RENCONG TELANG : Komunitas adat di Kerinci Sumatera Tengah

Samudrabiru – Masyarakat di lembah-lembah dataran tinggi Sumatera sejak lama telah mampu mengatur diri sendiri. Mereka berhasil mengembangkan peradaban yang sulit dijangkau dunia luar dan tetap misterius hingga abad ke-20 karena berada di antara rangkaian pegunungan curam di pesisir barat dan rawa-rawa penyebar malaria di bagian timur.

Menariknya kemampuan itu tanpa memerlukan kehadiran seorang raja yang berkuasa penuh. Peradaban itu juga bertahan tanpa adanya suatu kesatuan militer yang secara khusus dibentuk untuk itu sebagaimana umumnya terlihat pada berbagai kerajaan besar di daerah-daerah lainnya di Nusantara.

Peradaban itu bisa berkembang karena berlakunya adat yang kuat yang berhasil menyatukan masyarakat ke dalam sebuah harmoni dalam waktu yang lama. Adat yang kuat itu dibangun antara lain dengan belajar dari alam sebagaimana pepatah Alam Takambang Jadikan Guru dan masuknya nilai-nilai agama.

Dalam hal masyarakat Melayu adat menjadi kuat setelah masuknya nilai-nilai agama Islam ke dalamnya. Bahkan adat dan Islam itu menyatu sedemikian rupa sehingga tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Pada orang Kerinci, salah satu sub etnik Melayu misalnya, kesatuan adat dan Islam itu tercermin dalam pembagian adat. 

Adat disana dibagi empat: adat sebenar adat (yaitu adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah), adat istiadat (adat kebiasaan turun termurun dari nenek moyang), adat yang diadatkan (adat hasil kata mufakat) dan adat yang teradat (kebiasaan yang biasa dikerjakan seorang pribadi). Dari empat macam adat itu, sebagaimana namanya, adat sebenar adat menduduki kedudukan paling tinggi.

Ini membuktikan kuatnya ikatan antara adat dan Islam di sana. Dengan demikian tidak mengherankan bila dalam perkembangan waktu selanjutnya masyarakat setempat mengidentikkan diri dengan Islam. Di Nusantara memang terdapat beberapa etnis dengan identitas keislaman paling kuat.

Mereka selain orang Melayudi Sumatera, Kalimantan dan Malaysia, adalah orang Bugis di Sulawesi, orang Aceh dan orang Minangkabau di Sumatera, orang Moro di Mindanao, orang Banjar di Kalimantan, orang Sunda di Jawa Barat dan orang Madura di Pulau Madura dan Jawa Timur. 

Bagi orang Melayu, misalnya, sejak 1000 tahun lalu Islam menjadi bagian terpenting dalam sistem kepercayaan/nilai, kehidupan sosial ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan. Sehingga istilah menjadi Melayu berarti memeluk agama Islam sudah lama digunakan untuk orang-orang bukan Melayu.
Salah satu negeri Melayu adalah Pulau Sangkar. 

Negeri tua itu kini merupakan sebuah desa di Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Sebagai sebuah desa Pulau Sangkar sudah berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat disana telah lama berhasil mengatur diri sendiri dengan baik dalam satu kesatuan wilayah yang bernama Masyarakat Adat Rencong Telang. 

Dalam masyarakat adat ini kepemimpinan diselenggarakan secara bersama dengan pimpinan beberapaorang depati yang menunjuk Depati Rencong Telang sebagai koordinator mereka. Pulau Sangkar kini secara geografis memang hanya meliputi empat desa yang berada dalam dua kecamatan di Kerinci bagian hilir. 

Tetapi secara historis sebagai masyarakat adat kawasan Rencong Telang dulu meliputi kawasan yang sangat luas yang masuk ke dalam empat kabupaten di dalam dua propinsi yaitu Jambi dan Bengkulu.

Dalam kehidupan masyarakat Pulau Sangkar atau masyarakat adat Rencong Telang, Islam sejak lama memainkan berbagai peran. Peran-peran itu sangat fungsionaldi tengah masyarakat. Awalnya ragam Islam Sinkretis dengan para dukun sebagai tokoh sentralnya mendominasi berbagai sektor kehidupan.

Setelah Islam Syariat masuk pada era 1930-an maka dominasi Islam Sinkretis digantikan oleh Islam Syariat yang dalam kenyataan sehari-hari ditokohi oleh para buya, pemangku adat,dan aktivis partai politik. Para Buya menggairahkan kehidupan keagamaan dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan masjid dan pengajian. 

Para pemangku adat mewarnai pondasi kehidupan bersama yaitu adat dengan syariat Islam. Para tokoh Islam politik menjadikan syariat Islam sebagai ideologi dalam praktek politik kepartaian mereka. Dominasi Islam Syariat ini berlangsung dalam berbagai ranah kehidupan sampai era 1980-an.

Islam yang fungsional yang seiring dengan kehidupan perekonomian yang baik pada giliran selanjutnya melahirkan kemakmuran dalam waktu yang lama di wilayah Rencong Telang. Akibatnya wilayah Rencong Telang menjadi tujuan banyak pendatang dari berbagai penjuru yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik. 

Pada era 1960-an akhir sampai 1980-an negeri ini dipenuhi oleh ribuan pendatang yang menetap. Mereka berasal dari negeri tetangga di Kerinci Tengah dan Kerinci Hulu. Mereka juga datang dari Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Padang, dan Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat. Bahkan ada juga pendatang yang berasal dari Jambi dan Bengkulu. 

Mereka menjadi anak upan (buruh) pada para induk semang (majikan) penduduk asli Pulau Sangkar. Mereka mengolah lahan milik masyarakat adat untuk menanam cabe, kopi, dan kulit manis yang menjadi komoditas andalan di Kerinci pada masa itu.

Tetapi memasuki era 1990-an kawasan yang berada di lembah dataran tinggi Sumatera bagian tengah ini mengalami berbagai kemerosotan. Awalnya terjadi kemerosotan adat. Pertemuan-pertemuan adat tidak berjalan, sanksi adat tidak banyak berlaku, ilmu tentang adat semakin menghilang, regenerasi kepemangkuan adat macet, dan para pemangku yang ada saling memecat. Kemerosotan adat segera diikuti oleh fenomena melonggarnya nilai-nilai keagamaan. 

Mengendurnya berbagai kegiatan keagamaan diikutifenomena merosotnya akhlak masyarakat. Kebersamaan semakin melemah, ketidakkompakan terjadi dimana-mana, gotong royong sulit dijalankan, dan para remaja makin konsumtif dan permisif. 

Dalam dunia politik kepartaian idealisme keagamaan menghilang karena kalah oleh kalkulasi ekonomi. Situasi ini lalu diperparah oleh kemerosotan ekonomi. Kawasan yang dulunya sangat makmur itu pada era 2000-an menjadi kawasan miskin. Pada 2005, misalnya, 34,6% penduduk Pulau Sangkar adalah pemilik Kartu Miskin.

Berbagai kemerosotan itu menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang dahsyat dalam kawasan masyarakat adat ini. Sejak awal 1990-an Pulau Sangkar mulai ditinggalkan pendatang. 

Bahkan banyakputra daerah pergi meninggalkan negeri ini. Mereka merantau ke Jambi, Batam, Jakarta, dan Johor-Malaysia. Pada tingkat kecamatan sampai 2005 penduduk yang datang menetap hanya 0,1 sedangkan yang keluar 1,8%. Mereka bertebaran mencari kehidupan yang lebih baik. Sebagian dari mereka yang dulunya adalah induk semang (juragan) di kampung halaman kini harus menjadi anak upan (buruh) di negeri orang.

Hal yang lebih substansial lagi adalah munculnya fenomena instrumentalisasi agama. Agama lebih banyak digunakan sebagai alat untuk kepentingan-kepentingan material, khususnya ekonomi.Fenomena ini meliputi ragam kelompok Islam Sinkretis maupun Islam Syariat. 

Perdukunan banyak menjadi jalan pintas ekonomi, adat banyak menjadi alat kepentingan ekonomi pemangkunya, politik semata-mata menjadi lokak (mata pencaharian), dan orang siak (santri) lebih mengutamakan nalar pragmatis daripada pemahaman teologis keagamaan.

Sesungguhnya Pulau Sangkar atau masyarakat adat Rencong Telang memiliki banyak potensi untuk bangkit kembali. Penguatan ekonomi antara lain bisa dilakukan dengan optimalisasi pemanfaatan ribuan hektar tanah ulayat. Aset ini tidak termanfaatkan secara optimal karena kelembagaan adat yang tidak kuat. 

Pada masa lalu dana yang terkumpul melalui mekanisme sepanjang adat (sewa lahan oleh pendatang) menjadi salah satu sumber dana penting bagi pembangunan setempat. Kehidupan keagamaan bisa digairahkan kembali dengan menguatkan kembali adat sebagai khazanah lokal itu.Meski mengalami kemerosotan bagi masyarakat Pulau Sangkar adat masih tetap fungsional di tengah kehidupan mereka. 

Berbagai konflik antar waga selesai di tangan adat, tanpa harus repot berurusan dengan aparat penegak hukum. Penulis telah pula melakukan beberapa penelitian di Pulau Sangkar dan sekitarnya. Penelitian pertama (2007) mencoba memahami fenomena melemahnya Islam Syariat dan menguatnya Islam Sinkretis di Pulau Sangkar. Penelitian kedua (2009) mencoba memahami mengapa adat melemah di wilayah penelitian. 

Penelitian ketiga (2013) mencoba melakukan penguatan ekonomi masyarakat melalui penguatan adat.Tiga penelitian ini melahirkan satu artikel ilmiah, satu laporan penelitian, dan satu buku adat yang ada di tangan pembaca saat ini.

Melalui buku ini telah terdokumentasikan berbaga khazanah lokal tentang adat orang Pulau Sangkar atau masyarakat adat Rencong Telang yang sebelumnya hampir tenggelam itu.Buku ini berisi uraian yang meliputi gambaran umum kawasan, asal usul penduduk, sejarah kekuasaan, sistem sosial, kepemimpinan masyarakat, dan pepatah petitih adat.

Dengan menulis buku ini penulis berharap pada tataran akademik bisa memberi kontribusi dalam upayapenguatan khazanah lokal. Dalam diskursus posmodernisme penguatan terhadap khazanah lokal, antara lain adat yang terbukti lama tangguh menopang masyarakat merupakan suatu keniscayaan. Posmo itu sendiri kritik terhadap masyarakat modern dan kegagalan memenuhi janji-janinya. 

Posmo menolak pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan mengisi kehidupan dengan penjelasan terbatas (local narration) atau sama sekali tidak ada penjelasan, meski beberapa posmodernis menciptakan narasi besar sendiri. 

Pada sisi lain kondisi budaya posmo juga ditandai oleh adanyainterdependensi antar berbagai unsur budaya (lokal, daerah, modern, hipermodern) melalui globalisasi. Tidak ada suatu kebudayan yang dapat eksis tanpa berhubungan dengan kebudayaan lain. Bahwa marginalisasi dan pemberdayaan masyarakat asli, masyarakat (non) sipil, demokratisasi, hak atas tanah, politik identitas, dan sisa-sisa budaya kolonial, tetap berhubungan dengan perkembangan global di luar batas wilayah Idonesia. 

Topik-topik ini sangat penting dalam ranah dunia saat ini dan akan mengikat perhatian serta sisi emosi banyak pembaca. Pada tataran kebijakan, dalam era otonomi daerah, adat yang lama tersingkir kini mulai dilirik banyak pihak. Pemda Kabupaten Kerinci-Jambi, misalnya, akan membangun hutan adat di seluruh kecamatan untuk melestarikan hutan. Hutan adat itu direncanakan dikelola masyarakat adat yang bermukim sekitar hutan dengan menerapkan hukum adat. 

Salah satu masyarakat adat yang diharapkan memiliki hutan adat sendiri itu adalah Masyarakat Adat Depati Rencong Telang yang berlokasi di Pulau Sangkar. Masyarakat adat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari Daulat Depati Empat Alam Kerinci,sebuah sistem kekuasaan yang telah lama berdiri dan berhasil mengatur masyarakat Kerinci sejak sebelum Indonesia merdeka.

Pada sisi lain, sejak tahun 2000 berbagai pertemuan telah diselenggarakanoleh beberapa elemen dalam masyarakat Pulau Sangkar untuk menguatkan kembali adat mereka. Mereka ingin adat kembali berjalan dengan baik sebagaimana berlaku pada masa lalu sehingga memberikan banyak dampak positif dalam berbagai aspek kehidupan bersama mereka. 

Tetapi beberapa kendala menghadang usaha ini. Dewasa ini pengetahuan tentang adat semakin menghilang dari tengah masyarakat seiring dengan berkurangnya para tokoh yang mengerti berbagai hal tentang adat itu. Para tokoh yang pada era 1980-an dan sebelumnya berhasil membawa kejayaan adat kini sudah tiada karena dimakan usia. 

Sedangkan para pemangku adat era sesudahnya pada umumnya memiliki pengetahuan tentang adat yang tidak menyeluruh. Dengan demikian buku ini diharapkan bisa menjadi salah satu rujukan dalam upaya penguatan adat itu.
Tentu saja dalam menyusun buku ini penulis dibantu oleh banyak pihak.

Mereka yang tidak mungkin disebutkan satu persatu ini menjadi narasumber secara langsung maupun tidak langsung. Dari mereka penulis sebagai anak negeri yang sejak kecil sudah merantau meninggalkan desa indah ini menjadi tahu lebih banyak tentang Pulau Sangkar pada khususnya dan masyarakat adat Rencong Telang pada umumnya. 

Tiga orang penulis sebut secara khusus yaitu Cik Sarel Masyhud, Mamak H. Hidayat Chatib, M.Ed., dan mamak H. Akmal Abbas. Mereka merupakan tiga informan kunci yang berkali-kali penulis datangi untuk wawancara mendalam. Untuk ketiganya dan semua informan lainnya penulis menyampaikan terima kasih yang sangat dalam diiringi doa jazaakumullaah khairan katsiiraa.

 Buku ini tentu memiliki berbagai kekurangan.Aspek aspek tertentu masih memerlukan pendalaman lebih lanjut. Pada sisi lain tidak mudah membangun sebuah tulisan dengan sumber-sumber memiliki versi yang kadang berbeda antara satu dan lainnya. 

Sehingga dalam beberapa hal apa yang ditulis disini bisa jadi berbeda versi dengan yang diceritakan para informan maupun ditulis di buku rujukan. Meskipun demikian seluruh isi buku ini adalah tanggung jawab penulis.Untuk itu juga dengan rendah hati penulis mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca. 

Akhirnya, semoga buku ini bisa memberi manfaat bagi masyarakat adat Rencong Telang pada khususnya dan khalayak pembaca dimanapun berada pada umumnya. Di atas itu semua, kepada Allaah SWT penulis kembalikan segalanya. Tanpa uluran-Nya, apalah awak ini. (Dr. Mahli Zainuddin Tago, dalam pengantar bukunya)

Judul Buku : Rencong Telang : Komunitas adat di Kerinci Sumatera
Penulis : Dr. Mahli Zainuddin Tago
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : I Desember 2015
Dimensi : xvi + 176 hlm, 16 x 24 cm
Harga : Rp