Saat ini, seluruh bangsa di muka bumi menyadari dengan cemas keadaan sedang terjadinya kerusakan lingkungan hidup pada saat ini bila dibandingkan dengan masa-masa yang lampau. Bahkan, laju kerusakan lingkungan hidup ini, bilamana tidak diintervensi secara global dan serentak oleh setiap negara, terutama negara-negara industri, umat manusia dalam generasi berikutnya akan menghadapi krisis lingkungan yang berpotensi memusnahkan daya dukung kehidupan mereka di bawah kolong langit ini.
Saat ini tidak lagi masanya untuk saling menyalahkan dan menuntut siapa yang paling bertanggung jawab atas terjadinya krisis dan kerusakan lingkungan hidup. Sekalipun dikatakan bahwa krisis lingkungan hidup ini adalah implikasi dari filsafat, pemahaman dan paradigma keilmuan yang bekerja dan dikembangkan selama ini berbasiskan antroposentrisme,1 tapi hal itu tidak mengubah apa-apa selama tidak ada intervensi yang mengubah cara berfikir dan perilaku manusia. Seharusnya, bilamana telah disadari bahwa salah satu penyebabnya adalah filsafat dan paradigma antroposentrisme yang bekerja melingkupi setiap bidang keilmuan, maka filsafat dan paradigma tersebut seharusnya ditanggalkan dan diganti dengan paradigma yang ramah dan pro konservasi lingkungan yang lestari.
Di depan mata, kita dibayang-bayangi oleh masalah global warming, climate change, rusaknya lapisan ozon, dan punahnya beragam spesies akibat industri dan tindakan manusia, suatu keadaan yang tidak pernah terjadi di zaman pra-industri. Dalam kondisi demikian setiap bangsa dan kelompok umat beragama, khususnya umat Islam, dituntut memberikan sumbangan yang berarti demi menyelamatkan lingkungan hidup.
Peranan umat Islam dalam menanggulangi, mencegah dan menyelamatkan lingkungan hidup dari ancaman krisis yang makin runyam tentu sangat ditunggu oleh setiap pihak. Dewasa ini, data menunjukkan bahwa populasi umat Islam amat sangat besar dan menjadi lebih besar lagi di masa mendatang. Menurut laporan Mastercard dan Crescent Rating, pada 2022 populasi umat Islam sudah mencapai 2 miliar orang dan tersebar di sekitar 200 negara. Jumlah umat Islam tersebut kira-kira setara dengan 25% dari populasi global.
Apa yang diuraikan dalam buku ini, yang berisi sejumlah tulisan sumbangan pemikiran dari internal Muhammadiyah terkait lingkungan hidup dan perspektif Islam, rasanya dapat menjadi khazanah yang berharga bagi upaya ke arah perumusan yang lebih sistematis Fikih Islam tentang Lingkungan Hidup.
Saya menghargai usaha untuk menerbitkan buku ini dan merekomendasikan agar buku ini dapat dijadikan sebagai buah pikiran dan pesan resmi dari Persyarikatan Muhammadiyah yang dialamatkan untuk semua pembaca, khususnya generasi saat ini yang akan mewariskan lingkungan ini kepada generasi mendatang, agar persoalan lingkungan hidup ini menjadi perhatian serius, demi masa depan umat manusia di atas bumi ini.