BENCANA EKOLOGIS Mereduksi Risiko, Memulihkan Indonesia
Buku ini membuka mata bahwa bencana bukan datang dari langit, tapi dari tangan kekuasaan dan selama kita diam, hidup kita akan terus digadaikan atas nama pembangunan.

Mereduksi Risiko, Memulihkan Indonesia
Bencana bukan kutukan. Ia bukan kehendak langit, bukan murka alam yang datang tiba-tiba tanpa sebab. Bencana adalah konsekuensi. Ia lahir dari keputusan-keputusan yang dibuat manusia—atau lebih tepatnya, oleh segelintir manusia—di ruang-ruang kekuasaan yang jauh dari pandangan rakyat, tapi dekat dengan kepentingan modal. Di negeri ini, bencana bukan sekadar gempa, banjir, atau longsor. Ia menjelma dalam rupa tambang yang menggerogoti perut bumi, food estate yang menggusur petani atas nama swasembada, reklamasi yang menenggelamkan kampung pesisir, dan kebijakan yang mengeringkan hidup demi mengalirkan laba.
Ada logika yang telah lama membusuk namun tetap kita warisi seolah waras: bahwa penebangan hutan adalah pembangunan, bahwa pencemaran sungai adalah efek samping pertumbuhan, bahwa
penggusuran adalah syarat kemajuan. Bahwa ruang hidup manusia bisa dinegosiasikan di meja rapat selama disertai naskah akademik dan stempel kementerian. Bahwa penderitaan rakyat bisa dianggap sah selama ada angka PDB yang naik. Di bawah logika semacam ini, yang dirayakan bukan kehidupan, melainkan kapital; dan yang dijadikan korban bukan sekadar pohon atau tanah, tetapi seluruh cara hidup yang tak cocok dengan kalkulasi pasar.
Rakyat tidak kalah karena bodoh. Mereka dikalahkan karena didiamkan. Karena saat mereka bersuara, suara mereka dikecilkan. Karena saat mereka melawan, mereka diberi label subversif, tidak kooperatif, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Dan saat hutan terbakar, saat banjir menenggelamkan kota, saat tanah retak dan kampung mengungsi, negara berkata: “Ini musibah.” Padahal semua itu telah dimulai sejak izin pertama diteken.
Buku ini ditulis untuk merobek narasi itu. Untuk menyatakan bahwa bencana bukan takdir, melainkan akibat. Bahwa yang kita hadapi bukan semata alam yang marah, melainkan sistem yang timpang, brutal, dan dilanggengkan atas nama pembangunan. Buku ini tidak sekadar merekam peristiwa, tapi menelusuri pola. Ia menggambarkan bencana bukan sebagai titik-titik terpisah, tetapi sebagai jaringan sistemik yang diikat oleh kepentingan ekonomi-politik, dilindungi oleh regulasi, dan dibungkus oleh bahasa-bahasa kekuasaan yang menipu. Selama lebih dari empat dekade, WALHI berdiri bersama rakyat yang terdampak: di kampung yang dipasung tambang, di pesisir yang dijarah reklamasi, di hutan yang dijadikan komoditas. Dari sana kami belajar bahwa bencana ekologis bukan anomali—ia adalah norma dalam sistem yang menempatkan laba di atas hidup. Maka buku ini bukan sekadar laporan. Ia adalah sikap. Ia adalah perlawanan yang ditulis.
Penyusunan buku ini dikawal oleh tiga penulis utama: Melva Harahap, Sofyan, dan Jonathan Putra Pamungkas, yang mengawasi seluruh proses dari hulu ke hilir—dari rancangan struktur, kurasi referensi, penulisan narasi, hingga penyuntingan substansi. Bersama mereka, turut menulis Anisa Trinata, Dimas Ramadhan Perdana, Ginda Harahap, Hasna Arifa Fadillah, dan Jason Renardi Marrino. Mereka tak hanya menambahkan isi, tetapi membuka ruang-ruang baru dalam pembahasan: dari isu karst, pesisir, penggusuran urban, hingga ketimpangan wacana dalam narasi pembangunan. Kerja kolektif ini adalah cermin dari kerja-kerja advokasi WALHI yang selama ini bersandar bukan pada satu suara tunggal, tetapi pada polifoni pengalaman dan perspektif.
Penyuntingan akhir buku ini dilakukan oleh Parid Ridwanuddin, yang dengan cermat memastikan setiap kalimat tersusun dengan baik serta tetap menyampaikan makna secara utuh. Meski demikian, substansi dan kekuatan utama buku ini tidak semata berasal dari proses redaksional, melainkan berakar pada pengalaman empiris yang dihimpun langsung dari lapangan. Kontribusi berupa laporan, catatan, dan analisis kritis telah diberikan oleh kawan-kawan Eksekutif Daerah WALHI: WALHI DKI Jakarta (Suci F. Tanjung), WALHI Jambi (Oscar Anugrah), , WALHI Jawa Tengah (Fahmi Bastian), WALHI Kalimantan Selatan (Raden Rafiq), , WALHI Maluku Utara (Faizal Ratuela), WALHI Yogyakarta (Gandar), Abdullah Direktur Eksekutif Daerah Jambi periode 2021 – 2025 dan Kisworo Dwi Cahyono Direktur Eksekuti WALHI Kalimantan Selatan Periode 2016 – 2024.
Mereka adalah garda terdepan advokasi ekologis di wilayah masing-masing. Tanpa laporan lapangan, observasi jangka panjang, serta kesaksian langsung dari komunitas terdampak, buku ini tak akan memiliki kedalaman yang layak. Ia akan jadi angka, bukan narasi; statistik, bukan sikap. Tapi karena pengalaman-pengalaman itu hidup dan dibawa ke dalam tulisan ini, buku ini menjadi dokumen politik dan ekologis yang otentik: bukan netral, karena kami memang tidak berniat netral di hadapan ketidakadilan.
Kami menyadari bahwa buku ini bukan penyelesai masalah. Ia tidak menawarkan resep instan atau langkah teknokratis yang bisa dipasang dan dicabut sesuai proyek. Tapi ia menawarkan sesuatu yang lebih penting: kerangka berpikir. Perspektif. Dan dari perspektif yang jernih, arah perjuangan akan lebih mudah dibaca. Buku ini adalah penegasan bahwa bencana harus dibicarakan bukan hanya dengan bahasa ilmiah, tetapi dengan keberpihakan. Bahwa di balik tiap aliran air yang meluap, tiap api yang melahap hutan, tiap kampung yang ditenggelamkan, selalu ada proses panjang yang melibatkan kekuasaan, uang, dan diamnya institusi.
Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!
DAFTAR ISI


Spesifikasi Buku

Cetakan I, September 2025; 314 hlm, ukuran 14 x 20 cm, kertas isi Bookpaper hitam putih, kertas cover ivory 230 gram full colour, jilid lem panas (soft cover) dan shrink bungkus plastik.
Harga Buku
Sebelum melakukan pembayaran, cek ketersediaan stock kepada admin. Jika buku out of stock pengiriman membutuhkan waktu – 3 hari setelah pembayaran.
Rp 130.000
Rp 120,300

Tentang Penulis

Jonathan Putra Pamungkas Silalahi, dkk
Sejak awal, perjalanan saya selalu dipenuhi pertanyaan tentang hubungan manusia dengan alam, dan bagaimana keputusankeputusan
di ruang kekuasaan akhirnya menentukan nasib banyak orang di akar rumput. Di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, jurusan Hubungan Internasional, saya belajar membaca relasi global dan kebijakan publik. Tetapi pelajaran sejati justru datang dari lapangan: dari desa yang kehilangan tanahnya, dari pesisir yang terus tergerus, dari kota yang tak lagi terbiasa dengan musim hujan tanpa banjir. Menulis bagi saya bukanlah sekadar menyusun kata, melainkan cara untuk menyulam kesaksian dengan harapan. Dalam liputan sebagai jurnalis, dalam riset sebagai peneliti, dan dalam advokasi bersama WALHI, saya melihat pola yang sama: bencana tidak jatuh dari langit, melainkan lahir dari salah urus dan kerakusan. Dari sana saya belajar bahwa kata-kata bisa menjadi perlawanan—sebuah upaya kecil untuk melawan lupa dan menyuarakan yang sering dibungkam.