THE JOURNEY KARA TUNGGA

Buku ini mampu membuka mata dan hati, memberi semangat baru, serta menguatkan langkah dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Perjalanan Hidup dan Cinta pada Batik

Buku The Journey Kara Tungga adalah kisah inspiratif tentang perjalanan hidup Puteri Widia, seorang mantan pramugari yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi dan menemukan makna baru dalam kehidupan melalui warisan budaya batik. Dari langit yang sunyi, ia “mendarat” pada sehelai kain penuh makna—batik—yang kemudian menuntunnya untuk membangun Kara Tungga, sebuah brand yang tidak hanya menjual kain, tetapi juga menyalakan kembali kebanggaan terhadap budaya Indonesia.

Perjalanan ini dimulai dari titik terendah, ketika kehilangan pekerjaan memaksa penulis menata ulang arah hidup. Dalam kesunyian, ia menemukan ketenangan melalui proses membatik—sebuah seni yang menuntut kesabaran dan ketulusan. Dari situ lahirlah keyakinan bahwa batik bukan sekadar kain bergambar, melainkan bahasa identitas, doa leluhur, dan karya cinta yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan filosofi “Urip iku urup”—hidup harus memberi cahaya bagi sesama—ia menamai karyanya Kara Tungga, yang berarti “Sinar yang Dimuliakan.”

Lewat kisah yang jujur dan penuh refleksi, buku ini menelusuri perjuangan penulis menghadapi keraguan, ejekan, dan tantangan di tengah arus modernisasi yang sering kali melupakan nilai tradisi. Ia memilih untuk tetap setia pada batik tulis di saat pasar dibanjiri produk instan, membuktikan bahwa nilai keaslian dan kesabaran tidak pernah usang. Setiap helai batik yang lahir dari tangan pengrajin Kara Tungga adalah simbol ketekunan, harapan, dan identitas bangsa yang tak lekang oleh waktu.

Bagian menarik dari buku ini adalah pertemuan Puteri dengan berbagai kesempatan yang mengubah arah hidupnya — dari mengikuti pameran nasional hingga bergabung dengan program JAWARA (Jagoan Wirausaha Jakarta) binaan Bank Indonesia. Melalui proses ini, Kara Tungga tumbuh menjadi lebih dari sekadar usaha: ia menjadi gerakan untuk melestarikan budaya dengan sentuhan modern, mengajak generasi muda mencintai batik dengan cara baru — ringan, elegan, dan penuh kebanggaan.

Pada akhirnya, The Journey Kara Tungga bukan hanya tentang perjalanan seorang perempuan menemukan kembali jati diri, tetapi juga tentang makna perjuangan, ketulusan, dan cinta terhadap budaya. Buku ini menyalakan kesadaran bahwa modernitas tidak harus menghapus tradisi, melainkan bisa berjalan beriringan. Lewat kisahnya yang hangat dan puitis, Puteri Widia mengajarkan bahwa setiap langkah kecil, bila dijalani dengan cinta dan keyakinan, dapat menjadi cahaya yang dimuliakan — seperti Kara Tungga itu sendiri.

Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!

DAFTAR ISI

Daftar Isi 1

Spesifikasi Buku

Cetakan I, Oktober 2025;  128 hlm, ukuran 14,8 x 21 cm, kertas isi Bookpaper hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.

Harga Buku

Sebelum melakukan pembayaran, cek ketersediaan stock kepada admin. Jika buku out of stock pengiriman membutuhkan waktu – 3 hari setelah pembayaran.

Rp 100.000

Rp 76,700

Tentang Penulis

Widia Saputri Puspita Sari

pendiri sekaligus direktur kreatif Kara Tungga, adalah sosok di balik setiap motif yang lahir dari keheningan dan ketekunan. Sebelum menjadi perancang dan penggerak brand batik peranakan ini, Puteri pernah mengabdi sebagai pramugari, menjelajahi dunia, menyaksikan bagaimana bangsa-bangsa lain begitu mencintai warisan budayanya sendiri. Dari langit dan jarak itulah benih Kara Tungga tumbu —dari kerinduan seorang anak bangsa untuk membawa pulang kebanggaan yang sama. Sejak berdiri, Kara Tungga menjadi wadah bagi Puteri untuk menulis ulang sejarah lewat warna dan lilin. Ia menggabungkan filosofi batik tulis klasik dengan keanggunan pastel peranakan menjadikan setiap kain bukan sekadar busana, tapi narasi lintas zaman—tentang cinta, akar, dan identitas. Bersama Bank Indonesia Jakarta, Kara Tungga menjadi bagian dari Program JAWARA dan Karya Kreatif Indonesia, melangkah dari ruang tradisi menuju panggung dunia—dari Pekalongan hingga World Expo Osaka 2025.Karya-karyanya telah dikenakan oleh menteri, kolektor, hingga para pencinta budaya dari negara tetangga. Namun bagi Puteri, pencapaian terbesar bukanlah pengakuan, melainkan ketika seseorang tersentuh dan berkata: “Saya merasa pulang, ketika memakai batik Kara Tungga.” Dalam setiap prosesnya, Puteri selalu percaya bahwa budaya tidak lahir dari masa lalu—ia lahir dari keberanian untuk menjaga maknanya di masa kini. Melalui Kara Tungga, ia ingin menunjukkan bahwa warisan bukan beban, tapi bekal; bukan nostalgia, tapi arah. “Saya percaya, jika kita bisa menjaga satu kain dengan cinta, maka kita juga bisa menjaga satu bangsa dengan harapan.”