PIDANA MATI KORUPSI: Perspektif Hukum Positif dan Islam
Mengkaji tentang pemidanaan dan khususnya penerapan hukuman mati terhadap tindak pidana korupsi secara khusus, hati-hati, dan selektif.
KPK dan Korupsi
Ketika pengantar ini ditulis, ada dua pristiwa yang mengusik perhatian masyarakat Indonesia. Pertama, terjadinya peristiwa OTT KPK terhadap Gubernur Sulawesi Selatan (NA) yang diduga menerima suap dari seorang pengusaha pada mengerjakan suatu mega proyek di Sulawesi Selatan. Kedua, peristiwa yang tidak kalah menyentak, yaitu berita duka wafatnya seorang pendekar hukum anti korupsi, mantan hakim Agung yang disegani Artidjo Alkostar. Dua peritistiwa ini, seolah mewakili suasana batin penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Terjadi Lagi dan Lagi
Pada peristiwa pertama, memberikan gambaran bahwa tindak pidana korupsi terus terjadi meski tindakan telah banyak dilakukan dan putusan-putusan penerapan hukuman oleh pengadilan korupsi juga telah dijatuhkan. Bahkan sebelum itu, dua menteri utama dari Kabinet Indonesia Maju, era kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode ke-2, telah ditangkap KPK juga karena tuduhan melakukan tindak pidana korupsi.
Bahkan, salah satunya dikenakan tuduhan melakukan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) di era pandemi Covid-19. Sebuah ironi yang menyesakkan dada, bahkan menjadi penegas bahwa tindak pidana korupsi tidak mudah diberantas, ataupun dicegah. Bahkan lebih ditegaskan lagi, dengan hasil indeks persepsi korupsi Indonesia di tahun 2020 yang mendapatkan skor 37 dan berada di perikat 102 dari 180 Negara (Tranparansi Internasional Indonesia 2021),1 hal ini berarti ranking Indonesia mengalamai penurunan di mana tahun 2019, skor IPKnya adalah 40 dan berada di rangking 80 dari 180 negara.
Gugurnya Sang Pahlawan
Sedangkan pada peristiwa kedua, wafatnya mantan hakim agung Artidjo Alkostar, yang dikenal sangat tegas, progresif dan telah menjatuhkan hukuman yang berat pada para terdakwa tindak pidana korupsi yang pernah ditanganinya, seolah menandai hilangnya kekuatan anti korupsi yang menganut faham perlunya penerapan hukum yang tegas dengan penerapan hukuman yang berat. Bahwa korupsi harus dipandang sebagai tidak pidana yang berat dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Wafatnya hakim agung Artijo Arkostar, menjadi tanda alam akan memudarnya faham yang memandang korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, yang perlu penegakan hukum yang kuat dengan ancaman hukuman yang berat. Namun, optimisme penguatan pada faham ini, semoga tidak padam dan turut terkubur dengan wafatnya para pelopornya.
Korupsi di Indonesia
Legacy Artidjo Arkostar, mempertegas bahwa perlawanan terhadap korupsi di Indonesia tidak layak lagi menggunakan instrumen hukum biasa (konvensional), melainkan perlu cara yang luar biasa, dengan mengategorikan korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, di mana penanganannya juga dengan menggunakan instrumen, teknis, dan prosedural regulasi kejahatan kemanusiaan yang termasuk jenis pelanggaran HAM. Meskipun, seberat apapun hukuman pidana terhadap pelaku korupsi belum pernah diterapkan ancaman hukuman mati.
Sesungguhnya semangat anti korupi dan suburnya kejahatan korupsi di negeri ini tentu telah melahirkan berbagai efek negatif, bukan hanya terhadap negara, tapi juga terhadap masyarakat luas. Selain merusak kinerja birokrasi pemerintahan, kejahatan korupsi telah menyebabkan kehancuran yang luar biasa hebat bagi kelangsungan hidup bangsa, utamanya watak dan moralitas generasi bangsa ini selanjutnya. Artinya, tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannyaharus dilakukan secara luar biasa.
Mari Berbenah
Oleh karena itu, menarik mencermati karya saudara Tinuk Dwi Cahyani yang ada di tangan pembaca semua, bahwa kajian tentang pemidanaan dan khususnya penerapan hukuman mati terhadap tindak pidana korupsi, kajian serupa sudah banyak dikemukakan beberapa peneliti, namun kajian pemidanaan akan terus berkembang dan berkelanjutan. Buku ini, telah berusaha mengemukakan kajian pidana mati dari pendekatan hukum positif Indonesia dan hukum Islam yang mempunyai akar yang kuat di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Kajian ini dapat menjadi sumber literasi bagi mahasiswa, akademisi dan para praktisi hukum pidana, dalam menemukan format ideal konsep pemidanaan bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Perlu difahami bahwa secara yuridis formal, penerapan hukuman mati di Indonesia memang dibenarkan. Hal ini bisa ditelusuri dari beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat ancaman hukuman mati. Di luar KUHP, tercatat setidaknya ada enam peraturan perundang-undangan yang memiliki ancaman hukuman mati, semisal UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM, UU Intelijen dan UU Rahasia Negara. Selain itu, secara filosofis, penerapan hukuman mati juga diakui dan diakomodasi oleh konsep negara hukum Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia tetap eksis dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lebih dari itu, eksekusi hukuman mati di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat sejak era reformasi.
Meski Indonesia masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum positifnya, namun sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, negara Indonesia memberlakukan hukuman mati secara khusus, hati-hati, dan selektif.
(Mokhammad Najih, SH. MHum. Ph.D, Ketua Ombudsman Republik Indonesia dalam pengantar bukunya)
Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!
DAFTAR ISI
Bab 1
PENDAHULUAN (Hukuman Ringan Korupsi, Tujuan Penulisan Buku, Metode Penulisan Buku, Cara Menyajikan Buku)
Bab 2
KONSEP DASAR PIDANA MATI KORUPSI (Rumusan Pidana Mati, Menurut Fiqh Jinayah, Pidana Mati, Tindak Pidana Korupsi)
Bab 3
ANALISIS PIDANA MATI KORUPSI (Rumusan Ancaman Pidana Mati dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 tahun 2001, Pidana Mati Korupsi dalam Praktiknya di Indonesia, Problem Penegakan Hukum Pidana Mati Korupsi, Rumusan Ancaman Pidana Mati terhadap Tindak Pidana Korupsi Menurut Fiqh Jinayah)
Spesifikasi Buku
Cetakan I Maret 2021; xii + 86 hlm, ukuran 15,5 x 23 cm, kertas isi HVS 70 gram hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.
Harga Buku
Sistem penjualan buku ini adalah print on demand. Buku hanya akan dicetak ketika ada pemesanan. Butuh waktu +- 3 hari setelah pembayaran. Harga belum termasuk ongkos kirim
Rp120.000
Rp83.000
Tentang Penulis
Tinuk Dwi Cahyani, S.H., S.HI., M.Hum.,
dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Menamatkan S1 dan S2 di kampus yang sama masing-masing mengambil bidang ilmu syari’ah twinning program (S1 lulus 2008) dan ilmu hukum (S2 lulus 2010). Perempuan kelahiran Madiun ini telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) pada tahun 2008. Penulis juga pernah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Mediator Bersertifikat Pusat Mediasi Indonesia Universitas Gadjah Mada (2020).
Menjadi dosen sejak 2010, penulis telah mengemban berbagai amanah di lingkungan kampus maupun luar kampus. Menjadi tim kerja Lembaga Budaya Tahun 2015/2016 Universitas Muhammadiyah Malang (2015-2016); Ketua Majelis Hukum dan HAM (2015-2020); ketua lembaga konsultasi dan bantuan hukum (2015-2020); Instruktur Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (2009); Pembina Lembaga Semi Otonomi (LSO) Mahasiswa “Yudicial Watch” Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (2018-2019); Kepala Divisi Legal Drafting dan Dokumen Hukum Biro Hukum dan Kepegawaian (2016-2020).