Tulisan di belakang kaos yang dikenakan seorang pemuda saat mendengar khutbah Jumat itu membuatku mengarungi masa- masa silam. Lima tahun ke belakang. Tidak, tidak … bukan lima tahun ke belakang, satu—dua dasawarsa lalu, bahkan kembali ke masa kecil.

Ada wajah pak satpam kompleks yang selalu punya cerita yang ditunggu oleh kami, anak-anak saat itu. Darinya, aku belajar cara berinteraksi dengan anak-anak dengan cara yang menyenangkan. Ada wajah seorang teman SMP yang mengajariku cara berkomunikasi dengan perempuan. Ya, waktu itu aku memang bocah pemalu. Berdekatan dengan perempuan saja membuatku gemetar, apalagi mengajaknya bicara. Ah, masih banyak berlintasan wajah-wajah yang sudah tak teringat lagi namanya. Atau sebaliknya, muncul sebuah nama, tetapi lupa dengan wajah empunya. Semua itu menjadi bagian dari episode hidup yang mungkin salah satunya mempengaruhi peruntunganku.

Para pembaca buku ini mungkin juga mengalami hal yang sama, bertemu dengan orang-orang “biasa” yang ternyata turut serta mewarnai perjalanan hidup kita. Mitch Albom, pengarang buku The 5 People You Meet in Heaven, berkisah tentang seseorang yang bertemu dengan orang-orang yang tak ia sadari telah mengubah hidupnya. Ia bertemu dengan lima orang itu bukan di dunia, tetapi di alam baka.
Eddie, tokoh di buku itu yang merasa hidupnya di dunia tak berarti, dituntun oleh orang-orang yang pernah bertemu dengannya untuk menyusuri dan mengingat kembali kehidupannya dari kecil. Pada tiap-tiap episode kehidupannya saat bertemu dengan orang-orang itu, Eddie disadarkan bahwa dirinya cukup berharga. Orang-orang itulah yang turut mengubahnya, tetapi sayangnya saat itu Eddie belum memahami.

Tidak seperti Eddie yang baru paham setelah di alam baka, alih-alih beranjangsana ke alam sana, para penulis di buku ini menuliskan pengalamannya secara sadar bahwa orang-orang yang mereka tulis dalam buku ini sebagai sosok kenangan benar-benar turut mengubah jalan hidupnya. Karena ditulis berdasarkan pengalaman dan dari hati yang tulus, tulisan-tulisan tersebut dapat digunakan sebagai refleksi diri. Saat membaca naskah bertema ayah—ada , misalnya, membuatku mengenang sosok ayah yang telah tiada. Tentang perawakannya, tentang perilakunya, tentang cita-citanya, nasihatnya, dan lain-lain. Atau ketika membaca naskah tentang seorang teman, pikiranku langsung mengembara ke beberapa teman yang meskipun hanya bertemu singkat, ternyata menjadi wasilah perubahan nasib. Ah, memang benar kutipan di kaos pemuda itu bahwa orang-orang yang kita pernah bertemu memang dipersiapkan oleh-Nya untuk mengubah peruntungan—jika kita benar-benar berikhtiar untuk menyadarinya.