Teknik Alokasi Suara Menjadi Kursi di Parlemen (Modul Praktikum Tata Kelola Pemilu)

Samudrabiru – Pemilu adalah salah satu konsekuensi dari negara yang menganut sistem demokrasi dengan berbagai variannya. Dengan adanya pemilu, diharapkan sistem keterwakilan rakyat di lembaga legislatif dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan rakyatnya. Karena itu, dalam setiap pemilu, hasil suara dari pemilih harus dikonversi menjadi kursi di parlemen (DPR/DPRD/DPD jika di Indonesia).

Metode konversi ini digunakan untuk mendistribusikan suara hanya dalam satu sistem yaitu sistem proporsional, baik proporsional daftar (List Proportional Representation/List PR) atau Single Transferable Vote (STV). Selain dalam sistem proporsional, metode ini juga digunakan dalam sistem campuran (mixed), seperti sistem MMP (Mixed Member Proportional System) maupun sistem pararel (Parallel System).

Namun, khusus pada sistem campuran, metode ini hanya digunakan untuk menghitung kursi pada sistem proporsionalnya. Sebagai contoh di Jerman, yang menerapkan MMP (FPTP & List PR), metode alokasi hanya digunakan untuk menghitung kursi yang dibagi lewat sistem proporsional, sedangkan sistem First Past The Post (FPTP)-nya tetap menggunakan logika penghitungan sistem mayoritas/pluralitas.

Metode penghitungan dalam sistem ini dapat terbagi ke dalam tiga metode, yaitu Metode Divisor, Metode Kuota dan Metode Lain-lain. Masing-masing metode memiliki variannya sendiri-sendiri dengan rumus/formula penghitungan yang juga berbeda juga satu sama lain.

Metode pertama yakni Metode Divisor atau disebut juga dengan Metode Highest Average (rata-rata tertinggi), adalah sebuah cara mengonversi suara menjadi kursi dimana satu kursi dialokasikan di sebuah Daerah Pemilihan (Dapil, District Magnitude) tertentu melalui serangkaian penghitungan berdasarkan perolehan suara tertinggi. 

Metode ini tidak mengenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) maupun sisa suara sebagaimana yang digunakan dalam Metode Kuota, sebab suara langsung diranking dan dibagi. Ada empat jenis formula yang digunakan dalam Metode Divisior.

Metode Kedua, Metode Kuota juga disebut dengan Metode Largest Reminder (sisa suara terbanyak). Metode ini menghendaki adanya penetapan kuota atau disebut juga Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) jika di Indonesia untuk membagi suara dengan jumlah kursi, yang dilanjutkan dengan penghitungan sisa suara terbesar. Padanan metode ini adalah Metode Hamilton di Amerika Serikat, yang merujuk nama penemunya pada 1792, Alexander Hamilton. 

Metode ini pernah digunakan dalam pemilihan anggota kongres Amerika Serikat pada Abad ke-19 serta pemilu di Rusia, Ukraina, Namibia dan Hongkong. Penentuan kuota dalam metode ini antara lain dilakukan dengan Formula Hare Quota, Formula Droop Quota, dan Formula Imperiali Quota.

Metode ketiga, yaitu metode lain-lain di luar dua mainstream utama, Metode Divisor dan Metode Kuota. Metode ini juga digunakan di beberapa negara. Misalnya, Formula Hagenbach-Bischoff, formula ini merupakan varian dari Formula Droop Quota yang menggunakan Droop Quota untuk penghitungan tahap awal, dan menggunakan D’Hondt untuk pendistribusian sisa kursi kepada partai, dimulai dari sisa suara terbanyak. 

Ada juga Formula Hare-Niemeyer, formula perhitungan ini diambil dari nama pakar matematika asal Jerman, Horst Friedrich Niemeyer, yang merupakan penciptanya. Seperti halnya metode Largest Remainder, beberapa pihak beranggapan, bahwa formula ini paling proporsional dibanding D’Hondt maupun Sainte Lague.

Judul Buku : Teknik Alokasi Suara Menjadi Kursi di Parlemen (Modul Praktikum Tata Kelola Pemilu) 
Penulis : Dr. Phil. Ridho Al-Hamdi, MA
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : I Agustus 2019
Dimensi : x + 88 hlm. ; 14,8 x 21 cm.
Harga : Rp