Diskursus Konseptual tentang Relasi Islam dan Politik di Indonesia
Sebuah buku yang mengulas secara komprehensif Relasi Islam dan Politik di Indonesia.
Islam Vis a Vis Negara
SPEKTRUM politik Indonesia sejak menjelang kemerdekaannya hingga kini selalu diwarnai oleh polarisasi politik, antara kelompok nasionalis Islam vis-a-vis nasionalis sekuler. Polarisasi semacam ini sudah termanifestasi dalam rapat BPUPKI pada Juni 1945, bahkan terulang kembali secara vulgar dalam rapat Dewan Konstituante di tahun 1956.
Pada 22 Juni 1945 sebenarnya sudah ditemukan titik temu dalam hal dasar negara, yakni berupa Pancasila dalam versi Piagam Jakarta. Pada 18 Agustus 1945, Pancasila dalam Jakarta Agreement ini diubah, khusus pada sila pertama, dari kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi para pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan yang maha esa.
Kesepakatan ini diperkuat kembali melalui Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Namun demikian, ternyata dalam mengimplementasi prinsip-prinsip dasar tadi, sesekali masih membiaskan perbedaan interpretasi yang memancing kembali mengerasnya polarisasi.
Pada windu ketiga pasca-Reformasi yang bergulir di tahun 1998 M, beda interpretasi itu kembali membias. Eksistensi kelompok Islam dalam beberapa partisipasi politik misalnya, cukup sering berseberangan dengan pemerintah sebagai pelaku pelembagaan politik, sebuah sikap yang acapkali menyebabkan terjadinya polarisasi vertikal yang akut.
Realitas ini membias pula dalam bentuk polarisasi horisontal antara kelompok sosial pendukung pandangan rejim vis-a-vis kelompok-kelompok Islam.
Bagi kelompok beridentitas Islam, pemerintah sering dianggap tak akomodatif, bahkan terkadang dituduh cenderung berkebijakan anti Islam. Kelompok ini lantas mengekspresikan partisipasi politiknya berupa kritik keras di ruang publik, termasuk melalui jejaring sosial media, baik media mainstream (cetak ataupun elektronik) maupun sosial media.
Bahkan, tak jarang mereka melakukan mobilisasi masa berupa demonstrasi sebagai ekspresi hak politik dalam menyampaikan aspirasi, sebagai partisipasi politik legal sesuai undang-undang.
Tentu saja pemerintah melakukan pengaturan terhadap partisipasi publik tadi, yang dalam terminologi teroritis dinamakan pelembagaan politik. Pemerintah acapkali mempergunakan alat negara, mulai dari Kemendagri, Kemenkumham, Polri, bahkan sampai TNI sebagaimana terlihat pada kasus penurunan Baliho FPI – Habib Riziq Shibab di Jakarta.
Tujuannya adalah untuk merebut kembali ruang publik berdasar alasan menciptakan stabilitas nasional.
Pemerintah tak jarang pula melakukan pembatasan jaringan internet, melakukan penghalangan (penghadangan dan atau penyekatan wilayah) terhadap peserta demonstrasi.
Lebih ekstrim lagi, tak jarang pemerintah dianggap melakukan kriminalisasi para tokoh oposisi, bisa melalui isu ecek-ecek dalam rangka pembunuhan karakter (seperti isu chat mesum) sampai pada tuduhan serius semacam makar.
Ancaman kekerasan bisa juga dilakukan untuk membatasi kebebasan sipil seperti penghadangan Habib Riziq dalam perjalanan Jakarta – Cikampek bahkan berimplikasi pada terbunuhnya 6 anggota Front Pembela Islam, pada Senin, 7 Desember 2020 dinihari di jalan Tol Jakarta – Cikampek Km. 50.
Itulah realitas paling kontemporer yang mewarnai spektrum politik Indonesia yang terutama beridentitas politik Islam. Fenomena ini memang terkesan makin kuat gaungnya, terutama sejak tampilnya pemerintahan Joko Widodo di tahun 2014.
Berpijak pada fakta itu adalah sebuah keniscayaan untuk mencermati kembali tentang logika demokrasi yang diidealkan bersama, yang secara konseptual sebagai hasil keseimbangan antara partisipasi dan pelembagaan politik.
Naskah ini sengaja hadir sebagai manifestasi upaya dalam mendiskusikan kembali secara konseptual tentang partisipasi dan pelembagaan politik di Indonesia tadi.
Terutama partisipasi dari kelompok-kelompok beridentitas Islam, yang kebetulan memakai simbol keagamaan yang dianut mayoritas bangsa Indonesia. Diskursus konseptual ini diharapkan bisa menjadi masukan seberapapun nilainya bagi rezim agar lebih cerdas dalam memahami tentang logika melakukan pelembagaan politik secara “cantik”, sekaligus tetap menjamin terlindungnya partisipasi politik warga negaranya.
Melalui pemahaman konsep secara lebih aktual berdasar realitas sosial, diharap pemerintah dapat tetap melakukan tugasnya dalam pelembagaan politik, tanpa harus menegasi partisipasi berbagai kelompok identitas, yang merupakan keniscayaan pluralitas (kebhinnekaan) di Indonesia. Semoga.***
Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!
DAFTAR ISI
Spesifikasi Buku
Cetakan I Desember 2022; 106 hlm, ukuran 15,5 x 23 cm, kertas isi HVS 70 gram hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.
Harga Buku
Sebelum melakukan pembayaran, cek ketersediaan stock kepada admin. Jika buku out of stock pengiriman membutuhkan waktu – 3 hari setelah pembayaran.
Rp100.000
Rp86.000
Tentang Penulis
Nostalgiawan Wahyudhi
Nostalgiawan aktif sebagai Peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (Dahulu: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan juga staf pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Menempuh pendidikan S1 Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan melanjutkan jenjang S2 di International Islamic University Malaysia (IIUM). Penulis aktif diberbagai penelitian di bidang kajian politik Islam, gerakan Islam transnasional, dan studi Timur Tengah.
M. Hamdan Basyar
Hamdan Basyar adalah Peneliti Ahli Utama pada Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (Dahulu: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Penulis lahir di Pekalongan, 13 Juni 1958. Pendidikan di Program Studi Arab, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (S1); Kajian Strategik, Pasca Sarjana Universitas Indonesia (S2). Mengajar/Dosen di Fakultas Sastra, UI (1984-2000); di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UI (1992-sekarang); di Pasca Sarjana Kajian Timur Tengah dan Islam, UI (2002-sekarang). Selain itu, dia sebagai Penasehat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES).
Dhurorudin Mashad
Dhurorudin adalah Peneliti Ahli Utama pada Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (Dahulu: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Penulis terlibat dalam puluhan penelitian di lembaga tempat bekerja, yang hasilnya diterbitkan dalam berbagai buku dan atau terbitan berkala dengan tema seputar 90 Diskursus Konseptual Tentang Relasi Islam dan Politik di Indonesia Agama dan Politik, Dunia Islam, Timur Tengah. Alumnus Universitas Indonesia (S1 bidang Politik dan S2 bidang Strutegic Studies/Ketahanan Nasional) dan Doktor bidang Religious Studies UINSDG ini juga melakukan berbagai penelitian mandiri yang hasilnya terbit dalam bentuk buku.
Muhammad Fakhry Ghafur
Peneliti Ahli Muda pada Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (Dahulu: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Alumnus The Faculty of Islamic Call
College, Tripoli-Libya (S1) dan Studi Islam, Institut PTIQ Jakarta (S2) ini menjadi kontributor sejumlah buku diantaranya : Demokrasi dan Fundamentalisme Agama Hindu di India, Buddha di Sri Lanka, dan Islam di Turki, penerbit Andi (2015); Demokrasi dan Fundamentalisme Agama Protestan di Amerika Serikat dan Yahudi di Israel, penerbit Mahara (2016).
Defbry Margiansyah
Peneliti Ahli Pertama pada Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (Dulu: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Penulis tergabung dalam
tim penelitian Agama dan Politik di Pusat Penelitian/Riset Politik, serta aktif sebagai pimpinan redaksi di Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities. Penulis juga aktif terlibat dalam kegiatan akademik dan edukasi sosial dan politik di Forum Studi Asia Afrika (FSAA) dan Marepus Corner, dengan minat kajian pada isu seputar Hubungan Internasional, Globalisasi, Ekonomi Politik, dan Demokrasi. Peneliti ini juga merupakan alumnus dari program studi Hubungan Internasional di Universitas Pasundan, Bandung dan Global Studies Programme di Albert-Ludwigs-Universität Freiburg (Jerman), Facultad Latinoamericana de Ciencias Sociales (Argentina), dan Jawaharlal Nehru University (India).