
Samudrabiru – Semua orang mungkin pernah jatuh cinta. Baik cinta yang dipendam dalam diam, atau yang diungkapkan secara terang-terangan. Cinta yang hanya muncul sesaat atau telah mengakar dalam relung, kuat-kuat.
Setiap orang pasti berharap bisa segera menemukan cinta sejati dalam hidup. Namun hingga kini, belum pernah terdefinisi secara pasti, apakah cinta sejati itu?
Yang aku tau, Hubbul Haq alias cinta sejati itu hanyalah milik Tuhan semesta alam. Cinta tanpa pamrih. Cinta setia yang bisa diterima oleh semua makhluq di dunia. Tanpa pernah menilai perbedaan warna, agama ataupun strata.
Cinta yang tidak pernah menyakitkan, namun menyembuhkan. Cinta yang tidak pernah menjatuhkan, namun membangkitkan. Cinta yang tidak pernah mengurangi namun menggenapi. Sebuah kesetiaan cinta yang tidak terhitung jumlahnya.
Nafas yang terhela, bola-bola mata yang terbuka, senyuman yang merona dan jantung yang istiqamah memompa adalah wujud kesejatian cintaNya.
Tapi, tidak sedikit orang yang menukar kesetian cinta Tuhan dengan kesetiaan cinta yang dijanjikan oleh manusia. Saat mereka mabuk kepayang karena jatuh cinta, serasa dunia milik berdua. Jangankan manusia lainnya. Tuhanpun serasa tidak ada.
Itulah mengapa aku tidak bernah berpikir untuk bisa jatuh cinta. Aku hanya selalu berharap segera bisa bertemu dengan jodoh setia. Dia yang namanya sudah Allah sandingkan dengan namaku di Lauh Mahfudz sana, dalam kurun waktu milyaran tahun lamanya. Tersebab, seseorang yang aku cintai belum tentu menjadi jodoh ku. Namun jodohku, adalah
seseorang yang wajib aku cintai. Dan cinta pada dia akan senantiasa mengalir indah, apabila aku sudah sepenuhnya menyerahkan cintaku pada-NYA.
Bicara soal jodoh aku menjadi terigat kisah siti Nurbaya dan si tua Datuk maringgi. Sebuah sistem perjodohan yang terngiang sepanjang zaman. Diceritakan bahwa perjodohan itu adalah sesuatu yang menyeramkan, menakutkan, penuh keterpaksaan dan tekanan. Sehingga tak jarang anak-anak muda jaman now getir ketika mendengar kata perjodohan.
Sebagai salah satu hamba Allah yang lahir di keluarga yang cukup paham dengan aturan agama, aku sudah terbiasa dengan sistem perjodohan. Bagiku cinta akan tumbuh subur pada ladang yang sudah dipetakkan semesta. Percuma jatuh cinta, jika pun pada akhirnya tidak di restui keluarga. Percuma jatuh cinta jika pun ending-nya tidak diridhoi sang kuasa.
Kesakralan tradisi keluarga ku yang mengikat. Secara halus melarang ku untuk jatuh cinta. Jodohku tidak ditentukan pada bagaimana aku mencintai seseorang. Namun, ia akan ditentukan oleh bagaimana istikharah keluarga besarku berbicara.
Seberapapun aku jatuh cinta, seberapapun aku memperjuangkannya dalam doa-doa, non scene. Karena selain ada ditangan Tuhan, jodoh ku juga ada pada keputusan keluarga besarku. Meski begitu aku teramat menyukai tradisi perjodohan ini. Akan seperti apapun konsekuensinya.
Tradisi perjodohan memang sebuah tradisi yang sudah dianggap tabu oleh kaula muda. Mereka menganggap perjodohan adalah sesuatu hal yang menakutkan; Bertemu Datuk Maringgi, dipaksa menikah diusia dini, tanpa cinta tanpa rasa sedikitpun dihati.
Tapi bagiku tidak, perjodohan adalah Sebuah pertemuan indah dua insan yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya, tidak pernah sekelebatpun berpikir tentang aura wajahnya, dan hanya akan bertemu di saat malam pertama. Bagiku, itu indah.
Novel ini merupakan novel yang sangat inspirative, Setelah membacanya terasa kisah suci Sayyidah Fathimah dan Ali bin Abi Thalib terlukis kembali. Novel yang menggambarkan buah manis dari sebuah ketulusan, perjuangan, dan keyakinan yang dijaga sedemikian baik. Recommended sekali untuk para pemuda yang sedang memperjuangkan cinta halal.
Judul Buku : Gus Alfin: Pejuang Cinta Halal di Ujung Hilal
Penulis : Albiee El-Haq
Penerbit : Samudra Biru
Cetakan : I Januari 2019
Dimensi : xvi + 346 hlm. ; 14 x 20 cm.