Direktur Pusat Bantuan Mediasi GKI di sebagai Mediasi Pertama dan satu-satunya di Papua yang Terakreditasi Mahkamah Agung RI. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Teologi di STT GKI I.S. Kijne Abepura, serta meraih gelar Magister of Arts in Peace Studies (MAPS) dari Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
Sebagai Pendeta GKI di Tanah Papua, ia mendedikasikan diri dalam karya mediasi dan perdamaian. Jake aktif sebagai mediator, fasilitator rekonsiliasi, serta pengajar di bidang mediasi sosial dan teologi rekonsiliasi. Ia juga merupakan lulusan Trainer of Trainers (ToT) Mahkamah Agung RI dan aktif mengajar di kelas-kelas Pelatihan Mediator Bersertifikat yang terakreditasi Mahkamah Agung, serta dosen luar biasa di sejumlah perguruan tinggi negeri dan swastaMendamaikan Yang Tak Mau Damai: Etika, Ego, dan Empati di Tengah Konflik
Buku ini membuka ruang refleksi baru tentang relasi antara hukum, konflik, dan kemanusiaan—tiga domain yang sering diperlakukan sebagai entitas terpisah, padahal sejatinya saling bertautan secara mendalam
Psikologi Kognitif, Filsafat Moral, Teori Konflik, Dan Studi Hokum Kritis
Pendekatan yang digunakan penulis menegaskan bahwa konflik bukan hanya persoalan legalistik atau administratif, tetapi fenomena multidimensional yang dipengaruhi oleh persepsi, emosi, struktur sosial, dan dinamika kekuasaan.
Sebagaimana ditegaskan Morton Deutsch, “Conflict is inevitable, but destructive conflict is not” (Deutsch, 1973). Kutipan ini selaras dengan landasan berpikir buku ini, terutama pada bagian yang menjelaskan konflik sebagai fenomena sosial-psikologis yang dapat menjadi konstruktif apabila dikelola secara tepat. Penulis menunjukkan dengan sangat baik bahwa konflik sering kali bukan berasal dari kenyataan objektif, tetapi dari narasi, tafsir, dan luka batin yang dibawa masing-masing pihak. Perspektif seperti inilah yang menjadikan buku ini lebih kaya dibandingkan karya-karya mediasi yang hanya menekankan prosedur.
Dari sisi epistemologi hukum, buku ini juga beresonansi dengan gagasan Bonaventura de Sousa Santos mengenai Epistemologies of the South, yaitu gagasan bahwa setiap bentuk pengetahuan, termasuk pengalaman lokal, memori kultural, dan bahasa komunitas, harus diberi tempat setara dalam proses penyelesaian konflik. Penulis
dengan tepat mengkritik kecenderungan sebagian mediator yang terlalu mengandalkan bahasa hukum formal sehingga mengabaikan “bahasa pengalaman” masyarakat lokal. Kritik ini bukan hanya relevan secara sosiologis, tetapi juga menegaskan perlunya refleksi epistemologis dalam praktik hukum di Papua.
Buku ini juga memperkuat tesis bahwa konflik tidak dapat diselesaikan tanpa memahami bias kognitif yang membentuk persepsi para pihak. Amos Tversky dan Daniel Kahneman melalui riset klasik mereka (1974) menjelaskan bahwa manusia kerap mengambil keputusan bukan berdasarkan logika objektif, tetapi melalui heuristics yang bias. Penulis mengintegrasikan teori ini dengan sangat baik ke dalam konteks mediasi, bahwa mediator yang gagal mengenali bias ini justru memperpanjang konflik. Pendekatan ini memperkaya pemahaman mediasi bukan hanya sebagai seni memfasilitasi dialog, tetapi sebagai praktik cognitive reframing yang menuntut kecermatan psikologis.
Yang menarik, penulis juga mengangkat persoalan kekuasaan dan struktur sosial—elemen yang sering luput dalam praktik mediasi konvensional. Dalam kasus perempuan adat Papua, misalnya, buku ini menunjukkan bagaimana suara yang paling mengetahui persoalan tanah justru dibungkam oleh norma patriarki dan dominasi klan laki – laki. Analisis seperti ini memperlihatkan kedalaman penulis dalam melihat mediasi sebagai praktik dekolonisasi percakapan, suatu konsep yang sangat relevan dalam kajian hukum kritis kontemporer.
Dimensi etis dalam buku ini berpijak pada pemikiran Hannah Arendt tentang pengampunan sebagai bentuk kebebasan tertinggi (Arendt, 1963), juga meresonansi dengan pemikiran Martin Luther King Jr. tentang the strength to love serta gagasan John Paul Lederach mengenai transformasi konflik sebagai proses pembentukan jiwamanusia (Lederach, 2003).
Dalam konteks Papua, pemikiran ini menjadi sangat relevan mengingat konflik sering kali berakar pada trauma kolektif, identitas, dan rasa keadilan yang belum pulih.
Dari perspektif hukum khususnya Hak Asasi Manusia, buku ini memberikan catatan penting bahwa kepastian hukum saja tidak cukup untuk menciptakan ketertiban sosial tetapi juga keadilan untuk perdamaian. Hukum harus berinteraksi dengan empati, etika, dan pemahaman sosial. Banyak kegagalan mediasi, sebagaimana dicatat penulis, bukan disebabkan kurangnya perangkat hukum, melainkan hilangnya kepekaan antar-manusia dalam memahami posisi, luka, dan aspirasi masing-masing pihak.
Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!
DAFTAR ISI
Daftar Isi 1
Daftar Isi 2
Daftar Isi 3
Daftar Isi 4
Daftar Isi 5
Daftar Isi 6Spesifikasi Buku
Cetakan I, November 2025; 110 hlm, ukuran 14.8×21 cm, kertas isi HVS hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.
Harga Buku
Sebelum melakukan pembayaran, cek ketersediaan stock kepada admin. Jika buku out of stock pengiriman membutuhkan waktu – 3 hari setelah pembayaran.
Rp 120.000
Rp 72,600