MANIFESTO ISLAM CINTA Kemanusiaan, Keadilan, dan Keadaban

Buku ini berisi refleksi mengenai berbagai persoalan yang muncul di masyarakat. Refleksi harian atas gejala yang muncul di tengah masyarakat ini membutuhkan ragam cara pandang sebagai sebuah solusi. Dan solusi atas berbagai persoalan itu adalah meneguhkan Islam sebagai agama cinta.

Islam itu Cinta

Islam itu selamat. Islam itu cinta. Inilah esensi agama. Haidar Bagir (2017) sembari mengutip Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan bahwa agama itu cinta dan cinta itu agama. Saat semua orang ternaungi cinta, maka alam akanmenyambut dengan penuh rahmat. Alam akan menjadi subur dan penuh kesejutan karena terpancar radiasi cinta dari umat manusia. Radiasi cinta akan menumbuhkan dan menghidupkan yang layu dan mati.
Islam dengan demikian mempunyai tanggung jawab lebih dalam mewartakan kedamaian dan ketenteraman di muka bumi. Hal ini dikarenakan, Islam merupakan agama rahmatan lil alamin (cinta untuk seluruh semesta). Ketika Islam tidak mampu mewujudkan dirinya sebagai rahmatan lil alamin, berarti ia kehilangan sebagian besar ruh yang ada di dalam dirinya.
Islam harus menjadi garda depan dalam pencerahan dan peradaban bangsa dan negara Indonesia. Islam bukanlah sekte yang terkotak-kotak atau dikotak-kotak. Islam dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005) harus tampil dengan wajah yang anggun, inklusif, dan mampu turut serta dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan wajah ini diharapkan persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial dapat diselesaikan dengan baik dan bijak.
Namun mengapa hingga kini Islam belum mampu berwujud seperti hal tersebut? Menurut Pendekar Chicago—meminjam istilah Gus Dur—ini, klaim besar Islam dalam sejarah yang belum terwujud mendekati maksimal dalam peradaban manusia sekarang. Masyarakat Islam masih saja disibukkan dengan urusan internnya (organisasi) sendiri-sendiri. Mereka masih garang bahkan saling serang antarsatu dengan yang lainnya.
Umat Islam masih berjibaku dengan urasan akhirat dan melupakan urusan dunia. Padahal menurut Jalaluddin Rumi, siapapun yang mengaku dapat berjalanan di langit, mengapa harus sulit baginya melangkah di bumi. Ini berarti, umat Islam tidak boleh hanya berkutat pada urusan surga dan neraka. Sudah saatnya umat Islam juga berdebat bagaimana memakmurkan bangsa dan negaranya.
Perdebatan memakmurkan bangsa dan negaranya perlu didasarkan pada nilai hakiki Islam yaitu cinta. Seperti, Abu Manshur al-Hallaj, Abu Hamid al-Ghazali, Muhyiddin ibn Arabi, Jalal an-Din al-Rumi, al-Junaid, Abd al-Qadir al-Jailani, Ibn Atha’ilaah al-Sakandari, Ibn Rusyd al-Hafid, Imam Fakhr al-Din al-Razi, yang semuanya adalah para penganut keberagamaan esoteris yang melihat agama dengan pandangan substantif. Mereka membaca teks-teks suci keagamaan dan memberinya makna yang terdalam. Mereka melihat bahwa teks-teks al-Qur’an memiliki sejuta makna. Kehendak Tuhan pastilah tak terbatas.
Bagi mereka, semua agama, meskipun namanya berbeda-beda, adalah jalan menuju Tuhan Yang Esa. Semua agama membimbing manusia menuju Cinta Tuhan Yang Satu itu, meskipun ritual-ritual dan cara-cara mengekspresikan cinta itu berbeda-beda.
Menurut para cendekiawan raksasa tersebut. Tidak ada persaudaraan sejati kecuali persaudaraan yang di dalamnya menghimpun semua prinsip kemanusiaan universal. Tidak ada manusia paripurna, kecuali manusia yang pikirannya melampaui sekat-sekat geografis; manusia yang menyatu dalam kemanusiaannya dalam seluruh zaman; lampau, kini, dan nanti.
Tidak ada kode moral yang lain kecuali cinta. Meski mungkin terdapat sejumlah kode moral yang dianut manusia, namun kode moral paling fundamental adalah cinta. Ia adalah sumber dari seluruh kode moral. Ini karena Tuhan juga ingin dicinta sebagaimana diungkapkan sebuah Hadis Quqsi, “Kuntu Kanza Makhfiyyan. Fa Ahbabtu an U’raf. Fakhalaqtu al-Khalq fa Biy’Arafuni” (Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin sekali dikenal. Maka, Aku ciptakan alam semesta. Berkat Aku, mereka mengenal-Ku”. (Muhammad, 2011).
Moralitas cinta perlu menjadi dasar bagi siapa pun terutama umat Islam dalam laku. Laku cinta inilah yang akan mewujud dalam belas kasih. Berakar dalam tekad yang berprinsip mengatasi keegoisan, belas kasih dapat menembus batas-batas politik, dogmatis, ideologi, dan agama. Lahir dari saling kebergantungan kita yang mendalam, kasih sayang adalah penting bagi hubungan manusia dan bagi kemanusiaan yang paripurna. Ini adalah jalan menuju pencerahan, dan sangat diperlukan untuk penciptaan ekonomi yang adil dan komunitas global yang damai.
Karen Armstrong (2012) menyebut belas kasih sebagai Kaidah Emas, yang meminta kita untuk melihat ke dalam hati kita sendiri, menemukan apa yang membuat kita tersakiti, dan kemudian menolak, dalam keadaan apapun, untuk menimbulkan rasa sakit itu pada orang lain. Inilah esensi beragama. Dan inilah esensi Islam, sebagai agama cinta.
Buku ini ditulis untuk meneguhkan sekaligus mengukuhkan Islam sebagai agama cinta. Siapa pun yang mengaku dirinya Islam, wajib baginya untuk mewartakan dan bertindak atas nama cinta. Cintalah yang akan terus menyemai kebajikan di dunia ini. Melalui cinta kemakmuran dan keadilan akan mewujud.
Buku ini berisi refleksi mengenai berbagai persoalan yang muncul di masyarakat. Refleksi harian atas gejala yang muncul di tengah masyarakat ini membutuhkan ragam cara pandang sebagai sebuah solusi. Dan solusi atas berbagai persoalan itu adalah meneguhkan Islam sebagai agama cinta.

Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!

DAFTAR ISI

Daftar Isi 1
Dafatar Isi 2
Daftar Isi 3

Spesifikasi Buku

Cetakan I, Januari 2025;  170 hlm, ukuran 14 x 20 cm, kertas isi Bookpaper hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.

Harga Buku

Sebelum melakukan pembayaran, cek ketersediaan stock kepada admin. Jika buku out of stock pengiriman membutuhkan waktu – 3 hari setelah pembayaran.

Rp 100.000

Rp 86,600

Tentang Penulis

Benni Setiawan