingkat bunga.
Target jangka menengah yang sesuai harus dilakukan karena akan merangsang tujuan ekonomi yang diinginkan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, pengangguran, neraca pembayaran serta tingkat bunga dan stabilitas pasar uang.
Pandangan Poole (1970) menjelaskan perbedaan ini dengan menggunakan pendekatan permintaan agregat, yaitu analisis melalui kurva IS-LM. Dia menunjukkan bahwa tingkat bunga paling baik digunakan sebagai target menengah jika terjadi guncangan permintaan uang yang lebih besar dari guncangan sektor riil (Kurva IS).
Sebaliknya, target agregat keuangan paling baik digunakan jika ketidakstabilan kurva LM lebih kecil dari guncangan kurva IS. Kebijakan fiskal melalui pembiayaan anggaran defisit memiliki keberlanjutan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan stabilitas.
Kebijakan anggaran defisit juga dapat mempengaruhi tabungan dan investasi negara yang seterusnya dapat mempengaruhi manajemen keuangan negara (Sheehey 1993; Petrovic 1994; Nunes & Stemitsiotis 1995; Ahmed dan Greene 2000; Hondroyiannis dan Papapetrue 2001).
Hal ini perlu menjadi perhatian bahwa pengeluaran pemerintah membutuhkan kehati-hatian manajemennya. Selain itu, anggaran defisit yang berkelanjutan dapat berdampak pada beberapa variabel ekonomi makro, seperti suku bunga dan inflasi yang akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi di masa depan (Nunes & Stemitsiotis 1995).
Selain itu pandangan ahli juga menyatakan bahwa kenaikan suku bunga karena adanya peningkatan defisit anggaran pemerintah. Ini karena pemerintah harus bersaing terutama sektor swasta untuk mendapatkan dana terutama.
Peningkatan suku bunga dalam jangka panjang karena defisit terjadi berterusan (A. Ghafar dan Mansor 2001). Sebagai contoh pertumbuhan ekonomi untuk Indonesia telah tumbuh 7,6%, Filipina 3,9%; Singapura 9,6% dan Thailand 10,1% pada 1987-1994.
Angka ini lebih tinggi dari tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi di negara berkembang lainnya. Meskipun krisis ekonomi, pemerintah mampu melakukan pemulihan ekonomi yang cepat. Keberhasilan ini disebabkan oleh struktur nasional yang kuat dan didukung oleh efisiensi dalam manajemen keuangan pemerintah serta strategi kebijakan ekonomi baru dan berbagai rencana dan kebijakan ekonomi lainnya yang dilaksanakan.
Selanjutnya, tingkat inflasi rata-rata naik dari 2,6% (1987-1994) menjadi 2,7% (1995-2002). Di Indonesia, tingkat inflasi turun dari 6,3% (1987-1994) menjadi 6,7% (1995-2002). Sementara untuk negara-negara Singapura, tingkat inflasi ratarata meningkat 1,8% selama periode 1987-1994 menjadi 1,9% selama 1995-2002, dan Thailand dengan tingkat inflasi 4,5% (1987-1994) menjadi 4,7% (1995-2002).
Namun demikian, peningkatan defisit yang digunakan untuk memberikan stimulus fiskal tidak sepenuhnya dapat terealisasi sebagaimana yang direncanakan. Hal ini ditunjukan melalui realisasi defisit tahun 2008 dan 2009 yang lebih rendah dari yang ditargetkan, yaitu hanya sebesar 0,1 persen dan 1,6 persen terhadap GDP.
Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa komponen pendapatan negara yang akan mengalami penurunan akibat krisis global justru menunjukan peningkatan, dan melampaui target, sementara di sisi belanja negara, beberapa pos pengeluaran tidak dapat diserap seluruhnya sebagaimana yang diperkirakan (Ratnah S. 2015).
Pada kurun waktu tahun 2008, fluktuasi harga minyak dunia mempengaruhi naik turunnya pendapatan dan belanja Keberlanjutan Fiskal dan Tingkat Bunga — 5 pemerintah. Saat harga minyak naik dari 90 USD/barel menjadi 95 USD/barel, pendapatan pemerintah ikut naik menjadi Rp 107,7 triliun dari Rp 90,7 triliun.
Namun, disamping itu belanja pemerintah juga ikut naik karena naiknya harga minyak dunia mengakibatkan naiknya belanja pemerintah untuk minyak (BBM) dan ditambah lagi dengan naiknya subsidi untuk bahan energi. Pada akhirnya, kenaikan harga minyak akan menjadikan defisit APBN ikut meningkat.
Anggaran defisit yang berterusan dapat mempengaruhi fiskal suatu negara, terutama ketika negara tersebut sedang mengalami penurunan aktivitas ekonomi, sehingga akan berdampak penurunan penerimaan terutama dari sektor pajak. Oleh karena itu pemerintah harus mencari sumber pendapatan lain selain pajak yaitu melalui hutang.
Namun untuk membiayai hutang baik luar negeri maupun dalam negeri akan tergantung kepada suku bunga. Namun bagi negara yang mempunyai tingginya rasio hutang tidaklah tepat yang akan menjadi beban peningkatan hutang yang lebih tinggi bai negara. Keynes (1923), berpendapat bahwa pemerintah dapat secara sengaja atau tidak sengaja mendapatkan keuntungan dengan menurunkan mata uang mereka sebagai akibat dari inflasi.
Inflasi
Dengan kata lain jika terjadi peningkatan jumlah uang maka akan menimbulkan dampak inflasi. Sedangkan jika orang terus memegang uang, maka nilai uang riil akan mengalami penurunan. Tingkat inflasi yang tinggi dari cetak uang meningkatkan pendapatan pemerintah dan juga mengurangi nilai riil dari pembayaran hutang dalam negeri.
Hasil cetak uang akibat terjadinya inflasi maka ada manfaat fiskal akibat inflasi yang disebut pajak inflasi (inflation tax). Terjadinya peningkatan inflasi pemerintah secara implisit dapat menambah pendapatan pajak. Manfaat fiskal atau pajak implisit ini dikenal sebagai pajak inflasi.
Inflasi itu diperlukan tidak hanya untuk menghasilkan pendapatan dalam bentuk pajak inflasi, tetapi juga untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini karena ketika jumlah uang beredar meningkat, suku bunga turun dan investasi meningkat. Pembiayaan melalui pencitaan uang sebagai sumber pembiayaan defisit terutama terjadi di negara-negara Eropa Timur pada awal transisi dari sistem ekonomi perencanaan pusat ke ekonomi pasar Korosteleva (2007). Peningkatan inflasi akan berdampak kepada peningkatan tingkat bunga nominal domestik.
Menurut Fisher ini akan berdampak kepada peningkatan aliran modal masuk. Akibatnya, harga obligasi dan aset keuangan lainnya juga meningkat yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi.
Ketika ini terjadi, maka penerimaan pajak dan stabilitas fiskal juga meningkat dalam jangka panjang (Roubini dan Sala-IMartin 1992, Mc.Kinnon 1973, Shaw 1973). Krisis keuangan yang dihadapi negara memberikan indikasi yang jelas dengan perlunya keberlanjutan ekonomi, tetapi menghadapi ketidakpastian.
Oleh karena itu, manajemen ekonomi makro yang kuat adalah hal yang penting untuk menghindari ketidakseimbangan dan berkontribusi pada penguatan keberlanjutan ekonomi serta meningkatkan daya saing. Krisis ekonomi yang teerutama formulasi masa lalu, jika diperlukan untuk mencapai kesuksesan masa yang akan datang.
Kebijakan fiskal melalui pembiayaan anggaran defisit, negara Indonesia telah berhasil merangsang kegiatan ekonomi setelah krisis keuangan tahun 1997. Keberhasilan ini membuktikan bahwa kebijakan fiskal melalui anggaran defisit memiliki keberlanjutan yang kuat untuk mencapai stabilitas ekonomi. Namun, defisit fiskal masih tergantung pada sumber pendanaan pemerintah untuk membiayai peningkatan pengeluarannya.
Untuk memastikan keberlanjutan fiskal jangka panjang, diperlukan strategi efisiensi biaya agar tidak masuk dalam defisit anggaran konstan. Ini karena defisit anggaran yang sedang berlangsung akan menyebabkan kenaikan hutang pemerintah yang dapat mempengaruhi stabilitas fiskal.
Buku ini dapat menjawab kesulitan Anda dalam mempelajari fiskal, tingkat bunga dan inflasi serta ekonomi riil.
Era globalisasi menuntut para generasi muda lebih aktif dalam berbagai hal. Buku ini dapat dijadikan referensi penelitian dan sumber ilmu dalam mempelajari Fiskal dan Tingkat Bunga dalam menghadapi dampak globalisasi yang bersumber dari tuntutan internal maupun eksternal.
Kenapa Kamu Harus Membaca Buku Ini ?!
- Pembahasan dalam buku ini masih sangat langka
- Buku ini menyajikan informasi yang baru, khususnya tentang keberlanjutan fiskal dan tingkat bunga
- Ditulis oleh penulis yang sangat konsern di bidangnya
- Cocok untuk mendalami isu kebijakan fiskal
- Mudah dipahami karena ditulis dengan bahasa yang aplikatif
- Memiliki informasi yang sangat kaya karena menggambarkan kondisi riil
Harga Khusus untuk Pembelian Pre-Order!
DAFTAR ISI BUKU
Informasi Buku: Cetak I April 2020 | Ukuran 15×23 cm | xiv + 152 hlm | Kertas isi CVS 70 gram | Finishing jilid lem panas dan shrink (bungkus plastik)
- PENDAHULUAN
- BAB I KEBIJAKAN FISKAL, INFLASI DAN EKONOMI RIIL
- BAB II KEBIJAKAN DAN KEBERLANJUTAN FISKAL
- BAB III HUBUNGAN KEBERLANJUTAN FISKAL DENGAN VARIABEL MAKRO EKONOMI
- BAB IV TINGKAT BUNGA DAN INFLASI
- BAB V PENUTUP
Harga Spesial Pre-Order!
Buku tidak memiliki stock cetakan. Buku hanya akan dicetak saat ada pembelian.
135,000
Rp108,300
- Harga belum termasuk ongkos kirim
- Jaminan kualitas (cetakan cacat/reject)
Tentang Penulis Buku
Antoni, S.E., M.E., Ph.D.
Menyelesaikan studi S1 di Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Bung Hatta Padang pada tahun 1988/89. Pada
tahun 1997/98 menyelesaikan S2 Jurusan Ilmu Ekonomi dengan konsentrasi Ekonomi Publik pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Jakarta.
Pada tahun 2009 menyelesaikan S3 bidang Public Finance di Fakulti Ekonomi Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Sejak tahun 1992 sampai sekarang tercatat sebagai dosen tetap dengan pangkat Lektor Kepala (750 kum) di Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Bung
Hatta yang mengampu mata kuliah Ekonomi Publik, Statistika, Ekonometrika, Matematika Ekonomi, Metode Kuantitatif, dan Metodologi Penelitian.