“Aksara yang Bertutur” bukan sekadar kumpulan cerita pendek, melainkan untaian suara dari jiwa-jiwa muda yang mencoba mendefinisikan kehidupan dari berbagai sisi. Ditulis oleh siswa dan guru MA Muhammadiyah Purbolinggo, buku ini adalah hasil nyata dari semangat literasi yang tumbuh dan mekar dalam ruang pendidikan berbasis nilai.
Di dalamnya, pembaca akan menemui kisah-kisah yang jujur dan menyentuh: dari Olivia yang terjebak dalam perasaan terhadap teman virtualnya, hingga Gabriel, pemuda tunanetra yang menemukan cahaya melalui cinta dan pengorbanan Zyana. Setiap cerpen menyuguhkan pengalaman yang akrab bagi remaja masa kini—tentang keluarga, cinta, harapan, dan kehilangan.
Cerita seperti “Rumah” karya Alfaza menggambarkan konflik dalam keluarga yang penuh luka namun tetap ada harapan untuk pulih. Sementara itu, kisah “Kucing-Kucingku” membawa kita pada narasi lembut namun menyedihkan tentang ikatan antara manusia dan hewan peliharaan, sekaligus tentang kehilangan yang begitu dalam. Cerita-cerita lain, seperti “Kembali”, “Sera”, dan “All My Friends”, menghidupkan kembali emosi-emosi masa sekolah yang tak terlupakan.
Lebih dari sekadar karya sastra, buku ini juga menjadi bukti kuat bahwa literasi dapat menjadi jembatan penyembuh, penghubung antar manusia, dan penguat identitas diri. Dalam setiap paragrafnya terselip harapan dan keberanian anak-anak muda untuk bicara tentang dunia dari sudut pandang mereka sendiri.
Bagi siapa pun yang percaya bahwa tulisan bisa menjadi pelita dalam gelap, “Aksara yang Bertutur” adalah bacaan yang akan menyentuh, menginspirasi, dan mungkin—membuat pembaca ingin menulis kisahnya sendiri. Karena pada akhirnya, kita semua hanya ingin didengar. Dan buku ini, dengan indah, memberi ruang bagi suara-suara itu untuk bertutur.