SAGU NUSANTARA
Buku yang menceritakan keprihatinan atas memudarnya budaya mengolah sagu yang dahulu melimpah namun kini berada dalam ancaman kepunahan.
Bagaimana Sagu di Nusantara?
Mewujudkan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat mempunyai arti strategis berkaitan dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, politik, ketahanan nasional, dan kemandirian bangsa. Secara filosofis, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Pemenuhan kecukupan pangan seluruh rakyat merupakan kewajiban, baik secara moral, sosial, maupun hukum. Selain itu, pemenuhan kecukupan pangan merupakan investasi pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik dan prasyarat bagi pemeliharaan hak-hak dasar lainnya seperti pendidikan, pekerjaan, dan lainnya.
Dilihat dari sumber daya yang dimiliki dan posisi geografisnya, Indonesia mestinya termasuk negara yang mempunyai ketahanan pangan yang kokoh. Kekayaan dalam keanekaragaman hayati yang sedemikian besar di hampir semua daerah di Indonesia telah menumbuhkan budaya dan keragaman pangan yang spesifik, baik bahan pangan yang bersumber dari daratan maupun pangan dari hayati laut. Dengan mengacu pada definisi pangan dalam arti luas, potensi ketersediaan pangan di setiap daerah di Indonesia mestinya sangat berlimpah.
Namun, sampai saat ini, Indonesia tidak pernah lepas dari problem pangan. Kebijakan lebih berfokus pada beras telah menyebabkan munculnya jebakan kebijakan swasembada beras yang selama ini menjadi tantangan pembangunan pertanian. Sementara itu, data menunjukkan di balik keberhasilan capaian produksi beras, kerawanan pangan cenderung mengalami peningkatan, baik kerawanan pangan kronis maupun kerawanan pangan sementara. Disadari telah terjadi pemudaran budaya mengonsumsi pangan lokal yang disebabkan oleh kemajuan dan politik pembangunan yang terlalu besar dan pembauran budaya global. Di samping itu, pemudaran produksi dan konsumsi pangan lokal juga disebabkan karena kebijakan pembangunan tidak memperhatikan aspek budaya.
Atas dasar itu, pengembangan pangan lokal dinilai penting sebagai bagian dari antisipasi jangka panjang problem pangan dunia dan nasional akibat dinamika lingkungan global, perubahan iklim, dan perubahan lingkungan. Dalam kaitan itu diperlukan reorientasi pembangunan pangan dengan memperhatikan kekayaan sumber daya dan budaya pangan lokal. Pengembangan diversifikasi pangan menuju keanekaragaman produk pangan lokal berarti meningkatkan keragaman konsumsi dan nutrisi yang akan berdampak positif bagi kesehatan masyarakat melalui penyediaan pangan lokal murah, karena diproduksi sendiri sesuai dengan potensi masing-masing masyarakat. Dalam kaitan itu diyakini bahwa pengembangan sistem pangan dengan memperhatikan sumber daya dan budaya pangan lokal akan mampu membangun ketahanan pangan rumah tangga dan nasional yang mandiri dan berdaulat.
Dinamika persoalan pangan yang terjadi di negeri ini, serta setiap fenomena-fenomena yang mendasarinya mengundang perhatian dari siswa-siswi untuk men-curahkan keprihatinan mereka. Adalah siswa-siswi SMA Negeri 2 Kawalo, Taliabu Barat, Maluku Utara. Pada April 2021 lalu, dalam sebuah pelatihan menulis yang diadakan Perpustakaan Independensia, hasil kolaborasi ini melahirkan sebuah buku yang berangkat dari kehidupan masyarakat Kawalo. Dalam buku tersebut beragam kisah dinarasikan siswa-siswi yang dalam kehidupan kesehariannya tidak terlepas dari aktivitas menokok sagu hingga diolah menjadi makanan lokal siap konsumsi seperti papeda, sinole, bagea, sagu lempeng, dan beragam jenis makanan berbahan dasar sagu lainnya.
Buku yang bertajuk “Sagu Terakhir: Cerita Masa Lalu dan Sekarang” itu secara umum menggambarkan keprihatinan atas memudarnya budaya mengolah sagu yang mayoritas digeluti masyarakat Kawalo. Selain itu, di bagian pengantar penyunting juga disampaikan bahwa penggunaan kata “terakhir” dalam “sagu terakhir” menuju pada atensi bahwa menanam dan mengolah sagu hampir tidak lagi dilakukan masyarakat Kawalo. Hal ini menandakan bahwa budaya mengolah sagu yang telah dilakukan turun-temurun dari para leluhur masyarakat Kawalo, kini berada dalam ancaman kepunahan.
Dapatkan Bukunya Sekarang Juga!
Daftar Isi dan Spesifikasi Buku
Buku ini terdiri dari 30 bagian pembahasan yang ditulis oleh penulis
- Cetakan I, Maret 2022
- Jumlah Halaman xliv + 230
- Ukuran 14 x 20 cm
- Kertas Isi Bookpaper 57,5 gram (Hitam Putih)
- Kertas Cover Ivory 230 Gram (Laminasi Doff)
- Finishing Jilid Lem Panas (Soft Cover) dan Shrink (Bungkus Plastik)
Berapa Harganya?
Tentang Penulis
Arifin Muhammad Ade
lahir di Tidore, 10 Oktober 1993. Latar belakang pendidikan diselesaikan di kampung kelahirannya, Topo. Ia adalah alumni dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Topo, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sitti Aisyah Bukulasa, Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah 3 Tidore. Selanjutnya, ia memperoleh gelar Sarjana Pendidikan tahun 2016 di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kie Raha, dan berhasil memperoleh gelar Magister Lingkungan di Institut Teknologi Yogyakarta (ITY) pada tahun 2020. penulis bergelut dengan dunia aksara bersama Forum Studi Independensia.